Konten dari Pengguna

Es Teh, Popularitas, dan Tantangan Adab Post-modernisme

Dandy Ramdhan Yahya
Eks Asisten Peneliti Pusat Studi Kebijakan Nasional Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
5 Desember 2024 10:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dandy Ramdhan Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia digital memunculkan realitas baru di mana suara-suara yang dulunya hanya terdengar dalam lingkup terbatas kini dapat menggema ke seluruh pelosok. Namun, tidak semua gema itu mengembuskan angin sejuk nan menyejukkan.
ADVERTISEMENT
Mari kita sejenak menggunakan daya imajinasi kita. Bayangkan, ketika ada seorang pedagang kecil yang dengan penuh keuletan menjajakan minuman sederhana (es teh misalnya) demi memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan rumah tangga, lalu pada saat yang bersamaan terdapat ungkapan yang dianggap kurang pantas keluar dari mulut "suci" seorang dengan pengaruh besar dan kenamaan. Apakah hal tersebut murni dilatarbelakangi oleh candaan semata? Ataukah ada bias kecongkakan yang tersirat dalam intonasi dan pilihan kata?
Penjaja Minuman Keliling | Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Penjaja Minuman Keliling | Sumber: pexels.com
Dalam dunia di mana teh telah menjadi simbol budaya luhur, komentar yang terkesan tidak pantas kini menjelma sebagai sebuah paradoks. Adakah jejak post-modernisme di sini, yang menuntut kita mempertanyakan ulang makna dari adab? Apakah popularitas semata cukup untuk membenarkan sikap abai terhadap martabat sesama?
ADVERTISEMENT
Tulisan sederhana ini mungkin akan terkesan tidak relevan satu sama lain. Namun, mari kita telaah bersama, ada apa dengan es teh, popularitas, dan tantangan seperti apa yang memungkinkan lahir di era post-modernisme?

Teh dan Peradaban Tiongkok

Teh bukan sekadar daun kering yang diseduh air panas; ia adalah simbol peradaban, khususnya dalam tradisi Tiongkok. Dalam buku yang berjudul The Story of Tea: A Cultural History and Drinking Guide, Heiss bersaudara menyebutkan di sana bahwa tradisi minum teh dimulai pada masa Dinasti Tang (618–907). Teh kala itu tidak hanya disikapi sebagai minuman semata. Lebih dari sekadar itu, pada beberapa kesempatan, teh menjelma sebagai aparatus meditasi, diplomasi, hingga markah prestise.
Teh menuntut sebuah adab dalam penyajiannya. Upacara minum teh di Tiongkok mengajarkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, penghormatan, dan harmoni. Hal ini menunjukkan bagaimana elemen budaya bisa menjadi medium untuk membangun adab kolektif. Ketika seseorang menyerahkan cangkir teh, mereka juga menyerahkan penghargaan terhadap orang lain. Maka, mendefinisikan olahan teh (termasuk es teh) yang dijajakan oleh pedagang kecil misalnya, dengan simbol ketidakberdayaan ekonomi dan/atau ungkapan kurang pantas lainnya adalah sejelas-jelasnya bentuk orkestrasi ketidaktahuan fundamental tentang akar filosofis mengenai teh itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Popularitas dan Penyalahgunaannya

Popularitas adalah pedang bermata dua. Pada satu sisi, ia memberikan pengaruh besar; di sisi lain, ia menciptakan jebakan ego. Tokoh-tokoh yang memperoleh sorotan publik sering kali tergoda untuk melontarkan opini yang seolah cerdas, tetapi gagal membaca sensitivitas audiens. Selebritas dan pemuka agama modern, misalnya, acap kali jatuh pada kesalahan ini. Mereka menggunakan platform yang mereka miliki untuk "bercanda" tanpa memperhatikan impresi sosial yang timbul setelahnya.
Dalam hal ini, kita menghadapi dilema moral. Popularitas bukan hanya soal kemampuan seseorang menarik perhatian, tetapi juga tanggung jawab atas perhatian yang diterimanya. Nietzsche dalam Beyond Good and Evil mengingatkan bahwa kekuasaan (termasuk pengaruh) cenderung memunculkan kehendak untuk mendominasi. Jika tidak disertai adab, kekuasaan ini menjadi alat penindasan, baik secara fisik maupun psikologis.
ADVERTISEMENT

