Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Patriarki: Membatasi Hak Perempuan dengan Gaya
18 Juli 2024 19:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Deaninda Kirana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Perempuan, masa gak bisa masak?"
"Yaelah, perempuan tapi bersih-bersih aja gak bener. Yakin?"
ADVERTISEMENT
Cibiran di atas merupakan bentuk-bentuk cibiran yang sering kali kita dengar di lingkungan sosial masyarakat Indonesia, bukan?
Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang masih melekat sekali di masyarakat Indonesia. Budaya patriarki bagaikan sebuah budaya yang sudah mendarah daging dan tak lekang oleh waktu di Indonesia.
Patriarki merupakan budaya yang menganggap bahwa pemegang kekuasaan tertinggi berada pada laki-laki. Dalam makna kontemporer, patriarki kini dapat diartikan sebagai dominasi laki-laki dalam berbagai aspek yang kemudian menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah (Sakina, 2017).
Patriarki menempatkan laki-laki sebagai otoritas utama dalam organisasi sosial dan meletakkan laki-laki di atas perempuan kedudukannya dalam berbagai aspek kehidupan baik itu ekonomi, politik, sosial, atau budaya. Bahkan, tak jarang permasalahan patriarki ini memberikan cap-cap atau stereotip tertentu pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Stereotip, Saudara Kandung Hasil Patriarki
Patriarki ini menyebabkan adanya ketidaksetaraan gender di dalam kehidupan sosial. Ketidaksetaraan gender ini pun menghasilkan stereotip tertentu yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konsep patriarki, perbedaan fisik yang dimiliki laki-laki dan perempuan dijadikan sebagai salah satu alasan perbedaan pemberian posisi pada laki-laki dan perempuan, yang kemudian melahirkan stereotip tertentu. Laki-laki yang dianggap memiliki otot dan fisik yang lebih kuat, dianggap lebih mampu mengerjakan pekerjaan tertentu dan mendominasi, sedangkan perempuan yang tidak diberikan otot dan fisik yang sekuat laki-laki dianggap lebih lemah dan tidak berdaya.
Tak jarang, dalam patriarki ini perempuan memiliki stereotip manja di tengah masyarakat. Tak hanya dari sisi perempuan, adanya ketidaksetaraan gender yang salah satunya disebabkan oleh patriarki ini juga justru memberikan labelling (stereotip) tertentu pada laki-laki. Laki-laki sebagai figur kuat dan dominan dianggap tidak boleh menangis dan harus kuat
ADVERTISEMENT
Begitu kata mereka. Padahal, laki-laki juga manusia ciptaan Tuhan yang memiliki emosi dan perasaan.
Lalu, mengapa konsep Patriarki ini bagaikan budaya yang mendarah daging di Indonesia? Apa alasannya?
Patriarki Sejak Masa Kolonial
Salah satu alasan melekatnya konsep Patriarki di Indonesia adalah karena budaya ini sudah ada sejak zaman penjajahan. Pada masa kolonial, cara memandang gender dan peran gender di Indonesia dipengaruhi oleh ilmu yang dibawa oleh para penjajah pada saat itu. Dalam pandangan penjajah Belanda, seringkali laki-laki ditembpatkan sebagai pemimpin dalam berbagai bidang, sedangkan perempuan memiliki kewajiban untuk berada di dalam rumah saja dan mengurus tanggung jawab domestik.
Tak sampai di sana, maraknya penindasan pada perempuan di masa kolonial juga menjadi salah satu alasan konsep patriarki ini semakin kuat diterapkan sejak masa kolonial. Ketika masa kolonial, perempuan seringkali direndahkan bahkan beberapa kasus mengalami penindasan seksual.
ADVERTISEMENT
Pendidikan pada masa itu juga tak merata, karena pemerintah kolonial sebagai pemegang regulasi pendidikan kala itu, tidak memberi akses pendidikan untuk perempuan secara luas yang menyebabkan minimnya pendidikan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Konsep patriarki ini rupanya juga membatasi cita-cita kaum perempuan. Betapa mirisnya nasib pahit yang harus diterima perempuan-perempuan tak bersalah pada masa itu.
Sub-ordinat, Manut Aja Gak Sih?
Dalam konsep patriarki, perempuan berada di posisi lebih rendah dari laki-laki yang dominan; sub-ordinat. Hal ini pun tak jarang melahirkan pemikiran laki-laki yang tidak bisa menerima kritik dan saran dari kaum wanita.
Kembali lagi pada titik awal berdiri yakni; laki-laki dalam konsep patriarki itu dominan, sedangkan perempuan sub-ordinat, sehingga menciptakan konsep seakan "yang lebih di bawah seharusnya bisa mematuhi dan ikut apa kata yang di atasnya," bukan?
ADVERTISEMENT
Miris. Padahal kebebasan berpendapat tidak seharusnya diukur berdasarkan gender. Semua gender, ras, suku, agama bebas memaparkan pendapatnya dan pendapatnya patut untuk ikut dipertimbangkan. Parahnya, konsep patriarki ini bisa melahirkan keterbatasan berpendapat akibat beberapa oknum yang belum bisa mengolah pemikiran konsep patriarki ini dengan benar. Perempuan seakan dibungkam untuk bisa menyampaikan perspektif dan pendapatnya, hanya karena; ia bukan dominan?
Pemikiran sub-ordinat ini pun bisa kita lihat di dalam penerapan politik di Indonesia, yang masih minim perwakilan perempuan di dalamnya. Pentingnya menyadari harus adanya wakil perempuan dalam politik ini seharusnya dilakukan agar suara kaum perempuan ada yang mewakili di dalam forum politik dan mencerminkan kesetaraan gender dalam berpendapat.
Di era modern yang memiliki akses sangat luas ke berbagai sumber informasi ini sudah seharusnya menjadi salah satu faktor kuat untuk perlahan mulai menghilangkan konsep patriarki di dalam kehidupan sosial. Hal ini dikarenakan, konsep patriarki yang sudah mendarah daging ini tanpa kita sadari akan melahirkan ketidaksetaraan gender yang sudah tidak relevan rasanya, jika kita terapkan dalam kehidupan sosial. Tak hanya itu, konsep patriarki ini pun melahirkan stereotip tertentu yang mensugesti secara subjektif dan belum tentu tepat terhadap pandangan masyarakat dalam memandang gender.
ADVERTISEMENT
Semua gender, suku, ras, agama, ataupun etnis memiliki hak untuk berpendapat dan mengutarakan pendapat mereka, tak lupa, pendapat mereka patut untuk ikut dipertimbangkan di dalam forum pula apabila tujuannya guna kebaikan bersama.
Perempuan bahkan laki-laki, semua memiliki hak dan kebebasan berpendapat tanpa batasan suatu apa pun. Keduanya juga memiliki hak untuk bisa hidup dengan layak dan aman tanpa kecemasan suatu apa pun.