Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Green Elephant in the Room: Dominasi AD dan Konsekuensinya Bagi Indonesia
12 Desember 2023 12:18 WIB
Tulisan dari Demetrius Dyota Tigmakara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mereka ada di mana-mana. Upacara Hari Kemerdekaan, Upacara Hari Kesaktian Pancasila, pemilu, vaksinasi, pencarian korban bencana, dan lainnya. Ya, mereka adalah prajurit TNI AD dengan seragam lorengnya yang ikonis. Angkatan Darat, sebagai matra terbesar dalam TNI, memiliki kehadiran yang signifikan di tengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tentunya kehadiran ini membawa banyak dampak positif bagi masyarakat. Terlepas dari ini semua, TNI sejatinya adalah sebuah kekuatan militer, dan tugas utama mereka adalah mempertahankan negara dari serbuan asing.
Namun, bila melihat peta, dapat diamati bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan, sehingga tanpa armada laut yang mumpuni, lautan Indonesia akan sulit dijaga. Selain laut yang luas, pulau-pulau Indonesia juga relatif sempit namun padat penduduk dan memiliki banyak kenampakan alam seperti hutan, sungai, dan pegunungan, bukan tempat ideal untuk perang darat.
Lantas, mengapa dari dulu TNI AD lebih besar dibandingkan angkatan laut dan udara? Bukankah akan lebih masuk akal bila angkatan laut yang lebih besar? Saya akan menjelaskan pemikiran saya mengenai alasannya.
Cikal bakal
TNI terbentuk pada 22 Agustus 1945, ketika sidang ketiga PPKI menetapkan Badan Keamanan Rakyat sebagai sebuah tentara nasional yang mewadahi bekas-bekas prajurit KNIL, Heiho, PETA, dan lainnya. Dapat dikatakan bahwa matra darat-lah yang pertama terbentuk, mengingat formasi-formasi militer tersebut tidak memiliki alutsista di angkatan laut dan udara.
ADVERTISEMENT
Jumlah orang Indonesia yang kala itu terkualifikasi di kedua angkatan tersebut juga tidak sebanyak angkatan darat. Walau ketiga angkatan kala itu sama-sama dalam kondisi menyedihkan, namun angkatan udara-lah yang paling gawat keadaannya, dengan segelintir pesawat bekas yang kekurangan suku cadang.
Naik daunnya Angkatan Laut dan Udara
Setelah perang kemerdekaan, Indonesia di bawah Bung Karno mulai mencari pasar untuk membeli persenjataan, juga untuk mengimbangi kekuatan Belanda di Papua Barat. Pada Desember 1960, sebuah delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal A.H Nasution diutus ke Moskow untuk merundingkan penjualan senjata Uni Soviet.
Hasilnya, pada Januari 1961 telah disepakati penjualan sejumlah sistem senjata, terutama untuk Angkatan Laut dan Udara, seperti kapal selam kelas Whiskey, kapal cruiser kelas Sverdlov KRI Irian, pesawat tempur MiG-17, 19, dan 21, pesawat pembom Il-28 dan Tu-16, helikopter Mil Mi-1, 2, 4, dan 6, rudal anti-pesawat SA-6 beserta radarnya, dan masih banyak lagi. Sontak, TNI menjadi militer terkuat di Bumi Selatan kala itu.
ADVERTISEMENT
Kejatuhan dan dominasi Angkatan Darat
Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Setelah tragedi G30/S/PKI, angkatan laut dan udara banyak diabaikan, bahkan sengaja ‘dikebiri’. Ini karena banyak elemen dalam keduanya yang entah amat pro-Soekarno hingga dicap kiri, atau memang betul-betul kiri. Ini berbeda dengan Angkatan Darat yang kebanyakan bersentimen anti-komunis, salah satu alasannya adalah karena mendapat pelatihan di Amerika Serikat, atau Belanda dan Jepang sebelum kemerdekaan.
Akibatnya, persenjataan Soviet dipensiunkan karena tidak ada lagi perundingan untuk membeli suku cadang dan banyak perwira kedua matra yang dicopot dari jabatannya. Setelah tragedi G30/S/PKI, Angkatan Darat-lah yang banyak bertindak, seperti dengan merebut kembali Lanud Halim Perdanakusuma serta melakukan berbagai operasi pembersihan terduga PKI hingga Operasi Trisula.
Selain itu, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai panglima Kostrad, juga memjustifikasi melalui Supesemar untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk ‘memulihkan ketertiban’, sehingga secara tidak langsung, Angkatan Darat-lah yang berkuasa. Hal ini terus berlanjut hingga Soeharto sendiri berkuasa, ketika ia secara perlahan menambah jumlah kursi perwakilan ABRI di DPR, hingga mencapai 1/5 pada 1985, yang kebanyakan didominasi oleh perwira AD.
ADVERTISEMENT
Puncak dari praktik ini adalah pada tahun 1990-an, ketika banyak perwira ABRI terutama AD yang ditempatkan sebagai kepala daerah dan badan-badan pemerintah. Walau praktik ini secara resmi dihentikan pada tahun 2000, efeknya masih terasa hingga kini, yaitu betapa masifnya kekuatan AD bila dibandingkan dengan AU dan AL serta banyaknya purnawirawan TNI yang menduduki jabatan pemerintahan.
Penutup
Di masa modern ini, prajurit infantri saja tidak cukup untuk berperang, ia perlu dukungan laut dan udara, apalagi mengingat kondisi Indonesia yang berbentuk kepulauan. Angkatan Laut dan Udara juga diperlukan untuk mencegah musuh sebelum mendarat di Indonesia sendiri, dengan memanfaatkan Indonesia yang berbentuk kepulauan. Maka, sudah sewajarnya bagi Indonesia untuk memodernisasi militernya dengan memusatkan perhatian pada alutsista matra laut dan udara.
ADVERTISEMENT