Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengakhiri Ketakutan: Alasan Indonesia Perlu Undang-Undang Anti-Stalking
7 Juni 2024 12:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Devy Riesta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya tindakan stalking di Indonesia semakin mengkhawatirkan, dengan berbagai kasus yang menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan kebijakan dan regulasi khusus untuk menangani masalah ini.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah kasus yang menimpa Nimas, seorang pekerja kantoran di Surabaya, yang menjadi korban stalking oleh mantan rekan kerjanya, Adi. Adi terus-menerus mengirim pesan ancaman dan memantau aktivitas Nimas secara obsesif, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Kasus stalking dan obsesi sering kali terjadi dan banyak dibagikan di media sosial, seperti Twitter, karena platform ini memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat. Berikut adalah beberapa contoh kasus lain yang menunjukkan bagaimana tindakan stalking dan obsesi bisa mempengaruhi kehidupan seseorang.
Kasus Rina dan Bayu
Rina, seorang mahasiswa di Yogyakarta, mengalami stalking dari Bayu, seorang mantan pacarnya. Setelah hubungan mereka berakhir, Bayu terus mengirim pesan dan menelepon Rina dengan intensitas yang meningkat, bahkan hingga puluhan kali sehari. Bayu juga muncul di kampus dan tempat kerja Rina tanpa pemberitahuan, membuat Rina merasa ketakutan dan tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
Meskipun Rina sudah memblokir nomor telepon dan akun media sosial Bayu, dia terus menciptakan akun baru untuk menghubunginya. Kasus ini menjadi viral di Twitter setelah Rina membagikan pengalamannya, meminta saran dan bantuan dari netizen. Dukungan dari masyarakat online membantu Rina untuk mengumpulkan bukti dan melaporkan Bayu ke pihak berwajib, namun lagi-lagi terbentur oleh kurangnya regulasi khusus yang mengatur tindakan stalking.
Kasus Devi dan Herman
Devi, seorang influencer media sosial, menjadi target stalking oleh salah satu pengikutnya, Herman. Awalnya, Herman hanya meninggalkan komentar-komentar di postingan Devi, tetapi lama-kelamaan perilakunya menjadi semakin mengkhawatirkan. Herman mulai mengirimkan pesan-pesan pribadi yang semakin mengintimidasi, dan bahkan mengirimkan hadiah-hadiah yang tidak diinginkan ke alamat rumah Devi.
ADVERTISEMENT
Herman juga sering mengunggah tweet yang menunjukkan bahwa dia mengetahui lokasi Devi secara real-time, menimbulkan rasa takut dan stres yang luar biasa pada Devi. Kasus ini menarik perhatian banyak orang di Twitter, dengan banyak pengguna media sosial yang mengecam tindakan Herman dan mendesak perlindungan hukum yang lebih kuat untuk kasus-kasus seperti ini.
Kasus Fitri dan Andi
Fitri, seorang pekerja kreatif di Bandung, menghadapi stalking dari Andi, seseorang yang pernah bekerja sama dengannya dalam sebuah proyek. Setelah proyek berakhir, Andi terus menghubungi Fitri dengan dalih ingin melanjutkan kerja sama, tetapi pesan-pesannya mulai beralih menjadi ancaman dan tuntutan pribadi.
Andi bahkan mendatangi rumah dan kantor Fitri tanpa diundang, menyebabkan ketidaknyamanan dan ketakutan. Fitri akhirnya membagikan pengalaman tersebut di Twitter untuk mencari dukungan dan saran.
ADVERTISEMENT
Banyak pengguna Twitter yang membagikan tips dan memberikan dorongan agar Fitri melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Namun, seperti kasus lainnya, Fitri mendapati bahwa kurangnya regulasi khusus mengenai stalking menyulitkan proses hukum yang dihadapinya.
Urgensi Undang-Undang Anti-Stalking
Sementara Indonesia belum memiliki kebijakan dan regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur tentang tindakan stalking, masih ada beberapa jerat hukum yang dapat diterapkan untuk menghadapi para stalker. Salah satu pasal yang bisa digunakan adalah Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP, yang mengatur tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-XI/2013 juga menguatkan perlindungan terhadap korban tindakan tidak menyenangkan yang dapat diaplikasikan dalam kasus stalking. Selain itu, Pasal 368 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang pemerasan dan pengancaman, Pasal 448 ayat (1) huruf a UU 1/2023 tentang tindak pidana penipuan melalui media elektronik, Pasal 482 ayat (1) UU 1/2023 tentang penganiayaan melalui media elektronik, dan Pasal 27B ayat (1) UU 1/2024 tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti melalui media elektronik, juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindakan stalking.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, kekurangan regulasi yang spesifik tentang stalking menyebabkan penggunaan jerat hukum ini terbatas, sehingga terkadang pelaku hanya mendapat sanksi yang ringan atau tidak memadai sesuai dengan tingkat bahaya dan ketakutan yang mereka sebabkan kepada korban.
Urgensi adanya kebijakan dan regulasi hukum anti-stalking di Indonesia menjadi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya laporan kasus-kasus stalking yang meresahkan masyarakat. Tindakan stalking, yang melibatkan penguntitan dan pelecehan secara terus-menerus, menyebabkan ketakutan dan gangguan serius bagi korbannya.
Tanpa adanya regulasi khusus yang secara tegas mengatur dan mengkriminalisasi tindakan ini, para pelaku sering kali lolos dari jerat hukum atau hanya mendapat sanksi ringan yang tidak cukup memberikan efek jera. Ini memperlihatkan kelemahan dalam sistem hukum yang ada, di mana hukum yang berlaku saat ini belum mampu secara efektif melindungi korban dari ancaman stalking.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan kebijakan dan regulasi khusus tentang stalking di Indonesia menciptakan kesenjangan perlindungan hukum bagi korban. Kasus-kasus yang muncul, seperti yang dialami oleh Nimas, Rina, Devi, dan Fitri, menunjukkan bahwa korban sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang layak dan merasa tidak aman.
Tanpa adanya undang-undang khusus, korban harus mengandalkan pasal-pasal yang tidak spesifik, seperti tentang perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman, yang sering kali tidak cukup kuat untuk memberikan keadilan. Hal ini menambah beban psikologis dan fisik bagi korban yang sudah menderita akibat tindakan stalking yang dialaminya.
Menerapkan regulasi hukum anti-stalking yang komprehensif akan memberikan perlindungan yang lebih baik dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Regulasi ini harus mencakup definisi yang jelas tentang stalking, termasuk berbagai bentuk penguntitan dan pelecehan, serta sanksi yang tegas bagi pelaku.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan tersebut harus mengatur mekanisme perlindungan bagi korban, seperti perintah perlindungan (restraining order) dan bantuan psikologis. Dengan adanya undang-undang anti-stalking yang jelas dan tegas, diharapkan korban dapat memperoleh perlindungan yang mereka butuhkan, sementara pelaku dapat dikenakan sanksi yang setimpal, sehingga dapat mencegah terulangnya tindakan serupa di masa mendatang.