Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Verifikasi Artefak berbasis Artificial Intelligence untuk Otentisitas Arkeologi
9 April 2025 10:32 WIB
·
waktu baca 19 menitTulisan dari Deden Sumirat Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Artificial Intelligence (AI) untuk verifikasi artefak arkeologi merupakan sebuah kemajuan transformatif dalam bidang arkeologi, yang menawarkan teknik-teknik inovatif dalam identifikasi, analisis, dan pelestarian artefak (Gambar 1). Selama ini proses tersebut sangat bergantung pada metodologi tradisional, arkeologi kini semakin mengintegrasikan teknologi AI untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam proses verifikasi artefak. Perkembangan ini tidak hanya memperbaiki klasifikasi dan analisis artefak, tetapi juga mendorong pemahaman yang lebih dalam terhadap warisan budaya, memungkinkan para peneliti untuk memperoleh wawasan dari kumpulan data kompleks yang sebelumnya sulit untuk diinterpretasikan [1].
ADVERTISEMENT
Teknik-teknik AI seperti machine learning dan deep learning memfasilitasi identifikasi dan klasifikasi artefak secara otomatis, yang secara signifikan mempercepat proses katalogisasi serta membantu dalam rekonstruksi benda-benda kuno yang rusak [3].
Selain itu, penerapan AI dalam pemodelan prediktif memungkinkan para arkeolog untuk mengidentifikasi lokasi ekskavasi yang potensial, memaksimalkan efisiensi survei arkeologis dan mengarah pada penemuan artefak serta peradaban yang sebelumnya tersembunyi [4].
1. Konteks Historis
Penerapan artificial intelligence (AI) dalam bidang arkeologi menandai sebuah evolusi penting dalam metodologi yang digunakan untuk memverifikasi artefak dan menafsirkan data arkeologis. Secara historis, arkeologi sangat bergantung pada teknik-teknik tradisional, seperti ekskavasi stratigrafi dan analisis tipologis, untuk menentukan keaslian serta konteks dari suatu artefak. Namun, seiring perkembangan ilmu arkeologi, semakin banyak minat yang muncul untuk mengintegrasikan teknologi inovatif, khususnya AI guna meningkatkan proses verifikasi temuan arkeologis.
ADVERTISEMENT
Salah satu keuntungan utama dari AI adalah kemampuannya dalam memproses data dalam jumlah besar serta mengenali pola-pola yang mungkin tidak langsung terlihat oleh peneliti manusia. Kemampuan ini sangat krusial dalam arkeologi, karena konteks dan hubungan antar artefak dapat memberikan petunjuk penting mengenai asal-usul dan fungsinya. Kehadiran alat bantu berbasis AI memungkinkan arkeolog untuk menganalisis kumpulan data kompleks dari hasil ekskavasi, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap konteks sejarah dan penggunaan artefak [1][2].
Selain itu, eksplorasi terhadap konsep explainable AI (AI yang dapat dijelaskan) mulai mendapatkan perhatian di bidang arkeologi. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan model yang tidak hanya mampu mengklasifikasikan artefak, tetapi juga menjelaskan alasan di balik proses klasifikasi tersebut. Dengan memvisualisasikan proses pengambilan keputusan dalam neural networks, peneliti dapat mengidentifikasi fitur-fitur artefak yang menjadi dasar klasifikasinya, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap wawasan yang dihasilkan AI [3].
ADVERTISEMENT
Kemajuan semacam ini berpotensi mempererat kolaborasi antara AI dan praktik arkeologi, serta memungkinkan pengembangan pelatihan yang disesuaikan untuk mengatasi tantangan spesifik dalam verifikasi artefak. Sebagaimana dibahas oleh Graham dan Weingart (2015), konsep equifinality dalam jaringan arkeologis dapat dipahami lebih baik melalui penggunaan model berbasis agen yang didukung oleh AI. Pendekatan ini mendorong interpretasi data arkeologi yang lebih dinamis, dengan membuka ruang bagi berbagai hipotesis tentang perilaku dan interaksi manusia di masa lalu [4].
Lebih lanjut, diskusi terbaru dari Tenzer et al. (2023) menyoroti pentingnya pertimbangan etis dalam penerapan AI di bidang arkeologi. Mereka menekankan perlunya implementasi yang bertanggung jawab, dengan tetap menghormati makna budaya dari artefak serta komunitas asalnya [5][6].
