Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kepergian Buya Syafii Maarif dan Pewaris Obor Pluralisme
1 Juni 2022 8:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Daniel Osckardo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di balik kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif, bukan saja tentang Indonesia kehilangan salah seorang guru bangsa dan sosok teladan. Bukan hanya tentang Muhammadiyah kehilangan salah satu tokohnya. Tapi juga persoalan, siapa yang akan bertanggung jawab atas obor pluralisme di negeri ini setelah kepergian Buya? Pertanyaan ini menghantui kepala saya sesaat setelah buya pergi. Walaupun jujur saja, persinggungan saya dengan pemikiran Buya Maarif tidaklah seintens saya kenal dengan pemikiran Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Setelah meninggalnya sahabat beliau, Gus Dur, otomatis beban itu dipikul oleh Buya Maarif. Sejauh ini beliaulah orang yang paling konsisten memperjuangkan nilai-nilai pluralisme. Buya Maarif memperjuangkan pemikirannya melalui banyak cara—salah satunya melalui Maarif Institut, sebuah lembaga yang bergerak pada bidang kemanusiaan dan kebudayaan, dan sempat ditolak oleh Buya dalam pendiriannya. Buya Syafii Maarif telah menjadi guru bagi semua golongan, bukan saja bagi anak-anak muda Islam.
Dalam buku Catatan Perempuan Untuk 86 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif terdapat banyak kontributor di luar kalangan Islam yang memuji sifat buya Maarif. Salah seorang kontributor dalam buku tersebut yang beragama Katolik, Anastasia Satriyo, yang gerejanya di bom pada tahun 2001 silam, menuturkan bahwa kehadiran Buya menjadi angin segar, harapan, dan iman yang akan membela kelompok minoritas minoritas—jika mereka benar. Buya adalah orang yang berdiri di atas nilai yang diyakininya benar, bukan mengikuti kemauan orang banyak. Pembelaan beliau terhadap Ahok adalah bukti paling konkret.
ADVERTISEMENT
Menyaksikan realita tataran wacana kita hari ini sungguh sangat memperihatinkan. Rakyat terpecah ke dalam dua golongan yang saling sikut, mencaci maki, hanya karena perbedaan pandangan politik. Perbedaan dalam dunia demokrasi adalah keniscayaan, tapi bagaimana ruang dialog demokrasi itu diisi, sangat menentukan kualitas negara kita ke depannya. Lahirnya tipologi-tipologi yang sarat kebencian sangat mengkhawatirkan. Ruang dialog kita hari ini sama sekali tidak mencerdaskan, tapi sarat akan kebencian dan kemarahan. Akibatnya bukan opini-opini cerdas yang keluar. Wajar, untuk mawas diri sejak dini.
Nama Mbah Nun mencuat dalam kepala saya sebagai jawaban paling realistis untuk mengemban amanah ini. Namun perlu menjadi catatan, di hari wafatnya Buya Maarif, Mbah Nun merayakan umurnya yang ke 69 tahun. Dan, tidak ada yang menjamin umur Mbah Nun akan sampai 87 tahun sebagaimana Buya Maarif.
ADVERTISEMENT
Buya sendiri sebenarnya cukup optimis tentang siapa yang akan menadi pewaris obor pluralisme—baca: penerus pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Baik golongan-golongan muda seperti Nu dan Muhammadiyah, maupun golongan muda dari agama lainnya. Buya pernah menyebutkan beberapa nama, di antaranya Zuhairi Misrawi, Ahmad Najib Burhani. Kedua nama yang disebut oleh buya ini memang terkenal sebagai orang-orang yang membela nilai-nilai kemanusiaan.
A Luta Continua
Kematian seorang tokoh masyarakat, tokoh intelektual, dan cendekiawan meninggalkan bentuk kesedihan yang agak berbeda. Kesedihannya itu jauh lebih terasa. Barang kali disebabkan oleh orang-orang ini semasa hidup mereka diabadikan untuk kepentingan kemanusiaan. Termasuk kehilangan Buya Syafii Maarif. Maka ketika ia pergi, 'para manusia' merasa kehilangan. Kesedihan yang sama juga tampak pada cuitan-cuitan Ibu Alissa Wahid di Twitter.
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang yang menapaki jalan yang telah ditapaki oleh buya, paham betul bahwa kematian jasad bukanlah kematian yang sesungguhnya. Sebab ketika seorang cendekiawan meninggal, pemikirannya tetap hidup. Perjuangan seorang cendekiawan tidak berhenti ketika napasnya berhenti. Sejalan dengan itu, dibutuhkan para pewaris yang melanjutkan cita-citanya. Atau tidak, seorang tokoh akan menemui kematian yang sebenarnya: kematian dan terkuburnya ide-ide.
Saya berpikir jika satu orang Gus Dur, satu orang Syafii Maarif, dan satu orang Cak Nun saja bisa membawa dampak yang sangat signifikan. Bagaimana jadinya jika ada banyak orang-orang seperti mereka ini? Tapi siapa. Bukannya tidak ada, tapi sayangnya yag berseliweran dan datang mencuri panggung adalah anak-anak muda yang belum menemukan kesadaran diri. Artinya, banyak anak muda yang belum siap karena belum sadar.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka menyebarkan nilai-nilai pluralisme yang diyakini Buya, anak-anak muda yang telah sadar seharusnya mengambil tempat-tempat—sekali lagi Cak Nun sendiri saja tidak cukup. A luta continua.