Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Persepsi dan Dilema tentang Pria Feminis
15 Agustus 2019 12:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini media dipenuhi dengan topik feminisme. Ada yang pro dan ada juga yang kontra. Beberapa akun di media sosial seperti Instagram juga jelas-jelas dibuat untuk kepentingan tersebut. Akun seperti @indonesiafeminis , @pikiranlelaki_ , dan @lakilakibaru adalah beberapa contoh yang pro dengan feminisme. Sementara, akun yang kontra dengan feminisme di antaranya adalah @indonesiatanpafeminis . Dan mari tidak lupa bahwa Ustaz Felix Siauw juga pernah menjadi perbincangan hangat karena kultwit-nya yang menentang gerakan feminisme.
Mereka yang tidak setuju dengan feminisme biasanya berargumen atas dasar agama, bahwa feminisme itu tidak sesuai dengan kepercayaan dan memaksakan wanita untuk keluar dari kodratnya. Silakan ketik “feminisme” di kolom pencarian media sosialmu, tidak akan sulit mencari mereka yang tidak setuju dengan feminisme di bagian komentar.
ADVERTISEMENT
Sementara mereka yang merasa perlu adanya feminisme berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan itu perlu, kesetaraan gender itu dibutuhkan, dan manusia memiliki hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, terlepas dari apa pun jenis kelaminnya. Hak-hak tersebut di antaranya adalah hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya.
Lalu apakah feminisme itu sebenarnya perlu?
Mari kita kesampingkan sebentar isu agama. Mengapa? Karena agama selalu benar. Akan sulit untuk mendebatkan agama. Saya masih ingat dalam setiap debat kompetitif di kampus di mana peserta dibagi menjadi dua kubu, pro dan kontra akan suatu topik tertentu, agama dan Tuhan tidak bisa dijadikan argumen dalam berdebat. Bukan karena tidak benar, tapi sebaliknya. Kedua hal tersebut berhubungan dengan kepercayaan dan selalu benar. Sehingga jika ada yang bilang “tapi Tuhan berkata seperti itu”, argumen tersebut akan sulit dibantah maka selesai pula diskusi sampai di situ.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, gerakan dan ideologi feminisme itu penting. Mungkin banyak yang tidak sadar, tapi beberapa pencapaian yang kita miliki sekarang merupakan buah dari feminisme. Misalnya, pada saat Pemilu, ayah dan ibumu bisa sama-sama pergi ke TPS untuk memilih calon presiden. Anak perempuan atau laki-laki bisa sekolah sampai jenjang pendidikan tertinggi. Bibi dan pamanmu bisa mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif. Intinya semua kesempatan dalam kehidupan sosial yang dapat dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan.
Di sini, terkadang kita salah paham mengenai feminisme, mungkin karena keterbatasan kata dalam Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Inggris ada dua kata yang berbeda, yaitu gender dan sex (bukan hubungan seks). Dalam Bahasa Indonesia kedua kata tersebut diartikan menjadi satu kata yang sama, yaitu jenis kelamin. Namun, gender dan sex tidak hanya sekadar kata yang berbeda, kedua arti kata tersebut juga berbeda.
ADVERTISEMENT
Sex adalah jenis kelamin. Bawaan biologis dari lahir yang menjadikan seseorang laki-laki atau perempuan, atau interseks. Interseks tidak memenuhi syarat biologis sebagai laki-laki atau perempuan karena kromosom, hormon, dan alat kelaminnya tidak sesuai dengan kedua kategori tersebut. Bukan angka yang sedikit, 1.7 persen penduduk di dunia (sekitar 128 juta manusia) terlahir sebagai interseks.
Sementara gender berhubungan dengan kehidupan sosial yang dikonstruksi dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak dibawa sejak lahir. Dalam masyarakat yang patriarki, biasanya ada stereotip peran laki-laki dan perempuan. Peran utama perempuan adalah membesarkan anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga, sementara peran laki-laki adalah mencari uang dan menafkahi keluarga.
Tapi, peran tradisional ini merupakan bentukan masyarakat bukan bawaan lahir. Ketika seorang bayi perempuan lahir ke dunia ini, ia membawa vagina tapi ia tidak membawa tanggung jawab bahwa ia harus memasak dan mencuci baju ketika sudah dewasa nanti. Bahwa ia harus membersihkan rumah adalah doktrin yang diberikan kepada perempuan itu ketika ia bertumbuh.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, peran tradisional seperti di atas sering membuat perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Misalnya, kita sering mendengar kalimat “jadi perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti ujung-ujungnya cuma tinggal di rumah”.
Tapi 'tinggal di rumah' bukanlah kodrat perempuan, melainkan konstruksi kehidupan bermasyarakat. Bayangkan jika dunia ini terbalik. Perempuan didoktrin untuk mencari nafkah, sementara laki-laki didoktrin untuk menyapu, maka peran gender pun berubah.