ADVERTISEMENT
2. Teknik Artificial Intelligence dalam Verifikasi Artefak
Artificial Intelligence (AI) telah mentransformasi bidang arkeologi, khususnya dalam hal verifikasi dan analisis artefak. Dengan kemampuan canggih dalam deep learning dan machine learning, AI kini menjadi alat yang tak tergantikan bagi arkeolog dalam mengklasifikasikan dan menafsirkan objek-objek yang ditemukan (Gambar 2).
Identifikasi Artefak Secara Otomatis
Setelah artefak diekskavasi, AI dapat secara signifikan meningkatkan proses identifikasi. Algoritma machine learning, terutama yang dilatih menggunakan basis data artefak arkeologis yang luas, memungkinkan kategorisasi cepat berdasarkan fitur seperti bentuk, bahan, dan ukuran. Otomatisasi ini tidak hanya mempercepat proses katalogisasi, tetapi juga mengungkap pola-pola yang mungkin terlewat oleh analisis manusia [2][7][8]. Selain itu, sistem AI juga dapat membantu merekonstruksi artefak yang terfragmentasi, memungkinkan peneliti untuk memulihkan benda-benda kuno yang telah rusak seiring waktu [7][8]. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4 tentang sistem berbasis AI yang dapat merekonstruksi fragmen tembikar.
Gambar 4 menunjukkan tampilan aplikasi berbasis AI yang digunakan untuk merekonstruksi fragmen tembikar. Pada bagian sisi kiri, pengguna telah mengunggah dua berkas data: satu berisi fragmen (Fragments.txt) dan satu lagi berisi kumpulan objek lengkap (Graufesenque.txt). Proses identifikasi menggunakan metode Iterative Closest Point (ICP), yang dipilih pada bagian "Method selection".
ADVERTISEMENT
Pada bagian tengah layar, fragmen dengan ID G07_042_11 (diameter 13.9) sedang diproses. Di kolom kanan, aplikasi menampilkan kecocokan terbaik dari dataset, yaitu objek G07_084_06 (diameter 13.8) yang diklasifikasikan sebagai tipe D18B, dengan nilai kesesuaian sebesar 0.0526—menunjukkan tingkat kecocokan geometris yang tinggi.
Visualisasi di sebelah kanan menunjukkan perbandingan visual antara fragmen dan objek lengkap: fragmen (poligon merah) ditampilkan di atas bagian wadah lengkap (poligon abu-abu). Fragmen ini adalah bagian dari tepi atau rim dari wadah, dan berdasarkan hasil pencocokan, fragmen ini kemungkinan berasal dari sub-kelompok wadah bertipe D18B.
Transfer Learning untuk Akurasi yang Lebih Tinggi
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan dalam verifikasi artefak arkeologis adalah terbatasnya data pelatihan yang relevan dengan konteks arkeologi. Untuk mengatasi hal ini, para peneliti menggunakan teknik transfer learning, yaitu melatih model dari citra non-arkeologis terlebih dahulu, kemudian menyempurnakannya dengan kumpulan gambar arkeologis yang lebih kecil namun relevan (Gambar 5). Pendekatan ini memungkinkan pengembangan classifier yang dapat membedakan berbagai fitur arkeologis secara efektif, menjadikannya metode yang menjanjikan dalam verifikasi artefak [9][10].
Supervised vs. Unsupervised Learning
ADVERTISEMENT
Dalam konteks analisis artefak, baik teknik supervised (terawasi) maupun unsupervised learning (tidak terawasi) digunakan. Meskipun metode tidak terawasi seperti hierarchical cluster analysis memiliki manfaat clustering, metode ini sering mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan data dari situs asal yang memiliki ciri-ciri serupa tanpa label sebelumnya. Sebaliknya, metode terawasi memanfaatkan dataset yang sudah dilabeli untuk belajar dan membuat prediksi yang lebih akurat mengenai asal-usul artefak [10][11]. Studi terbaru menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran terawasi menghasilkan hasil yang lebih unggul dalam menentukan asal-usul artefak, terutama pada kumpulan data yang kompleks [11]. Gambar 7 menunjukkan studi model deep learning untuk prediktif arkeologi dan deteksi komunitas arkeologi (asal usul artefak).
