Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bermodal Rendang, Melawan Politik Uang
22 Agustus 2021 11:39 WIB
·
waktu baca 13 menitTulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Inilah hikayat rendang padang melawan politik uang. Yaitu kisah kami mendapatkan rekomendasi Partai Demokrat sebagai calon gubernur Kalimantan Selatan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Allah SWT memudahkan proses mendapatkan rekomendasi Partai Gerindra karena relasi dengan Pak Prabowo Subianto, dan PPP melalui Bang Arsul Sani, kunci sukses untuk Demokrat adalah hubungan saya dengan Presiden RI Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Enam tahun membantu beliau sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN (2008—2011) dan Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011—2014) adalah modal takdir yang dikaruniakan Allah Ta’ala untuk saya akhirnya mendapatkan dukungan partai berlambang mobil mercy tersebut.
Suatu hari sekitar kuartal kedua tahun 2019, di Cikeas, saya minta waktu dan mendiskusikan soal kemungkinan pencalonan gubernur Kalimantan Selatan. Seperti biasa, ketika hanya berdua, maka diskusi diadakan di bagian dalam rumah yang disulap menjadi ruang kerja dan perpustakaan pribadi Presiden SBY. Jika peserta lebih banyak, maka pertemuan diadakan di ruang lebih luar, yang bisa menampung belasan orang. Kedua ruang pertemuan di kediaman Cikeas tersebut mempunyai kesamaan dekorasi, pada temboknya berjejer lemari yang penuh diisi buku-buku, berbahasa Indonesia dan Inggris.
ADVERTISEMENT
Presiden SBY memang punya latar belakang militer, dengan intelektualitas yang jauh di atas rata-rata. Setiap kali mendampingi Beliau melakukan kunjungan ke luar negeri, maka jika ada kesempatan di tengah jadwal Beliau yang super padat, salah satu agenda yang tidak akan dilewatkan adalah pergi ke bookstore, dan memborong buku-buku. Tidak mengherankan jika dalam rapat-rapat Presiden sering menceritakan buku yang sedang dibacanya, dan pelajaran yang dapat diambil dari bacaan tersebut.
Hari itu, di ruang dalam perpustakaan Cikeas, kami hanya berdua mendiskusikan situasi politik hukum Tanah Air. Tidak semua bisa saya ingat dan ceritakan, tetapi tentang Kalsel, Presiden memberikan dukungan penuhnya:
“Sudah yakin akan maju?”
“Siap, Pak. Bismillah”.
“Kalau begitu, saya akan dukung penuh. Usahakan setiap hari selalu ada perkembangan positif. Kalsel bukan wilayah pertarungan yang mudah. Tetapi Pak Denny orang baik, insya Allah akan dilancarkan. Saya juga akan bantu, resources akan coba saya arahkan”.
ADVERTISEMENT
Itu sebenarnya adalah pertemuan kedua saya dengan Pak SBY di Cikeas terkait Kalsel. Pada pertemuan pertama, beliau meminta saya untuk memikirkan lebih matang soal kemungkinan maju sebagai calon gubernur. Beliau paham betul peta politik lokal Kalsel, dan dengan bijak meminta saya untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan. Saya diminta untuk mengecek situasi lapangan, dan mencoba membangun komunikasi dengan seorang berpengaruh di Bumi Lambung Mangkurat, tidak perlulah saya sebutkan namanya, anda bisa menebaknya.
