Konten dari Pengguna

Bergerak Pasca Musim Semi Gerakan Literasi

David Efendi
Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah, Pendiri Rumah Baca Komunitas dan staf pengajar di UMY
2 September 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari David Efendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: Dokumen Pribadi/davidefendi2024
zoom-in-whitePerbesar
foto: Dokumen Pribadi/davidefendi2024
ADVERTISEMENT
Pernah suatu periode dalam sejarah gerakan literasi di Indonesia mengalami pasang naik dan pasang surut. Di lembaga paling mapan pusat pengetahuan disimpan seperti Perpustakaan kampus dan perpustakana publik yang dikelola negara pun jarang mengalami periode emas. Secara umum, aktifitas di pusat pusat buku itu terus landai. Sesekali ada viral video di menara pencakar langit milik Perpustakaan Nasional RI yang membanggakan tapi umurnya tak panjang lebih sering sunyi. Perpustakaan daerah di jogja atau malamg misal, dulu dilebeli inovatif kini elan vitalnya udah hilang entah kemana. Sebuah kematian secara gradual, slowly but sure. Arus kelam ini seiring sejalan dengan mencengkramnya kebudayaan internet atau online. Perayaan ber-sosialmedia diam diam menjauhkan peradaban manusia dari pendalaman pengetahuan, rumah kertas, buku buku dan semesta literasi—yang telah terbukti membentuk jati diri peradaban.
ADVERTISEMENT
Tahun 2018 sempat ikut kegiatan conference di Belanda dan dapat cerita makin banyak perpustakaan umum atau public library ditutup karena mahalnya biaya mengurus perpustakaan. Tadi malam sharing dan diskusi dengan mahasiswa PhD dari Kyoto University dan dia cerita di jepang terjadi hal yang sama: ditutupnya perpustakaan umum.
Di jogja, makin sunyi geliat perpusda perpusda dibanding tahun 2007-2010-an yang menggeliat inovasi perpustakaan milik negara. Bahkan pesta buku kerap disandingkan di perpustakaan daerah di banyak tempat. Zaman perayaan literasi memang telah usai. Honeymoon is over apakah benar adanya?
Itu senjakala perpustakaan publik yang punya otot otot anggaran negara tanpa otot dan balungan sukarelawan dan sukarelawati. Bagaimana pula nasib gerakan literasi yang gizi, otot, tulangnya dianyam dari solidaritas manusiawi, gerakan literasi yang dibangun dari niat baik untuk maju dan tumbuh bersama? Kuatkah iman pada ‘ayat iqro’ di tengah pancaroba politik yang tidak memihak perbukuan pada kondisi yang menuhankan yang instansi?
ADVERTISEMENT
Kisaran 2016 sd 2018 di Indonesia adalah tahun tahun penuh perayaan gerakan literasi. Mungkin sepanjang sejarah republik indonesia berdiri, ribuan komunitas literasi hadir di ruang publik, ada 400 komunitas terdaftar di serikat taman pustaka, beberapa modifikasi dari kerja berdakade dekade muncul kembali. Ada rumpun FTBM, pustaka bergerak, serikat taman pustaka, masjid, pesantren, juga kelompok yang hidup di jalanan. Mereka ibarat orkestra demokrasi pengetahuan. Ada fenomena membawa buku ke luar rumah dan gedung untuk bertemu orang tua asuh dan atau pembacanya. Saya menikmati tahun tahun ini sebagai tahun penuh berkah sebelum tahun tahun penuh pagebluk dan pandemi literasi.
Saya terlibat menjadi bagian yang suka mengolahragakan buku ke alun alun untuk dijemur diberikan keringat agar buku buku tegar tabah hidup di zaman penuh petaka dan gulma. Buku harus kuat melawan rayap rayap peradaban.
ADVERTISEMENT
Pandemi memang memukul mundur gerakan literasi sampai terseok seok kehilangan arah juang. Upaya menolak punah kerap dilakukan misalnya rumah baca komunitas dan birruNa mengantar buku buku dari rumah ke rumah dari pintu ke pintu. Cerita heroik ini di tengah prahara covid-19, sequel kisah yang layak diabadikan sebagai penanda zaman pancaroba literasi.