Gambar 7 tersebut menunjukkan 3 bagian, yaitu:
ADVERTISEMENT
A. Tahap Pelatihan: Kumpulan data berisi gambar artefak arkeologi dikelompokkan berdasarkan periode dan lokasi situs penggalian. Gambar-gambar ini kemudian diproses dan digunakan untuk melatih model pembelajaran mesin bernama Convolutional Neural Network (CNN), yang belajar mengenali pola visual dari setiap kelompok.
B. Tahap Pengujian: Model yang sudah dilatih digunakan untuk menganalisis gambar artefak baru (query image). CNN mengekstrak ciri visual dari gambar tersebut, lalu mencocokkannya dengan artefak-artefak serupa dari data pelatihan untuk memprediksi periode dan situs asalnya.
C. Deteksi Komunitas: Hasil prediksi dari kumpulan data validasi dikumpulkan dalam sebuah matriks yang menunjukkan tingkat ketepatan model. Matriks ini diubah menjadi grafik berbobot (weighted graph) yang digunakan oleh algoritma untuk menemukan kelompok artefak yang memiliki keterkaitan historis atau geografis yang kuat (komunitas arkeologis).
ADVERTISEMENT
Pemrosesan Data dan Analisis Statistik
Kemampuan AI dalam menangani kumpulan data besar sangat penting untuk analisis arkeologis. Teknik seperti X-ray fluorescence dan neutron activation analysis menghasilkan data dalam jumlah besar yang memerlukan metode statistik canggih untuk diinterpretasikan. Algoritma AI dapat menerapkan teknik statistik ini dengan lebih efisien, memungkinkan arkeolog memperoleh wawasan yang bermakna dari dataset yang kompleks [9][12]. Adapun contoh dataset kompleks arkeologi yang pernah dilakukan penelitian, yaitu seperti: citra satelit (Gambar 8) dan data citra prasasti teks kuno (Gambar 9).
Penyederhanaan Dokumentasi
AI juga meningkatkan proses dokumentasi selama ekskavasi. Dengan merekam konteks dan lokasi artefak secara otomatis, AI memastikan katalogisasi dan organisasi temuan arkeologis yang lebih teliti. Pendekatan yang efisien ini tidak hanya meningkatkan akurasi laporan lapangan, tetapi juga mempermudah analisis di masa depan dengan menyediakan data yang mudah diakses [13][14].
ADVERTISEMENT
3. Aplikasi Artificial Intelligence dalam Arkeologi
ADVERTISEMENT
Artificial Intelligence (AI) semakin mengubah bidang arkeologi dengan cara meningkatkan metode tradisional serta memperkenalkan teknologi inovatif untuk analisis artefak, penemuan situs, dan pelestarian budaya.
Analisis Artefak
Aplikasi AI dalam analisis artefak secara signifikan meningkatkan proses klasifikasi dan identifikasi. Teknologi pengenalan gambar, seperti Google Vision AI dan Amazon Rekognition, memungkinkan arkeolog untuk dengan cepat memilah, mengidentifikasi, dan mengkatalogkan artefak berdasarkan bentuk, pola, dan materialnya [15][1]. Alat-alat ini mempercepat pemrosesan dataset dalam jumlah besar, sehingga mempermudah proses verifikasi keaslian artefak dan mendeteksi pemalsuan melalui identifikasi material modern pada benda yang diklaim kuno [1][16]. AI juga berperan dalam klasifikasi artefak melalui analisis komposisi kimianya, yang penting untuk menentukan asal-usul dan keotentikan [1][17].
ADVERTISEMENT
Pemodelan Prediktif untuk Penemuan Situs
Salah satu kontribusi paling menonjol dari AI dalam arkeologi adalah pengembangan model prediktif untuk penemuan situs arkeologi. Dengan memanfaatkan data geografis, lingkungan, dan sejarah dalam skala besar, algoritma AI dapat menganalisis pola dari data yang sudah ada untuk mengidentifikasi lokasi potensial dari situs arkeologi yang belum ditemukan [18]. Pendekatan ini memungkinkan arkeolog memfokuskan survei mereka pada area yang menjanjikan, sehingga membuka peluang untuk menemukan peradaban dan artefak yang mungkin telah tersembunyi selama berabad-abad. Integrasi AI dengan metode survei tradisional secara signifikan meningkatkan efisiensi penelitian arkeologis [18].
