Konten dari Pengguna

Isu Pengungsi dan Pembangunan Internasional: Dilema Indonesia

Darynaufal Mulyaman
Direktur CESFAS UKI/Dosen Prodi HI FISIPOL UKI
12 Juni 2024 18:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darynaufal Mulyaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tempat Pengungsian (Julie Ricard/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tempat Pengungsian (Julie Ricard/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Hari Pengungsi Internasional yang dirayakan setiap 20 Juni, menjadi titik balik ketika masih banyak pengungsi yang tidak terurus dan terus bertambah seiring dengan dinamika global yang ada.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang menjunjung tinggi pembangunan dan kebersamaan negara selatan-selatan (yang notabene banyak menjadi negara asal pengungsi) seperti memiliki dilema tersendiri karena belum meratifikasi payung utama terkait penanganan pengungsi hingga saat ini.
Konstitusi global sebagai payung untuk penanganan pengungsi internasional adalah Konvensi Pengungsi 1951 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia hingga saat ini, belum meratifikasi dokumen tersebut. Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Jesuit Refugee Services (JRS) mencoba untuk menghadirkan diskusi terkait diskursus ini pada 12 Juni 2024.
Hal ini menjadi penting karena hingga saat ini, persekusi pengungsi internasional, bahkan segregasi, terjadi di wilayah Indonesia. Berdasarkan rasa kemanusiaan, pengungsi terjadi karena ketakutan. Pengungsi ada karena akan terjadi persekusi, konflik, atau bencana alam.
ADVERTISEMENT
Pengungsi internasional memunculkan pengaruh secara sosial dan politik. ​Pengungsi asal konflik Rohingnya misalnya, berdasarkan Konvensi 1951 mereka adalah pengungsi internasional yang legal, kendati demikian karena Indonesia menampung mereka, dan di Indonesian, pengungsi internasional tidak diamanatkan dari bukan UUD atau perundangan di Indonesia, maka tidak terlalu diprioritaskan dari segi perlindungan HAM di wilayah Indonesia.
Oleh karena I​ndonesia bukan negara peserta konvensi pengungsi, maka dari awal Indonesia tidak mengakui kebijakan pengungsi internasional dan tidak mengakui kebijakan pengembalian. Oleh karena itu, ambiguitas terhadap pengungsi Rohingnya di Australia misal, yang begitu kejam namun Indonesia yang terlalu terbuka juga menjadi dilema bagi Indonesia. Hal ini lah yang menjadi diskursus utama dari arus isu ini.
Indonesia seharusnya bisa lebih menajamkan pisau kebijakannya terkait pengungsi internasional. Bila berkaca pada Konferensi Asia Afrika 1955, Indonesia bergerak aktif secara masif membantu negara selatan-selatan untuk gerak bersama. Jika menilik semangat selatan-selatan, Indonesia seharusnya dapat menajamkan pisau kebijakan luar negeri terkait pengungsi internasional.
ADVERTISEMENT
Hal ini dimaksudkan bahwa Indonesia dapat membawa amanat UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan pengungsi internasional merupakan warga dunia juga tetapi belum merdeka.
Hal ini lah yang seharusnya menjadi dasar dari kebijakan luar negeri Indonesia terkait pengungsi internasional, ditambah dengan pengaturan-pengaturan lain yang memayunginya, seperti pendanaan, imigrasi, dan lain sebagainya yang berasal dari satu akar yaitu keamanan manusia untuk dapat hidup.