Ke luar dari rumah Cikeas, saya menuju rumah makan berinterior bambu PSK, Pojok Sate Kiloan. Menunggu seorang sahabat yang juga bertemu Presiden SBY. Setiap ada kesempatan ke Cikeas, maka PSK adalah kunjungan wajib saya. Nasi goreng, sate dan gule kambingnya, tidak boleh dilewatkan. Pokoknya, rasanya mantap! Tidak jarang menu yang sama menjadi hidangan rapat di Cikeas, Presiden SBY juga mempunyai selera makan yang asyik. Tidak harus mewah. Kadang-kadang kami juga makan mie bungkus pedas-panas di sela-sela rapat tengah malam di Istana Negara. Soal pengalaman berkesan makan dengan Presiden SBY, termasuk makan siang di ruang dalam Istana, mudah-mudahan saya punya kesempatan menceritakan pada kesempatan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Apa kata Bapak,” saya bertanya, sambil mengunyah sate kambing ginjal. Menu nikmat yang direkomen Mendikbud Mohammad Nuh. Kami punya hobi sama, menikmati hidangan lezat PSK.
“Saya diperintahkan mendukung penuh pencalonan ente, Bro,” ujar sang sahabat muda yang selalu tampil parlente tersebut.
“Ada satu pesan Pak Lurah,” sambungnya tersenyum lebar, matanya mengirim pesan guyon mengejek.
“Kasih tahu Denny, dalam berpolitik jangan terlalu kaku. Dengan tetap teguh memegang prinsip, tetap perlu ada kelenturan dalam strategi lapangan”.
Saya tersenyum kecut, sekaligus bangga. Kecut karena itu masukan yang amat tepat. Bangga karena seorang Presiden selevel SBY begitu perhatian dan berkenan memberikan masukannya. Konsisten dengan sikap santunnya, Pak SBY menyampaikan masukan melalui orang lain. Meskipun baru saja bertemu langsung, Beliau lebih memilih untuk mengirimkan masukan itu melalui sang sobat dekat.
ADVERTISEMENT
Tentu saja Presiden SBY paham betul gaya dan pola pikir semua yang bekerja di lingkar dalamnya. Termasuk para Staf Khusus Presiden yang disebut sebagai “Staf Melekat”. Saya mendapatkan pin “kuning emas” bernomor seri 4.044 yang disematkan pada kerah baju setiap bertugas, dan menjadi penanda kepada Paspampres bahwa kami bisa selalu berada dalam jarak terdekat dengan presiden. Dalam hubungan keseharian yang intens itulah, Beliau membaca tepat sikap politik saya yang sering kali kaku, hitam-putih. Tidak ada wilayah abu-abu.
Enam tahun lebih bekerja dekat dengan Pak SBY adalah waktu yang lebih dari cukup untuk Beliau mengamati dan memberikan masukan. Nasihat yang dikirimkan tepat menjelang saya maju bertempur sebagai Cagub Kalsel. Saya sadar, memang diperlukan keluwesan dalam berpolitik praktis, tentu dengan tetap memegang teguh prinsip dan nilai-nilai kebenaran, salah satunya pasti antikorupsi. Lebih spesifik lagi, antipolitik uang. Prinsip yang secara tegas dan jelas kami gelorakan, perjuangkan, dan pertahankan dalam terpaan badai godaan pencalonan gubernur Kalsel.
ADVERTISEMENT
Foto pertemuan-pertemuan dengan Presiden SBY, di rumah Cikeas ataupun Kuningan, saya teruskan kepada publik, tentu dengan tetap menyimpan informasi yang perlu dijaga rahasia. Tujuannya sederhana, sebagai strategi komunikasi bahwa pertemuan dengan pengambil keputusan di Demokrat sudah dilakukan. Dampaknya tentu efektif. Pertemuan kami dengan para petinggi Demokrat pada level pusat maupun daerah, berjalan lancar, tanpa hambatan.
Tidak terhitung berapa kali saya bertemu dengan Haji Rusian, Ketua DPD Demokrat Kalsel. Sering kami bertemu di lokasi proyek perumahan Beliau di daerah Handil Bakti. Sebagaimana komunikasi dengan para petinggi partai lain, tidak ada sekalipun pembicaraan soal mahar kami perbincangkan. Kami sama-sama paham bahwa ini adalah perjuangan untuk Banua Lambung Mangkurat yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas. Paling-paling saya membawa bungkusan makanan. Menu andalan adalah rendang masakan Ibunda, Hajjah Titien Sumarni, yang kami kirimkan ke Haji Rusian, dan juga Haji Abidin, Ketua DPD Partai Gerindra Kalsel.