Pelestarian Digital dan Rekonstruksi 3D
AI memainkan peran penting dalam pelestarian digital warisan budaya. Teknologi digital memungkinkan pencitraan beresolusi tinggi dan pemodelan 3D, menyediakan dokumentasi detail terhadap artefak dan lanskap, serta mencatat kondisi terkini dan perubahan dari waktu ke waktu [1][9]. Teknik pemodelan 3D berbasis AI, termasuk fotogrametri dan LiDAR, memungkinkan rekonstruksi virtual situs arkeologi, sehingga peneliti dapat menjelajahi lanskap dan objek kuno secara digital. Hal ini tidak hanya bermanfaat untuk riset, tetapi juga membuka akses warisan budaya kepada publik melalui tur virtual dan inisiatif edukatif [9].
ADVERTISEMENT
Penginderaan Jauh dan Analisis Big Data
Kemampuan AI juga meluas ke bidang penginderaan jauh dan analisis big data, yang sangat penting untuk pemetaan situs arkeologi. Dengan menganalisis citra satelit dan data pemindaian laser, algoritma AI mampu mendeteksi sisa-sisa struktur yang mungkin tidak terlihat oleh mata manusia. Integrasi berbagai sumber data ini memperkaya pemahaman tentang pola permukiman kuno, pemanfaatan sumber daya, dan adaptasi lingkungan, sehingga memberikan gambaran yang lebih menyeluruh tentang peradaban masa lampau [18].
4. Studi Kasus
Penerapan Artificial Intelligence dalam Arkeologi Romawi
Kemajuan terkini dalam Artificial Intelligence (AI) telah membuka jalan bagi pendekatan inovatif dalam penelitian arkeologi, khususnya dalam studi tentang keramik dan praktik konsumsi makanan di masa Romawi kuno. Secara tradisional, arkeolog Romawi sangat bergantung pada sumber-sumber tekstual untuk menafsirkan kebiasaan makan, sehingga potensi wawasan dari artefak keramik sering kali diabaikan. Proyek di Khalifa University berupaya menjembatani kesenjangan ini dengan memanfaatkan AI untuk meningkatkan pengumpulan dan analisis artefak keramik, dengan tujuan memperdalam pemahaman tentang pola konsumsi makanan pada masa Romawi [9][19].
ADVERTISEMENT
Penggunaan algoritma machine learning menjadi pusat dari inisiatif ini, terutama dalam mengembangkan classifier untuk pecahan keramik (sherds). Para peneliti mensimulasikan patahan dan bagian-bagian yang hilang dari wadah-wadah yang hampir utuh guna menciptakan data pelatihan bagi sistem klasifikasi. Metode ini tidak hanya mempermudah identifikasi berbagai bentuk keramik, tetapi juga membantu memahami potensi kesalahan yang mungkin terjadi pada AI saat membedakan bentuk yang serupa [3][20]. Dengan mengeksplorasi nuansa-nuansa ini, proyek ini berharap dapat menyempurnakan proses klasifikasi dan memberikan kontribusi besar terhadap studi pola makan masyarakat Romawi.
Penemuan Arkeologis Berbasis AI
Kemampuan AI tidak hanya terbatas pada keramik, tetapi juga mencakup spektrum aplikasi arkeologis yang lebih luas. Sebagai contoh, Amina Jambajantsan, seorang mahasiswa doktoral di Max Planck Institute, memanfaatkan machine learning untuk menganalisis citra drone dan satelit beresolusi tinggi dalam mengidentifikasi situs arkeologi potensial, khususnya situs pemakaman abad pertengahan di Mongolia. Pendekatan ini telah menghasilkan penemuan ribuan situs potensial yang kemungkinan besar terlewatkan oleh metode tradisional karena luas dan kompleksnya medan [21]. Jambajantsan menyoroti nilai penggunaan citra synthetic aperture radar (SAR) di wilayah gurun, di mana metode optik konvensional sering mengalami keterbatasan. Hal ini menunjukkan bagaimana AI dapat memberikan solusi unik yang disesuaikan dengan konteks arkeologi tertentu, sehingga meningkatkan kemampuan peneliti dalam mengungkap situs dan artefak tersembunyi [21].
