Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Si Biru Cantik Berpenyengat: Ancaman Musiman bagi Wisatawan Pantai Selatan Jawa?
11 September 2024 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Danang Ambar Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Deburan ombak terdengar keras seiring dengan hembusan angin laut yang sejuk di Pantai Samas, Bantul, Yogyakarta, sore itu. Tak seperti biasanya, pasir pantai yang kehitaman tampak dihiasi oleh benda-benda kebiruan yang mengkilat diterpa sinar mentari. Mulanya saya kira itu hanyalah sampah-sampah plastik, ternyata bukan, melainkan 'ubur-ubur' bergelembung biru yang terdampar dan berserakan di atas pasir (Gambar 1). Meski tampak cantik dan menggemaskan untuk di sentuh, ubur-ubur ini merupakan salah satu jenis biota laut berbahaya karena sengatan racun dari tentakelnya dapat mengakibatkan luka pada permukaan kulit dengan sensai seperti terbakar. Ubur-ubur yang juga dikenal dengan istilah Portuguese Man O'War ini umumnya muncul di bulan Juni-Agustus setiap tahunnya di wilayah pantai selatan Pulau Jawa dan kerap menjadi masalah bagi wisatawan yang berkunjung di pantai-pantai Yogyakarta karena sengatannya tersebut.
Mengenal lebih dekat Physalia physalis
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Physalia physalis dikenal dengan berbagai nama, seperti ubur-ubur biru, ubur-ubur api, ubur-ubur botol dan lain sebagainya. Bila dilihat dari bentuknya secara umum, Physalia physalis memang sangat mirip dengan ubur-ubur karena penampilannya yang menyerupai biota laut tersebut, terutama karena keberadaan tentakelnya. Namun, secara ilmiah, Physalia physalis bukanlah ubur-ubur sejati, karena tubuhnya sebenarnya tersusun oleh sekumpulan organisme laut yang terdiri dari koloni individu yang saling memberi manfaat untuk bertahan hidup . Setiap individu tersebut disebut zooid dan memiliki peran khusus, seperti membantu dalam pencernaan, reproduksi, atau menangkap mangsa.
Secara fisik, Physalia physalis memiliki struktur yang sangat menarik dan unik (Gambar 2). Bagian tubuhnya yang paling mencolok adalah kantung udara (pneumatophore) yang berfungsi sebagai pelampung dan 'layar'. Pneumatophore ini biasanya berwarna biru atau ungu, dengan panjang yang dapat mencapai hingga 30 cm. Di bawah kantung gas ini, terdapat sejumlah tentakel yang panjangnya dapat mencapai 50 meter dan berfungsi untuk menjerat mangsa secara pasif.
Sebaran Physalia physalis meliputi perairan hangat di samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia. Mereka mengapung di permukaan laut dan tergantung pada angin serta arus laut untuk berpindah tempat. Di Indonesia, khususnya pantai selatan Jawa, biota ini dapat dijumpai dalam jumlah yang melimpah antara bulan Juni hingga September yang merupakan periode musim Angin Muson Timur. Angin ini membawa hawa dingin dari Australia ke arah Asia, sehingga diduga sumber utama sebaran biota laut ini di Indonesia berasal dari wilayah utara Australia dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Sengatan yang berbahaya
Salah satu karakteristik yang paling dikenal dari Physalia physalis adalah sengatan tentakelnya yang sangat menyakitkan. Tentakel biota ini dilengkapi dengan sel penyengat (nematocysts), yang mengandung racun kuat untuk melumpuhkan mangsa, seperti ikan kecil. Bagi manusia, sengatan dari Physalia physalis bisa menyebabkan rasa sakit yang parah, iritasi kulit dengan sensai seperti terbakar, dan dalam kasus yang lebih serius, bisa memicu reaksi alergi yang mengancam jiwa, seperti kesulitan bernapas atau shock.
Umumnya, kasus sengatan yang diakibatkannya tidak fatal, meski sangat menyakitkan dan memerlukan perawatan segera. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah membilas daerah yang terkena dengan air laut, menghindari air tawar atau pemberian alkohol yang bisa memicu pelepasan racun lebih lanjut, tidak mengelap atau mengusap area luka, serta menuangkan cuka untuk menonaktifkan nematocysts yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Ancaman bagi wisawatan
Dengan kemampuan sengatannya, apakah ubur-ubur ini dapat menjadi ancaman bagi wisawatawan pantai selatan Jawa?
Salah seorang petugas SAR di wilayah Pantai Samas menuturkan bahwa kemunculan Physalia physalis ini bersifat musiman (antara Juni-September setiap tahunnya). Bila kemunculannya bertepatan dengan musim liburan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke pantai dan terkena sengatan juga turut meningkat. Korban sengatan utamanya adalah anak-anak yang tidak sengaja terkena sengatan saat bermain air atau karena ketidaktahuannya memegang ubur-ubur tersebut. Umumnya luka sengatan berada di area jari, telapak tangan, lengan, kaki, atau leher (Gambar 3). Yang jarang diketahui oleh para wisatawan tersebut adalah, meski tentakel dan tubuh ubur-ubur ini telah terdampar di pasir dan tampak kering atau mati, nematocyst-nya masih dapat aktif dan mengakibatkan sengatan. Hal ini tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi wisawatan yang tengah menikmati suasana dan lembutnya pasir pantai di wilayah tersebut. Sebagai antisipasi dampak sengatan, posko-posko SAR di seluruh wilayah pantai Yogyakarta telah menyediakan kotak P3K, tabung oksigen, dan mobil ambulans untuk menolong para wisawatan yang terkena sengatan tersebut.
Ide menutup area wisata pantai selama musim ubur-ubur ini sempat mengemuka untuk mengatasi banyaknya korban yang terkena sengatan, namun tentunya ini akan sangat berdampak pada perekonomian masyarakat yang mengandalkan mata pencaharian mereka pada wisata pantai. Solusi terbaik yang dapat ditempuh sepertinya akan lebih ampuh apabila para wisatawan tersebut diberikan edukasi singkat di kawasan pantai mengenai keberadaan dan bahaya ubur-ubur biru berpenyengat ini. Pemasangan spanduk atau tanda untuk berhati-hati dengan ubur-ubur serta arahan melalui pengeras suara ataupun patroli penjaga pantai dan personil SAR tentang apa yang harus dilakukan apabila terkena sengatan juga sepertinya akan efektif mengurangi resiko terjadinya sengatan pada wisawatan.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Danang Ambar Prabowo (Peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN Cibinong)