Saya sama sekali tidak memandang rendah para perempuan yang tinggal di rumah. Namun saya berharap keputusan untuk tinggal di rumah memang merupakan pilihan masing-masing dari berbagai macam pilihan yang ada, bukan karena dipaksakan atau karena “kodrat”.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara Afrika, kondisi perempuan banyak yang lebih ekstrem dan memprihatinkan. Misalnya saja, perempuan tidak berhak memiliki properti. Jika seorang ayah meninggal dunia, harta warisan hanya dapat turun ke anak laki-laki. Sementara, ibu dan anak perempuan tidak mendapatkan apa-apa.
Contoh lainnya, seorang istri tidak bisa membuka akun di bank karena tanda tangan seorang perempuan tidak memiliki kekuatan di mata hukum, sehingga sang suami harus membukakan akun untuk istrinya. Atau di beberapa komunitas, suami memukul istri adalah bukti cinta suami. Jadi separah apa pun kekerasan dalam rumah tangga, menurut pandangan masyarakat istri harus menerima 'cinta' sang suami tersebut.
Jika ingin dituliskan satu-satu, masih banyak kondisi dalam bermasyarakat yang tidak menguntungkan perempuan. Termasuk perempuan korban pemerkosaan malah disalahkan karena dianggap berpakaian tidak pantas, perempuan yang pulang malam wajar jika dipanggil perempuan tidak benar, dan preferensi memiliki anak laki-laki masih lebih tinggi jika dibandingkan anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Dunia ini dibentuk dan seringnya dipandang melalui kacamata laki-laki. Hal-hal tersebutlah, yaitu peran gender tradisional, yang ditantang oleh para feminis. Mereka tidak menantang perbedaan jenis kelamin biologis seseorang.
Lalu apakah ada dampak positifnya jika perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki?
Tentu saja ada. Selain dampak positif yang dirasakan setiap individu, dalam skala besar seperti kehidupan bernegara juga terkena dampaknya. Negara ini seperti sebuah perusahaan. Ada karyawannya yang bekerja dan membangun perusahaan tersebut. Perusahaan akan lebih cepat berkembang jika semua karyawannya, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kompetensi yang sama-sama unggul, tidak timpang. Sama-sama terampil dan sama-sama pintar.
Negara pun begitu. Yang membangun negara ini bukan hanya warga laki-laki saja, tapi juga warga perempuan.
ADVERTISEMENT
Mari kita tidak menutup mata bahwa negara-negara maju seperti di Eropa, khususnya Skandinavia, merupakan negara-negara yang memiliki indeks kesetaraan gender paling baik.
Selain menjadi kontributor Eropa di kumparan, saya adalah seorang agricultural economist di Universitas Göttingen, Jerman. Salah satu topik riset yang menarik untuk saya adalah peran perempuan dalam keluarga petani. Keluarga petani adalah contoh paling nyata kehidupan patriarki. Biasanya ayah yang memutuskan untuk menanam apa di kebun, ayah yang memutuskan kapan menanam dan memanen, ayah yang menjual hasil panen, ayah yang menerima uang hasil panen, sertifikat lahan kebun atas nama ayah, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan petani tidak hidup dalam kondisi perekonomian yang baik. Mereka harus berjuang sangat keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Sebagai kelompok masyarakat yang menghasilkan makanan seharusnya tidak sulit bagi mereka untuk punya makanan di meja makan setiap hari. Tapi nyatanya, banyak keluarga petani tidak memiliki makanan bergizi yang cukup.
Pada sebuah penelitian yang saya dan tim lakukan di Indonesia (hasil penelitian dapat diunduh di sini ), kami menemukan bahwa pemasukan berbanding lurus dengan gizi keluarga. Semakin kaya keluarga petani, maka akan semakin baik gizinya yang dilihat dari keberagaman pangan, asupan kalori, vitamin A, zat besi, dan seng, yang merupakan nutrisi-nutrisi yang paling sering kurang di negara berkembang.
Menariknya, bukan hanya pemasukan yang memengaruhi gizi keluarga. Faktor lainnya adalah pendidikan ibu dan juga partisipasi ibu dalam kegiatan yang menghasilkan uang. Perempuan seringnya masih menjadi pengasuh anak utama di dalam keluarga, meskipun seharusnya laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Begitu juga ibu yang memiliki penghasilan sendiri. Mereka yang lebih independen dalam hal keuangan, suaranya akan lebih didengarkan ketika ada keputusan yang harus diambil dalam keluarga. Termasuk pertanyaan mau makan apa hari ini?
Sayangnya, hal tersebut belum terjadi pada laki-laki, setidaknya dalam penelitian saya. Laki-laki cenderung menghabiskan uangnya untuk keperluan lainnya seperti membeli rokok atau aksesoris motor. Inilah, mengapa feminisme itu penting.
Saya rasa kita butuh lebih banyak laki-laki feminis. Alasannya agar kaum pria tidak salah memahami feminisme. Feminisme bukanlah sebuah gerakan yang ingin menggulingkan posisi laki-laki, melainkan menginginkan kesetaraan. Bahkan John Legend, Chris Martin, Chris Hemsworth, Will Smith, Ashton Kutcher, Bono, Daniel Craig, Matt Damon, dan deretan seleb pria lainnya sudah mengaku bahwa mereka adalah seorang feminis.
ADVERTISEMENT