Falasi Praktis Komunikasi Publik

Komunikasi publik adalah seni dan ilmu menyampaikan pesan kepada khalayak luas dengan tujuan membangun pemahaman, menyampaikan informasi, atau memengaruhi opini. Namun, komunikasi yang buruk dapat menciptakan konsekuensi serius, seperti kehilangan kepercayaan, munculnya konflik, atau bahkan kerusakan reputasi. Dalam konteks teori komunikasi, berbagai pendekatan memberikan panduan untuk memahami dan menganalisis fenomena seperti kesalahan dalam penyampaian pesan kepada audiens.
Dalam teori komunikasi publik, ada prinsip dasar yang dikenal sebagai ethos, pathos, dan logos. Ethos mengacu pada kredibilitas pembicara, pathos pada kemampuan menyentuh emosi audiens, dan logos pada logika argumen. Ketika seorang tokoh berbicara di depan umum, ia harus memastikan bahwa ketiga elemen ini berjalan selaras. Ketika seseorang yang memiliki pengaruh publik gagal menjaga keseimbangan di antara ketiga elemen ini, komunikasi yang disampaikan berisiko menjadi bias, tidak efektif, atau bahkan merugikan.
ADVERTISEMENT
Jürgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action menekankan pentingnya komunikasi yang inklusif dan rasional. Komunikasi yang buruk—seperti komentar yang merendahkan pihak tertentu—bukan hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan fragmentasi sosial. Misalnya pada beberapa kejadian, tak sedikit para tokoh publik menunjukkan kegagalan menyampaikan pesan yang beretika. Alih-alih membangun dialog, komentar atau penyampaian tersebut justru menimbulkan kebencian dan cemoohan.
Dalam model komunikasi yang dipelopori oleh Claude Shannon dan Warren Weaver, mereka menjelaskan bahwa komunikasi melibatkan elemen-elemen seperti sumber pesan, saluran komunikasi, dan penerima pesan. Namun, dalam prosesnya, sering kali terjadi "noise" yang menghambat penerimaan pesan secara efektif.
Teori Kegagalan Komunikasi atau Communication Breakdown pun berlaku pada beberapa lanskap peristiwa komunikasi masyarakat kita. John Stewart dalam studinya tentang kegagalan komunikasi menyatakan bahwa komunikasi yang efektif membutuhkan keselarasan antara intensi pembicara dan persepsi audiens. Ketika ada perbedaan makna yang ditangkap antara keduanya, komunikasi akan gagal. Dalam beberapa kasus, intensi pembicara mungkin dianggap sebagai lelucon atau kritik sosial, tetapi audiens menangkapnya sebagai penghinaan terhadap kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Cacatnya komunikasi publik dalam beberapa kasus mencerminkan kurangnya pemahaman tentang prinsip dasar komunikasi yang inklusif, etis, dan bertanggung jawab. Era post-modernisme menuntut tokoh publik untuk lebih peka terhadap kompleksitas audiens mereka, bukan hanya memanfaatkan popularitas demi keuntungan semata. Komunikasi yang baik bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan hubungan yang saling memuliakan.

Tantangan Adab Era Post-modernisme

Era post-modernisme, sebagaimana dijelaskan oleh Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition, ditandai dengan runtuhnya narasi besar dan dominasi pluralitas perspektif yang digantikan oleh fragmen-fragmen kecil yang sering kali kontradiktif. Dalam konteks ini, adab yang dulu menjadi fondasi kuat masyarakat tradisional, kini sering kali direduksi menjadi sekadar formalitas, sekaligus menciptakan tantangan yang kompleks karena tidak ada standar tunggal yang disepakati untuk menentukan apa yang dianggap "sopan" atau "beradab".
ADVERTISEMENT
Post-modernisme juga mempromosikan relativisme, yang berarti nilai-nilai moral dan norma sosial dianggap sebagai hal yang kontekstual, bergantung pada budaya, waktu, dan individu. Akibatnya, konsep adab menjadi subjektif dan terfragmentasi. Sebagai contoh, tindakan yang dianggap sopan di satu budaya mungkin dianggap tidak pantas di budaya lain. Relativisme ini membuat kesepakatan universal tentang adab semakin sulit dicapai. Menurut Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity, masyarakat modern cenderung mengutamakan fleksibilitas dan individualitas dibandingkan stabilitas norma. Hal ini mengakibatkan tantangan untuk membangun adab kolektif yang dapat diterima oleh berbagai kelompok sosial.
Halang rintang besar mengenai adab yang memungkinkan atau bahkan sudah terjadi pada masa post-modernisme salah satunya ialah terjadinya krisis otoritas moral. Post-modernisme melemahkan otoritas moral tradisional, seperti unsur religiositas, negara, atau lembaga pendidikan, yang dulu menjadi penjaga norma adab.
ADVERTISEMENT
Michel Foucault dalam Discipline and Punish menjelaskan bahwa kekuasaan tradisional kini digantikan oleh mekanisme kontrol yang lebih tersamar, tetapi tidak selalu efektif dalam menegakkan norma sosial. Krisis ini menyebabkan individu merasa bebas menentukan norma sendiri tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang lain. Dalam konteks adab, ini menciptakan tantangan besar karena banyak orang yang tidak lagi merasa terikat oleh nilai-nilai kolektif.
Adab di era post-modernisme menghadapi tantangan dari berbagai arah—relativisme, teknologi, media sosial, hingga kapitalisasi nilai-nilai budaya. Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, penguatan komunitas, dan refleksi kritis terhadap nilai-nilai dasar yang membentuk adab. Era ini mungkin menawarkan kebebasan yang lebih besar, tetapi kebebasan itu harus diiringi dengan tanggung jawab moral untuk menciptakan masyarakat yang lebih beradab.
ADVERTISEMENT

Konklusi Sederhana

Fenomena, seperti misalnya, ucapan yang bertendensi merendahkan person atau profesi tertentu mencerminkan bagaimana popularitas tanpa adab menjadi ancaman dalam masyarakat post-modern. Teh, sebagai simbol budaya dan keluhuran adab, mengingatkan kita akan pentingnya penghormatan terhadap sesama, terlepas dari apa pun status sosial yang melatarbelakanginya.
Dalam posisi serta kondisi tergempur oleh masifnya kecepatan dan percepatan digital, masyarakat harus kembali menegaskan pentingnya komunikasi publik yang etis dan menjunjung tinggi tanggung jawab personal. Popularitas bukan alasan untuk mengabaikan adab; sebaliknya, ia menuntut kedewasaan moral yang lebih tinggi. Maka, mari belajar dari filosofi teh, yang sederhana, tetapi sarat akan makna.