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Pertimbangan
Meskipun terdapat berbagai kemajuan menjanjikan dalam penerapan AI, sejumlah tantangan masih tetap ada. Permasalahan seputar kualitas data yang buruk dan efektivitas biaya seringkali saling berkaitan, sehingga menghasilkan dataset yang tidak lengkap dan menghambat investigasi secara menyeluruh [9][3]. Dalam konteks keramik, beberapa pendekatan yang terlalu umum telah disarankan untuk pencatatan data, yang berisiko menyederhanakan kompleksitas konteks arkeologis [22]. Untuk mengatasi tantangan ini, proyek saat ini menekankan pentingnya perencanaan strategis dalam simulasi pecahan keramik, dengan mempertimbangkan kemungkinan variasi bentuk di antara pecahan tersebut. Memahami kesalahan yang dibuat oleh classifier AI menjadi hal penting untuk meningkatkan akurasi dan keandalannya dalam analisis arkeologis. Dengan fokus pada aspek-aspek ini, para peneliti dapat memperkuat penerapan AI dalam arkeologi, yang pada akhirnya akan memperkaya pemahaman kita tentang budaya dan praktik masa lalu [20].
ADVERTISEMENT
5. Pertimbangan Etis
Integrasi Artificial Intelligence (AI) dalam bidang arkeologi menimbulkan sejumlah kekhawatiran etis yang penting untuk dikaji secara mendalam. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi AI, berbagai manfaat besar ditawarkan dalam hal analisis data dan identifikasi situs. Namun, kemajuan ini juga membawa tanggung jawab dan dilema etis yang harus ditangani dengan hati-hati oleh komunitas arkeologi [9][21].
Kualitas dan Representasi Data
Salah satu isu etis utama berkaitan dengan kualitas dan kelengkapan data yang digunakan dalam algoritma AI. Kualitas data yang buruk dapat menghasilkan prediksi dan analisis yang tidak akurat, yang tidak hanya memengaruhi hasil penelitian tetapi juga dapat menyesatkan pemahaman sejarah terhadap artefak budaya [20][22]. Selain itu, ketergantungan pada strategi yang hemat biaya sering kali menghasilkan dataset yang tidak lengkap, sehingga mengorbankan integritas temuan penelitian dan representasi warisan arkeologis [21][22].
ADVERTISEMENT
Kolaborasi Interdisipliner
Penerapan AI dalam arkeologi menuntut kolaborasi lintas disiplin ilmu, termasuk ilmu data, teknik, dan ilmu komputer. Meskipun kerja sama lintas bidang ini penting untuk inovasi teknologi, hal ini juga menimbulkan pertanyaan etis terkait kepemilikan dan interpretasi data. Penting untuk memastikan bahwa pengetahuan arkeologis dan warisan budaya tidak terpinggirkan oleh kepentingan teknis, dengan tetap menjaga pendekatan yang seimbang dan menghormati nilai artefak yang diteliti [20][23].
Privasi Data dan Keberlanjutan
Keberlanjutan catatan digital dan perlindungan privasi data menjadi pertimbangan etis krusial lainnya. Seiring meningkatnya penggunaan teknologi digital, perlindungan informasi sensitif mengenai situs arkeologi menjadi semakin penting, terutama di wilayah yang rawan penjarahan atau terdampak perubahan lingkungan [9][24]. Oleh karena itu, peneliti harus menerapkan langkah-langkah keamanan data yang ketat untuk melindungi baik informasi maupun komunitas yang terkait dengan artefak budaya tersebut.
ADVERTISEMENT
Peran Keahlian Manusia
Terdapat perbedaan pandangan dalam komunitas arkeologi terkait peran AI dibandingkan dengan metode arkeologi tradisional. Beberapa peneliti mendukung penggunaan AI untuk meningkatkan efektivitas dalam identifikasi situs, sementara yang lain menekankan pentingnya kepekaan dan pengetahuan arkeolog manusia untuk menafsirkan konteks budaya secara memadai [9][17]. Menemukan titik tengah antara kedua pendekatan ini sangat penting, karena ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat mengurangi nilai dari keahlian manusia dan interpretasi yang bernuansa dalam penelitian arkeologi.