ADVERTISEMENT
Itulah modal andalan kami mendapatkan rekomendasi Demokrat dan Gerindra: Rendang. Tapi, tentu saja, ini bukan rendang sembarang rendang. Anda perlu mencoba rendang masakan Ibunda saya. Nikmatnya boleh diadu dengan rendang restoran padang manapun. Tentang strategi “Lobi Rendang”, saya belajar dari Profesor Saldi Isra, sekarang hakim konstitusi. Ketika menulis disertasinya di UGM, Prof Saldi tidak jarang membawa bungkusan rendang olahan sendiri dari Padang. Rendang yang tak lagi kunjung datang, setelah disertasi itu selesai dituliskan.
Dengan kebutuhan minimal 11 kursi DPRD Provinsi, maka 8 kursi Gerindra dan 3 kursi Demokrat adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar. Maka, salah satu topik diskusi saya dengan pak Rusian adalah bagaimana meyakinkan Abah Haji Abidin untuk memberikan rekomendasi Gerindra. Karena, “Kalau Demokrat, dengan dukungan penuh Pak SBY, sudah pasti ke Pak Denny. Namun, kalau tidak ada Gerindra, kita tidak bisa maju. Maka semua akan tergantung Haji Abidin,” ujar Haji Rusian.
ADVERTISEMENT
Allah memudahkan perjalanan saya menuju Cagub Kalsel. Bermula dari diangkatnya Andi Arief sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat, maka surat tugas seakan sudah pasti di tangan. Andi adalah sahabat dekat sejak aktif di kegiatan Mahasiswa. Sebagaimana hubungannya dengan Presiden SBY yang sudah dimulai sejak Yogyakarta dan berlanjut ke Istana, saya mengenal Andi sejak sama-sama aktif di kemahasiswaan UGM. Andi Arief adalah salah satu lawan politik utama Anies Baswedan, yang pada 1992 menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Di Istana, kami sama-sama menjadi Staf Khusus Presiden, Andi Arief menjabat Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Di rumah dinas Slipi, pintu apartemen kami hanya terpisah jarak dua meter selama dua tahun 2009-2011, sebelum saya pindah menempati rumah kontrakan Wamenkumham di gang sempit sekitar Pancoran.
ADVERTISEMENT
“Gua dukung penuh,” kata Andi. Singkat padat. Ciri khas gaya komunikasi Andi di pesan WA, yang tidak jarang hanya satu kata.
Maka, surat tugas saya dapatkan dua kali dari Demokrat. Yang pertama bertanggal 1 Juni, yang kedua berkalender 22 Juni.
“Kok hanya 15 hari. Pendek banget. Mana bisa dapat koalisi dan wagub dalam tempo sesingkat itu,” protes saya ke Andi ketika mendapatkan Surat Tugas pertama.
“Itu standar. Semua dapat waktu yang sama. Nggak enak kalau ente beda sendiri. Gampang nanti kita perpanjang,” Andi menjawab enteng.
Saya mendapatkan Surat Tugas tanpa harus melakukan lobi-lobi, apalagi berangkat ke Jakarta. Cukup berkirim pesan WA, dan menelepon satu-dua kali, surat tugas dikirimkan melalui WA. Begitu pula perpanjangannya, yang masa berlakunya diberi waktu lebih lama, satu bulan. Sahabat-sahabat di Demokrat semua full support, dan ringan tangan membantu.
ADVERTISEMENT
Jalur surat-surat saya dengan Demokrat, jika diibaratkan perjalanan adalah jalan tol, bebas hambatan. Ketika banyak kandidat harus hilir mudik dan melalui proses assesment yang ketat, saya cukup ngobrol santai di ruang Bappilu DPP Partai Demokrat. Semuanya lancar dan dimudahkan. Meskipun, tetap saja ada dramanya.
