Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berbucin-bucin dalam Beragama
7 Desember 2023 15:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam era modern ini, istilah "Bucin" (Budak Cinta) telah menjadi bagian tak terhindarkan dari bahasa sehari-hari, menggambarkan ketidakmampuan seseorang untuk lepas dari pesona cinta yang membuat seseorang mengorbankan sesuatu di luar nalar sehat demi sosok yang dicintainya.
Dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak kita temukan bahwa ia rela hujan-hujanan guna mengantarkan makanan kepada orang yang dicintainya, ada yang rela meninggalkan tugasnya guna membantu orang yang ia cintai. Begitu banyak fenomena seperti ini yang ditemukan di lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Banyak pandangan dalam melihat hal ini tidak selalu bermuatan negatif saja tetapi mempunyai makna kebahagiaan serta kepuasan tersendiri bagi pelakunya. Dengan bucin orang memperlihatkan kekuatan cintanya, dengan bucinlah metode membahagiakan kekasihnya, apakah salah? Tidak bagi pelaku, ia bagi pengamat yang tidak merasakan mabuk cinta.
Namun, dalam kesempatan ini perlu membuka perspektif lain dalam memandang perbucinan melalui pandangan Tasauf, dapat kita jelajahi lebih dalam esensi dari fenomena ini, membuka pintu ke dunia cinta yang diselaraskan dengan nilai-nilai keagamaan.
Apakah ulama-ulama terdahulu pernah bucin? Kita lihat ungkapan dari Maulana Jalaludin Rumi:
ADVERTISEMENT
Ungkapan itu memberikan gambaran bahwa sesosok yang dicintainya selalu ada bersama dia, dan ia tidak melepaskan orang yang dicintainya dari seluruh jiwa raganya.
Tenggelamnya rasa cinta mendalam terhadap yang dicintainya menjadikan dirinya sudah menyatu pada sang kekasih walaupun dia secara zahir pergi jauh akan tetapi selalu sebenarnya dia selalu menetap dalam kalbu dan akan selalu dalam pikiran sang pecinta tersebut.
Dalam perspektif Tasauf, cinta tidak hanya dipahami sebagai perasaan dunia semata, melainkan sebagai bagian integral dari kehidupan spiritual. Definisi cinta dalam Tasauf melibatkan kedalaman makna, menuntun kita pada perbandingan antara cinta dunia yang fana dan cinta ilahi yang abadi. Konsep kesucian dan keberkahan dalam hubungan menjadi pusat perhatian, menciptakan landasan yang kokoh bagi sebuah cinta yang bermakna.
ADVERTISEMENT
Rumi pernah berkata:
Kita akan menelusuri hubungan antara perilaku Bucin dengan nilai-nilai Tasauf. Kita akan merenung tentang bagaimana tindakan-tindakan Bucin dapat memengaruhi perjalanan spiritual seseorang, dan sejauh mana kecenderungan Bucin dapat menjadi hambatan atau dukungan bagi pengembangan diri secara spiritual.
Jalaluddin Rumi menggambarkan hakikat menjadi seorang “Bucin” itu selayaknya mengikuti jejak para wali yang senantiasa berada dalam lautan taqwa kepada Sang Kekasih mereka yakni Allah.
Sebagaimana Rumi mengatakan bahwa penenggelaman sejati adalah ketika Allah memberikan rasa takut kepada para wali-Nya. Perasaan takut di sini tidak seperti rasa takut manusia kepada singa, macan, dan pada kezaliman, melainkan rasa takut akan perpisahan dengan-Nya.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat, “Bucin” yang diajarkan Rumi itu lebih kepada ajaran untuk mencintai secara hakiki Sang Pemiliki Cinta yakni Allah dengan mengorbankan apa pun yang dimiliki dari hambanya sebagai bukti cintanya kepada Sang Kekasih. Karena pengorbanan jiwa, raga dan harta karenanya adalah menjadi landasan pembuktian konkret dalam “membucinkan” dirinya terhadap Tuhannya dalam setiap keadaan.
Tulisan singkat ini mengajak kita semua untuk merenung, menyelami makna cinta yang mendalam, dan menggali potensi spiritual yang terkandung di dalamnya. Dengan pesan positif, kita dapat memahami bahwa cinta yang dijalani dengan penuh kesadaran dapat membawa kebahagiaan.