6. Arah Pengembangan di Masa Depan
Integrasi Artificial Intelligence (AI) dalam arkeologi diperkirakan akan terus berkembang, mendorong inovasi yang dapat mengubah cara artefak diverifikasi dan dipelajari. Seiring dengan kemajuan teknologi AI, penerapannya dalam konteks arkeologis kemungkinan akan semakin meluas, menjawab tantangan masa kini sekaligus membuka peluang baru di masa depan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan Penelusuran Asal Usul Artefak
Salah satu fokus utama pengembangan di masa depan adalah dalam pelacakan asal-usul (provenance) dan keberlanjutan artefak. Kompleksitas yang semakin meningkat di situs arkeologi modern menuntut penggunaan alat yang canggih untuk menganalisis artefak secara efisien, khususnya pecahan tembikar yang menjadi indikator penting hubungan budaya dan kemajuan teknologi di masa lampau. Bidang arkeometri diprediksi akan memanfaatkan AI untuk meningkatkan analisis fisiologis dan geokimia terhadap artefak, memungkinkan penentuan asal-usul dan signifikansi historis yang lebih akurat [23].
Kolaborasi dan Pendekatan Interdisipliner
Keberhasilan penerapan AI dalam arkeologi ke depannya akan sangat bergantung pada kolaborasi antara ilmuwan komputer dan arkeolog. Menjembatani kesenjangan pengetahuan antara dua bidang ini sangat penting dalam mengembangkan alat AI yang tidak hanya canggih secara teknis, tetapi juga aplikatif dalam konteks arkeologi [25]. Arah pengembangan mendatang dapat mencakup program pelatihan interdisipliner dan lokakarya yang mendorong pertukaran pengetahuan, sehingga menghasilkan solusi inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan riset arkeologi.
ADVERTISEMENT
Otomatisasi Proses Ekskavasi dan Analisis
Teknologi AI juga diperkirakan akan semakin mengotomatisasi proses ekskavasi, yang berpotensi mengurangi waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam penggalian arkeologis. Algoritma machine learning dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi lokasi penggalian potensial dengan lebih efisien, sementara alat bantu berbasis AI dapat membantu dalam klasifikasi dan analisis artefak secara langsung saat ditemukan [4][26]. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan akurasi temuan arkeologis, tetapi juga memungkinkan para peneliti untuk lebih fokus pada interpretasi data daripada proses teknis ekskavasi yang memakan waktu.
Pelestarian Artefak
Arah pengembangan menjanjikan lainnya adalah penggunaan AI dalam pelestarian artefak. Teknik seperti pemindaian dan pemodelan 3D yang ditingkatkan dengan analitik AI dapat mendukung pelestarian jangka panjang dan rekonstruksi virtual terhadap artefak-artefak yang rapuh [4]. Laboratorium AI Budaya (Cultural AI Labs) telah menunjukkan potensi ini dengan memperpanjang usia simpan benda-benda bersejarah tanpa mengurangi integritasnya. Investasi berkelanjutan dalam teknologi semacam ini akan menjadi kunci bagi museum dan situs arkeologi dalam menjaga koleksi mereka untuk generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Potensi AI untuk verifikasi koleksi ilmiah artefak arkeologi BRIN
Direktorat Pengelolaan Koleksi Ilmiah (DPKI) di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memegang peranan strategis dalam pelestarian dan pengelolaan koleksi artefak arkeologi nasional. Sebagai institusi yang mengelola salah satu kumpulan artefak paling lengkap di Indonesia—termasuk hasil ekskavasi dari 99 situs goa prasejarah yang tersebar di seluruh nusantara dan tersimpan di Cibinong—DPKI BRIN memiliki potensi luar biasa dalam memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk memperkuat proses verifikasi, klasifikasi, dan pelestarian koleksi ilmiah tersebut.
