Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Poligami Tidak Mengangkat Derajat Perempuan?
8 Maret 2021 6:14 WIB
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu poligami ini sering membuat saya gemas. Bukannya saya menentang poliamori, open relationship, atau bentuk-bentuk hubungan romantis lainnya yang melibatkan beberapa partner. Saya tidak punya masalah dengan poliamori dan percaya bahwa memang ada orang-orang yang bisa dan perlu untuk menjalani hubungan ini.
Tapi permasalahan utama saya terhadap poligami adalah alasan yang sering kali digunakan oleh laki-laki untuk melakukan praktik tersebut, yaitu mengangkat derajat perempuan.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali saya berdiskusi dengan teman-teman mengenai hal ini. Biasanya kami terbawa untuk membayangkan kehidupan ratusan tahun yang lalu di mana manusia di dunia ini masih hidup dalam penuh kekhawatiran karena perang. Katanya banyak laki-laki yang turun berperang dan kembali pulang hanya membawa nama, meninggalkan sang istri yang menjadi janda.
Perempuan yang ditinggal mati sang suami tersebut kemudian menjadi tidak berharga di mata masyarakat. Untuk mengangkat derajat perempuan tersebut, laki-laki, termasuk di antaranya yang sudah beristri, pun menikahi mereka. Tidak hanya dua, bahkan bisa sampai empat istri. Apakah cerita tersebut dan cerita-cerita versi lainnya benar atau tidak, saya tidak tahu.
Terlepas dari niat “mulia” laki-laki untuk menyelamatkan perempuan, mari saya beri tahu apa masalah dari poligami ini: poligami tidak mengangkat martabat perempuan. Tidak zaman dulu, dan tidak juga saat ini. Jika perempuan dianggap tidak berharga, tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, atau tidak bisa mandiri, maka PR yang harus dikerjakan adalah mengedukasi masyarakat, memberdayakan perempuan itu sendiri, dan memperbaiki sistem yang selama ini diskriminatif terhadap perempuan. Bukan malah menikahkan dia dengan laki-laki. Poligami dengan alasan mengangkat derajat perempuan hanyalah semakin membuktikan bahwa perempuan tidak ada harganya jika tidak ada laki-laki di sampingnya. Bagaimana mungkin cara untuk membuat seorang perempuan menjadi semakin mandiri adalah dengan membuatnya semakin tergantung dengan laki-laki? Ini tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Negara-negara di dunia juga banyak yang tidak memfasilitasi poligami untuk diakui oleh institusi negara. Di Indonesia misalnya, agar poligami diakui oleh negara pasangan poligami harus memenuhi banyak persyaratan. Hal tersebut membuat banyak pasangan yang akhirnya tidak melaporkan pernikahannya ke catatan sipil dan hanya menikah di bawah tangan. Ini tentu dapat menjadi masalah karena hak-hak dan kewajiban pasangan tersebut pun tidak terjamin. Biasanya yang paling banyak dirugikan adalah sang perempuan.
Kalau mau berpoligami silakan saja. Lakukan-lah atas nama cinta, atau alasan-alasan masuk akal lainnya yang bisa diterima oleh semua pihak yang terlibat. Tapi jangan dibenarkan dengan alasan ingin mengangkat derajat perempuan. Mari kita junjung tinggi juga kesetaraan. Jika laki-laki boleh berpoligami, hal yang sama seharusnya juga bisa dilakukan oleh perempuan. Itu baru adil namanya.
ADVERTISEMENT
Menghargai seorang perempuan atas status perkawinannya memang sudah menjadi momok yang berakar kuat dalam masyarakat. Padahal dengan atau tanpa laki-laki, perempuan seharusnya memiliki nilai yang sama tingginya, bukan hanya antar perempuan tapi juga dengan laki-laki. Saya jadi teringat serial terbatas di Netflix yang berjudul Bridgerton. Ceritanya seru, tapi bikin gemas. Saya tidak akan membocorkan ceritanya. Tapi kira-kira perempuan-perempuan dalam serial ini sibuk mencari suami supaya dipandang di dalam kehidupan bermasyarakat. Bridgerton ini mengambil setting waktu pada 1813 atau sekitar lebih dari dua ratus tahun yang lalu, saat belum ada pesawat terbang, telepon, televisi, apalagi YouTube. Tapi sekarang, masa kita masih punya cara berpikir yang sama dengan orang zaman dulu?
Yuk, refleksikan lagi cara pandang kita akan perempuan dan gender secara umum. Mumpung lagi Hari Perempuan Internasional. Selamat merayakan untuk semua.
ADVERTISEMENT