Yang paling deg-degan tentu proses dari Surat Tugas menjadi Surat Rekomendasi. Di Demokrat, berbeda dengan calon Bupati/wali kota, penentuan rekomendasi calon gubernur harus mendapat persetujuan Majelis Tinggi Partai. Wajar saja jika tidak semua anggota majelis mendukung pencalonan saya, tetapi dengan dukungan penuh Pak SBY dan AHY selaku Ketum Demokrat, maka terbitnya rekomendasi harusnya Cuma soal waktu.
Komunikasi saya dengan Majelis Tinggi dibantu penuh oleh Bang Andi Mallarangeng. Diawali sebagai sesama alumni UGM, bersama-sama sebagai Staf Khusus Presiden, dengan Bang Andi selaku Juru Bicara, kedekatan kami terus berlanjut hingga sekarang. Ketika mendapatkan cobaan kasus, saya dan istri mengunjunginya ke rumah Dinas Menpora di Jalan Widya Candra, Kebayoran Baru.
ADVERTISEMENT
“Terlihat Wamenkumham Denny Indrayana yang datang dengan mobil sedan mercy-nya.” Tulis satu berita online. Saya dan istri membacanya dengan senyum simpul, bersyukur ada yang mendoakan kami punya mobil mewah tersebut. Padahal kami datang hanya dengan Grand Livina. Mobil kreditan kedua kami. Mobil pertama kami adalah kreditan sejuta umat, Avanza.
Ketika kerja di Istana, di saat-saat break istirahat makan siang, sambil berdoa tidak tiba-tiba dipanggil Presiden SBY, tidak sekali-dua kali kami menyelinap ke luar untuk menikmati makanan lezat masakan Makasar, atau sekadar warung kaki lima di seputaran Pejompongan dan Tugu Monas. Bang Andi selalu makan dengan lahap. Jika makan dengan Presiden, saya dengan Andi yang sering kali mencuri perhatian dan saling menggoda, karena porsi makan kami yang melebihi anggota kepresidenan lainnya. Untungnya, Andi dikarunia metabolisme tubuh yang sehat, Beliau tetap dengan potongan tubuh yang langsing, sedangkan saya makin bulat melebar. Apalagi ketika berputar kampanye di Pilgub Kalsel. Kunjungan sehari yang dari subuh ke subuh, mendatangi lima sampai belasan titik per harinya, menyebabkan asupan makanan lezat masakan Banjar ke dalam tubuh juga bertambah di tempat-tempat rumah yang dikunjungi. Berat saya naik 8 kilogram lebih. Bayangkan saja jika sarapan diawali dengan nasi kuning atau ketupat Kandangan, dan jam 11 malam masih disodori tuan rumah memakan sop banjar dengan lauk ikan haruan, siapa yang bisa menolak godaan nikmat demikian. Yang jelas, kalau dengan Bang Andi, bantuannya mendapatkan rekomendasi Demokrat, tidak perlu dengan sogokan rendang.
ADVERTISEMENT
Hentikan membahas makanan, fokus lagi ke rekomendasi Demokrat. Kuncinya adalah dukungan Gerindra. Saling mengunci sebenarnya. Gerindra meskipun mempunyai 8 kursi, tidak bisa mencalonkan saya, tanpa adanya 3 kursi Demokrat, dan sebaliknya. Maka, salah satu rekomendasi harus sesegera mungkin didapatkan. Tanpa mahar, menjadi lebih menantang. Tetapi Allah lagi-lagi memudahkan.
Yang lebih awal dikeluarkan sebenarnya adalah rekomendasi Demokrat. Tetapi yang resmi saya terima lebih dulu adalah rekomendasi Gerindra. Mengapa bisa demikian? Begini ceritanya.