Pemanfaatan AI dalam konteks ini dapat dimulai dengan pengembangan sistem identifikasi otomatis berbasis deep learning yang dilatih menggunakan citra digital resolusi tinggi dari artefak-artefak koleksi BRIN. Sistem ini dapat dikembangkan untuk mengenali fitur-fitur morfologis khas dari artefak prasejarah, seperti pola ukiran, bentuk alat batu, hingga sisa-sisa residu organik. Dengan teknologi computer vision yang terintegrasi dengan database nasional, AI dapat mengotomatiskan proses identifikasi dan validasi artefak, sekaligus mendeteksi anomali yang mengindikasikan kemungkinan pemalsuan atau kesalahan klasifikasi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pendekatan transfer learning yang telah terbukti efektif di berbagai studi dapat diterapkan untuk melatih model dengan koleksi artefak luar negeri terlebih dahulu, sebelum disesuaikan dengan karakteristik khas artefak lokal Indonesia. Hal ini akan mempercepat pengembangan sistem verifikasi yang akurat meski dengan keterbatasan data lokal. Selain itu, AI juga dapat dimanfaatkan untuk analisis kimia non-destruktif seperti X-ray fluorescence (XRF) dan Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR), guna mengidentifikasi komposisi material artefak tanpa merusaknya, sehingga memperkuat aspek konservasi koleksi ilmiah.
Salah satu peluang strategis adalah penerapan explainable AI (XAI) untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam proses klasifikasi artefak. Model-model XAI akan memungkinkan para peneliti untuk menelusuri logika di balik keputusan klasifikasi AI, sehingga mendorong kepercayaan yang lebih tinggi terhadap hasil analisis serta membuka ruang untuk diskusi dan validasi bersama oleh para arkeolog, antropolog, dan ilmuwan data.
ADVERTISEMENT
Integrasi AI dalam pengelolaan koleksi DPKI BRIN juga akan sangat berguna dalam pelestarian digital. Melalui pemodelan 3D dan dokumentasi berbasis AI, artefak dapat direkonstruksi secara virtual, baik untuk kepentingan penelitian maupun edukasi publik. Penggunaan AI dalam digital twin dan tur virtual juga dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dan memperluas akses terhadap warisan budaya nasional yang selama ini terbatas pada ruang-ruang konservasi tertutup.
Dengan komitmen BRIN terhadap riset berbasis teknologi, kerja sama lintas disiplin antara arkeolog, ilmuwan data, dan pengembang AI dapat melahirkan ekosistem verifikasi artefak yang lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan. Jika potensi ini dimaksimalkan, DPKI BRIN berpeluang menjadi pusat unggulan (center of excellence) nasional dalam penerapan AI untuk pelestarian dan verifikasi warisan arkeologi, sekaligus menjadi model inspiratif bagi institusi serupa di tingkat regional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Referensi
[1]. J. Santos et al., “Automatic ceramic identification using machine learning. Lusitanian amphorae and Faience. Two Portuguese case studies,” STAR Sci. Technol. Archaeol. Res., vol. 10, no. 1, p. e2343214, Dec. 2024, doi: 10.1080/20548923.2024.2343214.
[2]. T. Brown, “Using AI for Advanced Analysis of Archaeological Artifacts,” AI in Archaeology, 2024. https://www.faithgpt.io/blog/using-ai-for-advanced-analysis-of-archaeological-artifacts
[3]. D. van Helden, E. Mirkes, I. Tyukin, and P. Allison, “The arch-i-scan project: Artificial intelligence and 3d simulation for developing new approaches to roman foodways,” J. Comput. Appl. Archaeol., vol. 5, no. 1, 2022, [Online]. Available: https://journal.caa-international.org/articles/10.5334/jcaa.92
[4]. DigitalDefynd, “AI Use in Archaeology: 5 Case Studies,” 2025. https://digitaldefynd.com/IQ/ai-in-archaeology-case-studies/
[5]. M. Rasmussen and T. Amble, “Scientific Techniques in the Authentication Process,” 2024. https://arrowheads.com/scientific-techniques-in-the-authentication-process/
ADVERTISEMENT
[6]. N. Kanwal, M. López-Pérez, U. Kiraz, T. C. M. Zuiverloon, R. Molina, and K. Engan, “Are you sure it’s an artifact? Artifact detection and uncertainty quantification in histological images,” Comput. Med. Imaging Graph., vol. 112, p. 102321, 2024.
[7]. R. Davey, “How Can Machine Learning Extend to Archaeology?,” Materials Analysis, 2022. https://www.azom.com/news.aspx?newsID=59970
[8]. J. Wilczek, F. Monna, N. Navarro, and C. Chateau-Smith, “A computer tool to identify best matches for pottery fragments,” J. Archaeol. Sci. Reports, vol. 37, p. 102891, 2021.