Inspirasi dari kerala India, bagaimana sebuah komunitas mengajarkan anak anak perempuan agar bisa naik sepeda angin karena akses bacaan berjarak cukup jauh sehingga mereka bisa mengejar ketertinggalan memajukan pikiran dan bangsanya. Dunia yang tak berbeda adalah bagaimana organisasi perempuan yang nantinya jadi Nasyiatul aisyiyah juga pernah membuka ruang baca, Muhamadiyah dengan bibbliotekanya, Dauzan Farrok dengan mabulirnya di Kauman Indonesia. Mereka menciptakan sejarahnya. Kita mengakui pada saat kita makin jauh dari pengetahuan dan buku. Jelas itu terobosan sejarah: pengetahuan gratis, terbuka, berotot daging solidaritas anti penjajahan dan pelestarian pembodohan.
ADVERTISEMENT
Sekarang kita diskusikan bagaimana gerakan literasi yang ototnya amal shaleh itu akan bertahan dan apa syaratnya? Pertama, semua jenis distribusi pengetahuan harus gratis dan tanpa syarat. Model begini saja belum tentu banyak jamaahnya apalagi berbayar? Saya meragukan yang berbayar itu juga akan sustain. Pinjam buku di denda itu warisan kolonial. Tak boleh ada model begini kita harus percaya sepenuh hati pada peminjam pembaca buku. Buku digital juga dapat meramaikan gerakan literasi asal ada diskusi dan ruang obrolan sehingga file buku tak hanya bertengger hilang dalam rimbah memori gadget.
Kedua, urun daya yang tanpa batas. Ini hanya melanjutkan sejarah bahwa semua orang dapat menjadi bagian dari gerakan literasi: penulis, penerbit, jurnalis, bloger, admin, loper koran, tukang arsip, penggosip gratisan buku atau peresensi, takmir, tukang kebun, pos ronda, guru, dosen, siapa saja. Pemerintah juga perlu menjadi otot kawat balungwesinya gerakan literasi jika masih merasa punya kewajiban mencerdaskan bangsa. Membagi buku, mensubsidi penerbit, menggratiskan penguriman buku (free cargo literacy) adalah amal sholeh negara yang layak diperhitungkan dan dilanjutkan. Negara harus menolong gerakanmliterasi yang yatim piatu jika mau. Kalaupun tidak secara langsung barangkali juga dengan cara lain yang masih mungkin karena sumber daya negara sangatlah memadai.
ADVERTISEMENT
Bagi pegiat literasi yang kesunyian dan tetap menyala “teruslah berkarya jangan andalkan negara” (Cak Nun) dan terus bekerja menciptakan peristiwa literasi untuk menerangi zaman. Kerja kerja literasi adalah kerja untuk peradaban sebagaimana catatan Francis Cody dalam buku The Light of Knowledge (2012), seorang antropolog Amerika yang meneliti gerakan literasi di India: kerja literasi adalah mencerahkan dan mentransformasikan masyarakat dan Cody memotret kesuksesan gerakan literasi di India dengan sangat baik dan berkekuatan membebaskan masyarakat dari keterbatasan akses pengetahuan. Upaya menyebarkan pencerahan di kalangan kaum tertindas ini merupakan bagian dari gerakan yang dikenal sebagai Arivoli Iyakkam (Gerakan Pencerahan), yang dianggap sebagai salah satu gerakan literasi massal paling sukses dalam sejarah saat ini. Ada nalar kritis dan advokatif untuk warga yang berdaya. Di Indonesia model begini disebut literasi emansipatif.
ADVERTISEMENT
Muhammadiyah dan sayapnya jelas sudah menjadi bagian itu semua dalam kalaedeskop sejarah tugas kita melanjutkannya atau menyudahi dengan kekalahan nan getir. Jawabnya mustinya lanjutkan!
Spirit Dauzan Farook Pustaka bergerak nampaknya kian sunyi dalam tradisi mengelola pengetahuan berbasis amal sholeh komunitas, tapi karena psimis itu tidak pas untuk kita hidupi, maka kita kembali gembirakan kegiatan kopdar literasi Taman Pustaka di Solo pekan depan akan dihadiri lebih dari dua ratus peserta semoga menjadi kekuatan baru energi baru terbarukan bagi perjuangan jihad menggerakkan peradaban ilmu. Semangat berkumpul, berbagi, dan bergerak semoga kembali hidup dalam hati sanubari kita semua para pejuang dan penggerak literasi di Taman Pustaka Muhammadiyah. Wallahu alam bi showab