Soal mahar, tidak ada kisah drama sinetronnya. Semua dimuluskan, lancar, tol bebas hambatan.
“Mas Denny sudah bicara kebenduman?” kata seorang teman Demokrat.
“Belum, Pak”.
Maka saya diarahkan menuju satu ruang rapat, bicara berdua empat mata dengan Bendum Demokrat.
“Pak Denny kita bicara apa ya? Saya tidak ada bahan perbincangan. Nanti malah dimarahi Pak SBY saya,” senyum Pak Bendum.
ADVERTISEMENT
“Begini saja, kita pakai model Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah. Nanti kalau jadi Gubernur tolong Demokrat dibantu dan diperhatikan”.
“Siap, insya Allah,” jawab saya.
Kami berjabat tangan. Pertemuan itu tidak sampai lima menit. Saya ke luar ruang rapat dengan napas lega, dan senyum lebar. Tapi surat rekomendasi Demokrat belum aman di tangan. Prosesnya cukup berliku, salah satu titik krusialnya ketika dipanggil ke ACC, AHY Command Centre, di daerah Dharmawangsa.
“Mas Denny, kami sudah diskusikan. Dalam rapat-rapat Bang Andi Mallarangeng dan Andi Arief memberikan strong recommendation. Tetapi tidak ada yang berani menjamin rekomendasi dari Gerindra pasti didapatkan. Sedangkan kursi Demokrat hanya tiga. Tanpa Gerindra, kita tidak mungkin mencalonkan Mas Denny,” petinggi Demokrat menyampaikan kesimpulan.
ADVERTISEMENT
Saya menyimak dan memandang tegang, menunggu nasib. Menenangkan deburan jantung yang mulai nyaring berdegub.
“Akhirnya kami berhasil meyakinkan Ketum AHY untuk mengambil jalan tengah. Rekomendasi kami berikan, tapi hanya berlaku satu minggu. Kalau dalam satu minggu, rekomendasi Gerindra tidak berhasil didapatkan juga, minta maaf rekomendasi Demokrat ini batal. Bagaimana? Apakah bisa seminggu lagi Rekomendasi Gerindra diperoleh”.
“Insya Allah optimis, bisa dapat Pak,” saya mencoba menjawab tegas. Sejatinya, saya bingung apakah mesti senang atau sedih. Tetapi paling tidak itu, kabar baik. Selangkah lebih maju, meskipun kalau nasib buruk, seminggu kemudian bisa mundur banyak langkah.
“Sekarang Mas Denny bisa melihat dulu rekomendasinya. Tetapi tidak boleh difoto dan video. Hanya boleh dilihat. Kalau Gerindra perlu diyakinkan bahwa rekomendasi ini ada, nanti tim kami ada yang merapat membawanya, ke tempat dimanapun pertemuan dengan Gerindra dilakukan”.
ADVERTISEMENT
Saya mengangguk pasrah, melihat rekomendasi itu di dalam map putih-biru demokrat. Dilihat boleh, difoto dan video jangan.
“Yang juga penting, kami perlu bertemu dengan Calon Wakil Gubernur, karena belum pernah sekalipun bertatap muka. Kan aneh, kalau kami memberikan rekomendasi, tetapi tidak pernah kenal sebelumnya.”
Seusai pertemuan yang mendapatkan rekomendasi Demokrat, tetapi barangnya tidak di tangan itu, saya menelepon dua nomor. Pertama lingkaran dalam Pak Prabowo, menjajaki kemungkinan bertemu dan mengabarkan rekomendasi Demokrat. Kedua, cawagub Difriadi. Dari ajudan Prabowo didapat kabar bahwa Sang Menhan baru saja take off ke luar negeri, dan tidak akan kembali seminggu kemudian. Saya sempat lemas, dan memberikan kabar itu ke Sekjen Demokrat.