[9]. T. But, “The Latest AI Innovations in Archaeology,” Historica, 2024. https://www.historica.org/blog/the-latest-ai-innovations-in-archaeology
[10]. Capitol Technology University, “AI in Archeology: How New Technology is Revolutionizing Historical Studies,” Capitology Blog, 2024. https://www.captechu.edu/blog/how-ai-and-technology-is-revolutionizing-archeology
ADVERTISEMENT
[11]. A. Resler, R. Yeshurun, F. Natalio, and R. Giryes, “A deep-learning model for predictive archaeology and archaeological community detection,” Humanit. Soc. Sci. Commun., vol. 8, no. 1, p. 295, 2021, doi: 10.1057/s41599-021-00970-z.
[12]. Y. Li, A. Deutsch, and V. Vianu, “VERIFAS: A practical verifier for artifact systems,” arXiv Prepr. arXiv1705.10007, 2017.
[13]. BNBU Institute for Advanced Study, “The Future of the Past: Charting the Frontier of AI in Archaeology and Cultural Heritage,” 2024. https://ias.uic.edu.cn/en/info/1050/1145.htm
[14]. M. I. Eren, L. Stephen J., P. Robert J., B. Briggs, P. Justin, and M. J. and O’Brien, “Test, Model, and Method Validation: The Role of Experimental Stone Artifact Replication in Hypothesis-driven Archaeology,” Ethnoarchaeology, vol. 8, no. 2, pp. 103–136, Jul. 2016, doi: 10.1080/19442890.2016.1213972.
ADVERTISEMENT
[15]. Yenra, “10 Ways AI is Improving Archaeological Research,” 2024. https://yenra.com/ai-tech/archaeological-research/
[16]. J. A. Gaber, S. M. Youssef, and K. M. Fathalla, “The role of artificial intelligence and machine learning in preserving cultural heritage and art works via virtual restoration,” ISPRS Ann. Photogramm. Remote Sens. Spat. Inf. Sci., vol. 10, pp. 185–190, 2023.
[17]. M. Altaweel and A. Khelifi, “Using Generative AI for Reconstructing Cultural Artifacts: Examples Using Roman Coins,” J. Comput. Appl. Archaeol., 2024.
[18]. Forward Pathway, “The Revolutionary Role of AI in Archaeology: Technological Innovation, Theoretical Reshaping, and Environmental Prospects,” Colleges News by LLM, 2025. https://www.forwardpathway.us/the-revolutionary-role-of-ai-in-archaeology-technological-innovation-theoretical-reshaping-and-environmental-prospects
[19]. S. Reilly, “Artificial Intelligence Detects New Archaeological Sites in the Arabian Desert,” Archaeology & History, 2024. https://news.artnet.com/art-world/ai-detects-archaeology-site-in-desert-2543707
ADVERTISEMENT
[20]. Z. Amos, “5 Archaeological Discoveries Made by AI,” AI News, 2025. https://swisscognitive.ch/2024/10/31/5-archaeological-discoveries-made-by-ai/
[21]. Onome, “The Impact of Artificial Intelligence in Archaeology,” AI Knowledge, 2024. https://autogpt.net/the-role-of-ai-in-modern-archaeology/
[22]. A. Ouyang, “How an archeological approach can help leverage biased data in AI to improve medicine,” MIT News, 2023. https://news.mit.edu/2023/how-archeological-approach-can-help-leverage-biased-data-ai-improve-medicine-0913
[23]. M. Bellat, J. D. O. Figueroa, J. S. Reeves, R. Taghizadeh-Mehrjardi, C. Tennie, and T. Scholten, “Machine learning applications in archaeological practices: a review,” arXiv Prepr. arXiv2501.03840, 2025.
[24]. W. D. Lipe, “Archaeological Ethics and Law,” Crow Canyon Archaeological Center, 2024. https://crowcanyon.org/archaeological-ethics-law/
[25]. G. Gattiglia, “Managing Artificial Intelligence in Archeology. An overview,” J. Cult. Herit., vol. 71, pp. 225–233, 2025.
[26]. Tech Ceos, “AI in Art Authentication: Preserving Middle Eastern Artifacts and Cultural Heritage,” Artificial intelligence, 2024.
ADVERTISEMENT