Konten dari Pengguna

Wajah Perempuan dalam Film "Ngeri-Ngeri Sedap"

Nada Nafila Maharani
Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2 Januari 2023 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nada Nafila Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Stigma dan Perspektif Masyarakat terhadap Perempuan di Indonesia

Sumber Foto berasal dari Instagram : @gita_bhebhita
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto berasal dari Instagram : @gita_bhebhita
Sebelum membaaca artikel ini, alangkah baiknya menonton film Ngeri-Ngeri Sedap terlebih dahulu. Karena, artikel ini berisi sedikit spoiler.
ADVERTISEMENT
Film "Ngeri-Ngeri Sedap" tayang di layar lebar pada 2 Juni 2022. Film ini menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga bersuku batak yang berada dalam keadaan kurang harmonis karena anak-anaknya yang tidak mau menurut perkataan ayahnya. Film ini juga menceritakan bagaimana orang tua yang rindu akan anaknya. ketiga anak laki-lakinya (Domu, Gabe dan Sahat) merantau ke pulau jawa sedangkan anak perempuannya menetap di rumah untuk mengurus kedua orang tuanya. Film ini cukup mewakilkan perempuan yang masih digambarkan kalau derajatnya tidak sama dengan laki-laki.
Anak pertamanya Domu merantau dan ingin menikahi perempuan Sunda tapi dilarang oleh ayahnya. Hal ini dikarenakan adat Batak yang mengharuskan anak laki-laki pertamanya menikah dengan orang Batak juga. Maka dari itu Domu sangat menentang ayahnya sehingga berselisih paham. Menurut Lumbantobing (1992:24) anak laki-laki sangat penting pada keluarga Batak Toba, karena jika tidak mempunyai anak laki-laki akan dipandang sebagai suatu penghinaan yang menodai pihak suami dan keluarganya. Jadi jelas disini kalau anak laki-laki sangat berhagra dibandingkan anak perempuan yang hanya menjadi strata kedua di dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya anak ketiga yang bernama Gabe merantau dan bekerja sebagai pelawak. Walaupun Gabe menjadi terkenal dan sukses, pekerjaannya ditentang oleh ayahnya karena ayahnya berpikir itu adalah pekerjaan yang tidak jelas. Dan yang terakhir adalah Sahat yang memilih untuk mengurus orang tua asuhnya saat masa KKN daripada pulang kerumah. Tentunya hal ini juga membuat bapaknya marah dan berselisih dengan Sahat.
Sedangkan anak keduanya adalah perempuan bernama Sarma yang tinggal dirumah untuk mengurusi Bapak dan Mamak nya. Sarma disini mengalah dengan adiknya yang terakhir karena dalam adat batak yang menetap dirumah seharusnya anak terakhir. Sarma juga rela mengubur cita-citanya yang ingin bersekolah masak karena ayahnya tidak setuju dengan alasan takut nanti pekerjaannya tidak jelas.
ADVERTISEMENT
Dari film ini, mewakilkan kalau stigma masyarakat awam yang berpegang teguh pada adat terhadap perempuan adalah makhluk yang lemah dan harusnya hanya dirumah saja. Stigma menurut Erving Goffman adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasi orang tersebut dari penerimaan orang lain (Goffman, 1963). Stigma membuat seseorang berbeda dari orang lain seperti menjadi lebih buruk, berbahaya, atau lemah. Menurutnya, stigma adalah atribut yang memperburuk citra seseorang.
Tidak jauh bedanya dengan perspektif masyarakat terhadap perempuan. Perspektif menurut Joel M. Charon, adalah sebuah kerangka yang bersifat konseptual, perangkat nilai, perangkat asumsi, dan juga perangkat gagasan yang nantinya akan mempengaruhi persepsi dan tindakan yang akan diambil dalam situasi tertentu. Jika stigma seseorang terhadap sesuatu sudah buruk, maka perspektif atau pandangannya juga akan buruk, sehingga keburukan tersebut akan tertanam di pikiran seseorang.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah film ini yang mengajak para penonton untuk menyadari kalau selama ini stigma dan perspektif terhadap perempuan yang telah tertanam itu salah. Ditengah film, ada beberapa pesan-pesan tersirat, seperti saat Sarma yang suka memasak tetapi ia menuruti keinginan orang tuanya agar menjadi PNS saja dan tidak merantau. Padahal zaman sekarang ini apa-apa sudah open minded. Ada banyak orangtua yang memperbolehkan anak perempuannya merantau, namun tidak sedikit juga orangtua yang masih memiliki perspektif kalau perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi dan bekerja diperantauan karena nanti ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga. Perspektif itulah yang harusnya dipatahkan.
Selain itu, pesan tersirat lainnya juga terletak di bagian menuju akhir film. Di scene tersebut Sarma akhirnya berani mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini. Ternyata apa yang telah ia korbankan tidak pernah disadari oleh saudara dan orang tuanya. Dengan speak up dan membela dirinya, akhirnya saudara dan orang tuanya sadar kalau ternyata Sarma juga perlu kebebasan untuk memilih masa depan. Sarma juga berhak untuk menolak jika ia tidak ingin, tetapi selama ini Sarma selalu sabar. Tentunya disini penonton terbawa suasana haru dan sedih karena scene tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari pesan tersebut mengajarkan bahwasanya kita sebagai perempuan bisa mematahkan stigma dan perspektif buruk dari orang-orang dengan cara memberanikan diri untuk melawannya. Perlawanan yang dimaksud bukan berarti berperang, namun dengan cara speak up atau dengan membuktikan kalau perempuan itu memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Perempuan berhak untuk menuntut ilmu setara dengan laki-laki. Perempuan berhak untuk menggapai cita-citanya. Perempuan berhak untuk menuntuk hak-hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan berhak untuk mendapatkan kesetaraan gender. Perempuan tidak seharusnya dikekang karena stigma adat yang sudah melekat seperti stigma adat Batak yang ada di film “Ngeri-Ngeri Sedap”.