Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Meninjau Perkawinan Anak di Indonesia: Tantangan dan Langkah-langkah Solusi
7 April 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dendi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Data Perkawinan Anak
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tantangan Perkawinan Anak
Namun, perkawinan anak bukan sekadar masalah sosial belaka. Dampaknya sangat luas, mulai dari meningkatnya angka kemiskinan, stunting, hingga risiko kesehatan serius seperti kanker serviks pada anak. Berbagai faktor melatarbelakangi praktik ini, termasuk kesulitan ekonomi, kurangnya dukungan sosial, serta pandangan bahwa perkawinan adalah cara untuk menikmati masa remaja.
Melihat keseriusan masalah ini, pemerintah telah mengambil langkah konkret dengan mengubah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, menaikkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi praktik perkawinan usia anak di Indonesia yang selama ini menempatkan anak perempuan sebagai korban utama.
Solusi Perkawinan Anak
Presiden juga telah menetapkan lima arahan untuk KemenPPA, termasuk pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu prioritas utama. Langkah-langkah ini meliputi peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak, hingga penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dari sisi regulasi, masalah ini juga perlu dilihat dari sudut pandang kesehatan dan psikologis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perkawinan usia anak dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti anemia, pra-eklampsia, serta kematian janin dalam kandungan. Secara psikologis, perkawinan usia anak juga dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Penting untuk memahami bahwa perkawinan usia anak tidak hanya menjadi masalah sosial, tetapi juga masalah kesehatan dan psikologis yang perlu segera diatasi. Langkah-langkah pencegahan yang komprehensif, termasuk edukasi masyarakat, pemberdayaan perempuan, dan penegakan hukum yang ketat, diperlukan untuk mengatasi akar masalah ini.
Dengan adanya tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menghapus praktik perkawinan anak pada tahun 2030, serta dukungan dari berbagai pihak seperti UNICEF, diharapkan Indonesia dapat menuju arah yang lebih baik dalam mengatasi masalah ini. Hanya dengan upaya bersama, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang, di mana perkawinan usia anak tidak lagi menjadi kenyataan yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Helwiyah Umniyati, dkk. (2020). Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Perkawinan Anak. Jakarta Selatan: Pimpinan Pusat Muslimah NU
Kementerian PPPA dalam Siaran Pers Nomor: B-031/SETMEN/HM.02.04/01/2023