Konten dari Pengguna

Tasmanian Devil dan Kanker Menular yang Mengerikan

Dasar Binatang
Menyajikan sisi unik dunia binatang, menjelajah ke semesta eksotisme lain margasatwa
15 Desember 2020 11:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seekor Tasmanian devil. Foto: LoneWombatMedia from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Seekor Tasmanian devil. Foto: LoneWombatMedia from Pixabay
ADVERTISEMENT
Selama hampir setahun sejak kasus pertama COVID-19 tersebar di seluruh dunia, umat manusia tak henti-hentinya berbicara tentang virus. Namun selama tiga dekade terakhir, Tasmanian devil telah menderita pandeminya sendiri, yaitu kanker wajah mengerikan yang menyebar melalui gigitan.
ADVERTISEMENT
Tumor marsupial Australia ini menyebabkan sariawan di mulut yang akhirnya memicu kelaparan. Terlebih lagi, kanker Tasmanian menular begitu cepat, tak seperti kanker lainnya yang cenderung tidak menular. National Geographic merangkum kisah Tasmanian devil dan wabah kanker wajah yang mengerikan.
Penyakit yang lalu disebut dengan “tumor wajah setan”, telah memangkas populasi spesies dari 140.000 hewan menjadi sekitar 20.000 individu. Pandemi sangat mudah menyebar karena hewan-hewan ini penuh semangat dalam menggigit satu sama lain selama musim kawin atau saat mengorek bangkai yang merupakan sumber utama makanan.
Banyak ahli khawatir jika pola ini terus berlanjut, penyakit akan membawa malapetaka hewan di ambang kepunahan. Sebagai tanggapan, para ilmuwan telah membiakkan Tasmanian devil di penangkaran. Pada awal tahun ini, 26 ekor dilepaskan kembali ke daratan liar Australia.
Seekor Tasmanian devil. Foto: veverkolog from Pixabay
Karnivora sepanjang 2,5 kaki dulunya berlimpah di alam liar di seluruh daratan Australia dan negara bagian pulau Tasmania. Tetapi karena wabah menyerang, spesies hanya menyisakan individu yang tinggal di pulau Tasmania.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi baru tentang genomik kanker menawarkan titik terang bagi populasi hewan ini. Penelitian yang diterbitkan pada jurnal Science, melaporkan tingkat infeksi penyakit telah menurun drastis sejak pertama kali muncul. Hal itu menunjukkan bahwa Tasmanian devil dapat hidup berdampingan dengan penyakit tersebut.
Ilmuwan pertama kali menemukan kanker pada Tasmanian tahun 1996, meskipun kemungkinan besar berasal dari tahun 1970-an atau 1980-an. Pada 2015, peneliti menyimpulkan bahwa penyakit tumor wajah setan sebenarnya adalah dua kondisi terpisah, yang dikenal sebagai DFT1 dan DFT2.
Kedua jenis kanker DFT1 dan DFT2 menyebabkan tumor yang hampir tidak dapat dibedakan. Penyakit itu juga menyebabkan kelaparan dan kematian. Tetapi keduanya berbeda secara genetik. Seperti contoh, DFT2 muncul pada Tasmanian jantan di ujung pulau, sedangkan DFT1 cenderung menyerang betina.
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan lalu menggunakan teknik yang disebut filodinamika untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana DFT1 bergerak di seluruh populasi Tasmanian. Pendekatan tersebut merekonstruksi bakteri berbahaya menyebar dan berkembang dari waktu ke waktu. Tim peneliti menggunakan sampel 51 ekor hewan yang terkena tumor dimulai pada awal tahun 2000-an.
Seekor Tasmanian devil. Foto: graabstein from Pixabay
Sekitar tahun 2003, ketika pengambilan sampel dimulai, tim eksperimen menemukan penyebaran kanker di angka 3,5. Dengan kata lain setiap satu ekor Tasmanian devil yang terinfeksi penyakit tersebut, maka kemungkinan besar akan menularkan ke 3,5 individu lainnya yang tidak beruntung.
Pada tahun 2018 saat sampel terakhir diambil, para ahli menemukan bahwa jumlah faktor penyebaran kanker kini turun menjadi angka 1. Dengan demikian, kanker tidak mungkin mendorong spesies menuju kepunahan.
ADVERTISEMENT
Tetapi menurut para ilmuwan, itu belum tentu menjadi kabar baik. Tingkat penularan yang lebih rendah mungkin disebabkan sedikit populasi yang tersisa, sehingga kanker tidak menyebar secara ganas.
Studi lain yang diterbitkan dalam PLOS Biology pada bulan November, menunjukkan bahwa kisah kanker iblis bahkan lebih rumit dari apa yang dibayangkan. Elizabeth Murchison, ahli genetika di University of Cambridge, dan rekannya menemukan bahwa DFT1 memiliki lima jenis yang masing-masing dapat menginfeksi individu yang sama.
Sebuah badan berwenang sedang mengerjakan vaksin untuk mencegah Tasmanian menyebarkan penyakit. Tetapi tantangan harus memperhitungkan kompleksitas genetik yang dapat membuat proses menjadi lebih sulit. Demikian pula melepas hewan itu ke alam liar bisa menjadi bumerang jika para Tasmanians hasil penangkaran tidak memiliki adaptasi evolusioner tertentu yang membantu melawan penyakit.
ADVERTISEMENT
Carolyn Hogg, ahli biologi konservasi di University of Sydney, menekankan hal demikian sebagai alasan mengapa Tasmanians tidak dilepas ke alam liar sejak tahun 2016. Sementara itu, individu yang baru-baru ini dilepaskan di daratan Australia tidak pernah bersentuhan dengan kanker.
Populasi mungkin bertahan di hadapan penyakit, serta ancaman lain seperti perkawinan sedarah, fragmentasi habitat, tabrakan kendaraan, dan banyak lagi. Terlepas dari itu semua, para konservasionis tidak menyerah dan sangat optimis akan hasil positif yang diharapkan.