Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisah Penyelamatan Owa, Primata yang Hanya Tersisa 30 Ekor di Dunia
14 Desember 2020 13:05 WIB
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Primata owa Hainan merupakan primata yang paling terancam punah di dunia dan hampir tidak dapat bertahan hidup. Bahkan hanya tersisa 30 ekor di suatu petak hutan terbatas di Pulau Hainan, Tiongkok. National Geographic menceritakan kisah owa yang menyedihkan dengan mengumpulkan keterangan dari sumber terpercaya.
ADVERTISEMENT
“Mengingat spesies ini sangat berbahaya pada kepunahan, kelangsungan hidup owa sangatlah penting,” kata Bosco Pui Lok Chan, seorang pengelola Proyek Konservasi Owa Hainan, yang dijalankan oleh Kadoorie Farm and Botanic Garden, di Hong Kong.
Sama seperti siamang , saudaranya sesama primata, owa juga melakukan akrobat dengan menggunakan lengan panjang untuk berayun di antara pepohonan. Dengan cara itu, hewan dengan mudah mengumpulkan buah-buahan hutan.
Di sisi lain, owa sangat takut terjun ke tanah karena penebangan dan kegiatan pertanian yang memaksa kelompok terisolasi. Fenomena menyedihkan itu jelas membunuh owa secara perlahan. Itulah mengapa spesies lebih memilih bergantungan di antara pepohonan tinggi, alih-alih mendarat ke tanah.
ADVERTISEMENT
Setelah topan Rammasun yang menyebabkan tanah longsor di Hainan pada Mei 2015, owa-owa kehilangan banyak tempat tinggal. Sehingga Chan dan koleganya mengambil tindakan darurat untuk menyelamatkan spesies. Mereka mempekerjakan pemanjat pohon profesional untuk memasang satu jembatan tali buatan di atas bagian hutan yang rusak.
Jembatan terdiri dari dua tali gunung yang dirangkai di sela-sela selebar 50 kaki di antara pepohonan. Tim penolong juga memasang kamera yang diaktifkan untuk mengabadikan gerakan dan keberadaan kelompok owa yang tersisa setelah badai.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan pada Scientific Reports, membawa kabar baik tentang kehidupan owa. Owa menggunakan strategi pergerakan tertentu di antara jembatan dan dapat diterapkan di tempat lain. Sebelumnya, owa diketahui takut dengan tali temali itu. Perlu 176 hari untuk membujuk owa menyentuh jembatan buatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Teknik pergerakkan baru
Chan sangat terkejut dengan apa yang tertangkap dari kamera jebakan. Alih-alih mengayunkan tangan di sepanjang tali seperti biasanya, owa terlihat memulai apa yang disebut para peneliti “pegangan tangan”.
Primata itu berjalan di sepanjang satu tali sambil memegang tali lainnya di atas kepala sebagai keseimbangan, mirip dengan cara manusia menggunakan pegangan untuk tetap stabil. Betina dan anak-anaknya tampak paling antusias mencoba jembatan gantung itu.
“Ada banyak desain jembatan kanopi yang digunakan di seluruh dunia, tetapi yang satu ini sangat efisien karena sederhana, berbiaya rendah, dan disesuaikan dengan baik untuk spesies ini,” kata Tremaine Gregory, ahli biologi konservasi dari Smithsonian Conservation Biology Institute's Center for Conservation and Sustainability, di Washington D.C.
ADVERTISEMENT
Pemulihan populasi jangka pendek
Pada tahun 1950-an, ada sekitar 2.000 ekor owa yang tersisa di alam liar. Tetapi, 20 tahun setelahnya, hilangnya habitat dan perburuan telah memangkas jumlah owa menjadi 10 individu.
Proyek Konservasi Gibbon Hainan memantau dan meneliti para penguasa terakhir itu. Sehingga, tim studi berpatroli dan mencari pemburu, serta melakukan penanaman pohon. Hasilnya, jumlah owa meningkat tiga kali lipat, meskipun masih genting terhadap kepunahan.
(Baca juga: 6 Hewan yang Selamat dari Ambang Kepunahan )
Jembatan kanopi dapat menginspirasi para konservasionis lain untuk melindungi hewan yang langka. Chan setuju tetapi memperingatkan bahwa jembatan tali hanyalah perbaikan spesies dalam jangka pendek. Chan telah meluncurkan proyek reboisasi untuk menanam pohon asli yang tumbuh cepat di bawah jembatan tali.
ADVERTISEMENT
“Itu adalah solusi paling berkelanjutan dan jangka panjang untuk konservasi,” Chan mengakhiri.