“Tidak masalah Pak, kita tunggu Prabowo kembali ke Tanah Air. Batas waktu satu minggu bisa kita sesuaikan,” ujar Bang Teuku Riefky Harsya. Saya menarik napas lega. Alhamdulillah, Allah memudahkan.
ADVERTISEMENT
Besoknya, dengan Cawagub Difriadi, saya bertemu lagi dengan Bang Riefky di DPP Demokrat. Pak Wagub harus segera terbang ke Jakarta, mengalahkan ketakutannya akan ketinggian. Tidak ada pilihan lain, keperluan mendapatkan rekomendasi Demokrat dan Gerindra di atas segalanya, termasuk menggeser acrophobia, phobi ketinggian Pak Cawagub. Ketika naik haji, Pak Wagub menenggak obat, dan tidur sepanjang perjalanan.
“Bang, paling tidak izinkan kami memfoto atau video surat rekomendasi itu. Hanya untuk dokumentasi saya pribadi. Tidak untuk yang lain. Tidak akan saya share ke mana-mana. Saya janji.”
Pak Sekjen menelepon seseorang, berembuk dengan petinggi partai. Lalu juga menelepon Petinggi Gerindra, “Kami sudah mengeluarkan rekomendasi buat Pak Denny untuk Kalsel. Tolong Gerindra juga bantu ya.”
ADVERTISEMENT
“Pak Denny, saya sudah minta izin, silakan difoto dan video. Tapi betul jangan sampai ke mana-mana ya. Tolong ambil suratnya,” perintahnya kepada staf Sekjen.
“Ada saya bawa, di tas ini,” sang staf mengeluarkan map putih-biru Demokrat, dan mengizinkan saya mendokumentasikannya.
Godaan untuk mengabarkan berita gembira itu ke relawan di Kalsel, harus ditahan kuat-kuat. Pemberitaan media masih dipenuhi dengan keraguan saya menjadi cagub, karena belum ada satu pun partai yang memberikan rekomendasi. Ingin rasanya memposting foto dan video rekomendasi Demokrat, tapi akal sehat mencegahnya. Sabar.
Malamnya, di restoran Hotel Grand Hyatt Jakarta,
“Bacakan Ham,” ujar Abah, setelah mendengar saya membawa surat rekomendasi Demokrat.
Kata per kata foto surat itu dibacakan Kanda Ilham Nor di hadapan Abah Haji Abidin.
ADVERTISEMENT
“Kalau tidak mencalonkan Denny, tiket Gubernur Gerindra jadi iwak buruk (ikan busuk). Kita ikut Demokrat,” ujar Abah Abidin mantap, setelah mendengar rekomendasi yang lengkap dibacakan Kanda Ilham, Sekretaris Daerah Gerindra Kalsel.
“Segera kita atur pertemuan dengan Pak Prabowo, untuk tanda tangan rekomendasi Gerindra”.
Tapi Pak Prabowo masih di luar negeri. Apa pun masih bisa terjadi. Selama belum ada tanda tangan rekomendasi, selama janur kuning belum melengkung, masih terbuka kesempatan bagi kandidat gubernur lain untuk menyalip di tikungan. Doa dipanjatkan, wirid dipanjangkan, Allah melindungi dan memudahkan. Seminggu lebih kemudian, begitu mendarat, Prabowo langsung memberikan waktu untuk bertemu. Setiap Haji Abidin meminta waktu, memang tidak pernah menunggu lama.
Tanpa mahar, cukup dengan bungkusan rendang, rekomendasi Demokrat dan Gerindra kami dapatkan. Bahkan Allah melebihkan dengan rekomendasi PPP, walaupun tanpa rendang, beberapa waktu kemudian. Tanpa mahar, tiket calon gubernur didapatkan, tetapi pertarungan yang lebih berat segera terbentang di depan perjalanan. Yang pasti, tidak senikmat mengunyah rendang, ketika berhadapan dengan pertarungan curang dan sarat politik uang. (*)
ADVERTISEMENT
Santorini I/19, 20 Agustus 2021