Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PLTA Poso dan Malea Ternyata Berdampak Serius bagi Masyarakat Adat Setempat
27 Juni 2022 16:40 WIB
Tulisan dari Dhika Kusuma Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso dan Malea
Baru-baru ini tepatnya pada hari Jumat, 25 Februari 2022 Presiden Joko Widodo telah meresmikan dua (2) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA ) Poso dan Malea di Sulawesi pada Jumat, 25 Februari 2022. PLTA Poso adalah pembangkit energi terbarukan terbesar di Indonesia Timur dengan kapasitas 515 megawatt. PLTA tersebut dibangun di Poso, Sulawesi Tengah sedangkan PLTA Malea berkapasitas 90 MW dibangun di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mengatakan kehadiran PLTA tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap energi hijau (EBT). Saat ini global juga mendorong semua negara untuk mengganti penggunaan energi fosil ke energi hijau.
Sosok Jusuf Kalla di Balik Peresmian PLTA Poso dan PLTA Malea
Dibalik peresmian PLTA Poso dan PLTA Malea, terdapat perusahaan yang bekerja keras membangun berdirinya PLTA tersebut, perusahaan itu bernama Kalla Group. Kalla Group merupakan perusahaan yang dimiliki oleh Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. PLTA dengan kapasitas 515 MW ini, dibangun dan dioperasikan oleh PT Poso Energy, anak usaha Kalla Group.
Pada PLTA Malea, pembangkit ini dikembangkan oleh PT Malea Energy, anak usaha PT Bukaka Teknik Utama yang juga milik Kalla Group. Pengoperasian dua pembangkit ini telah meningkatkan bauran EBT di Pulau Sulawesi mencapai 38,8%.
ADVERTISEMENT
Keunggulan PLTA Poso dan Malea
Berbeda dengan PLTA umumnya yang menggunakan konsep waduk sehingga membutuhkan lahan yang besar, PLTA Poso menggunakan sistem pengelolaan bernama run-off river (ROR). Pembangunan PLTA Poso merupakan bukti nyata semangat Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 yang ikut berkontribusi dalam pengurangan emisi dunia. PLTA Poso menjadi showcase bahwa pengembangan pembangkit EBT saat ini semakin kompetitif.
Begitu pula dengan PLTA Malea, memiliki keunggulan yaitu sebagai PLTA pertama di Indonesia yang menggunakan surge tank tipe Air Cushion Surge Chamber (ACSC). Tetapi, apakah benar dua (2) PLTA tersebut yang mengklaim bahwa ramah lingkungan sesuai dengan realita di masyarakat?
Dampak PLTA Poso dan Malea Terhadap Masyarakat Adat Setempat
Peresmian dua pembangkit listrik tenaga air (PLTA) tersebut nyatanya tidak sepenuhnya mendapat sambutan yang hangat bagi warga lokal. Masyarakat adat setempat merasa bahwa lingkungan mereka semakin lama akan rusak karena adanya pembangunan mega proyek tersebut. Salah satu dampak PLTA tersebut adalah terendamnya sawah dan kebun warga. Sehingga, banyak para petani dan nelayan yang kehilangan mata pencahariannya. Sejak 2020, masyarakat adat Danau Poso mencatat terdapat 266 hektar sawah dan kebun serta lahan penggembalaan warga terendam.
ADVERTISEMENT
Serangkaian persoalan dalam pembangunan PLTA Malea ini seringkali menimbulkan protes dari masyarakat setempat. Mereka menyebutkan, sebelum adanya pembangunan PLTA Malea mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, sejak kehadiran pembangunan tersebut banyak terjadi permasalahan. Mulai dari hilangnya mata pencaharian, banjir, kekurangan sumber air, memicu konflik internal keluarga dan masyarakat, serta merusak situs budaya.
Tuntutan Masyarakat
Masyarakat setempat menuntut PLTA Poso mengganti semua kerugian warga dan menuntut agar PLTA Poso berhenti beroperasi agar siklus air danau Poso kembali normal. Ketika ratusan petani menuntut PT Poso Energi bertanggung jawab atas kerugian yang mereka alami, tuntutan para petani dijawab oleh perusahaan dengan nilai kompensasi 10 kg beras/ are sawah yang terendam sedangkan menurut masyarakat setempat bahwa hal tersebut tidak masuk akal. “Sebab berdasarkan perhitungan petani, 1 are sawah mereka menghasilkan sekitar 40 kg beras,” kata Ketua Adat Danau Poso, Berlin Modjanggo.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 25 Februari 2022, masyarakat adat setempat menggelar aksi cor kaki dan mogok makan di depan kantor gubernur. Aksi mogok makan tersebut sebagai simbol ketidaktersediaan beras yang selama ini disediakan oleh para petani sedangkan aksi cor kaki sebagai simbol kesulitan aktivitas petani yang sudah tidak bisa bertani lagi sehingga mereka kehilangan mata pencahariannya.
Tuntutan juga terjadi pada pembangunan PLTA Malea di mana banyak masyarakat setempat yang dirugikan. Sejak tahun 2018, masyarakat menuntut karena daya rusak pembangunan PLTA Malea yang mereka rasakan. Hingga akhirnya, pada tahun 2019 dan 2020 masyarakat melakukan aksi sebagai bentuk protes terhadap pembangunan tersebut sebab tidak ramah lingkungan yang dibuktikan dengan adanya pencemaran suara dan udara yang dihasilkan selama proses pembangunan, menghilangkan situs adat Toraja, dan mengabaikan keselamatan bagi para pekerja dan warga setempat. Bahkan, diketahui bahwa selama proses pembangunan, perusahaan tidak memiliki izin penampungan limbah bahan beracun dan berbahaya (LB3) yang bisa membahayakan lingkungan di sekitarnya. Perusahaan baru mengajukan izin penampungan LB3 di bulan Agustus 2020, yang di mana pembangunan tersebut hampir selesai.
ADVERTISEMENT
Tanggung Jawab Belum Terselesaikan
Masyarakat Adat Danau Poso, bernama Hajai menyayangkan peresmian PLTA Poso oleh Presiden Jokowi di tengah masalah dan tanggung jawab perusahaan yang belum diselesaikan. “Kami menuntut PT Poso Energy untuk menyelesaikan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso I terutama sawah dan kebun yang terendam, perusakan waya masapi dan keramba serta hilangnya wilayah penambang pasir tradisional. Kami menuntut PT Poso Energy untuk menghentikan pengerukan sungai Poso yang sekarang ini dilakukan tanpa dokumen perizinan,” pungkas Hajai.
Pada pembangunan PLTA Malea, masyarakat setempat diiming-imingi dengan pekerjaan dan kesejahteraan ekonomi untuk warga setempat. Akan tetapi, pada kenyataannya peningkatan ekonomi untuk masyarakat setempat atau pekerjaan yang dijanjikan tersebut tidak terjadi. Peningkatan tersebut hanya diberikan kepada orang-orang yang diperkerjakan oleh PLTA Malea tersebut, orang-orang tersebut pun hanya dipekerjakan dengan kontrak 3 bulan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dengan demikian, menurut pendapat penulis dapat disimpulkan bahwa pembangunan PLTA Poso dan Malea dinyatakan gagal dalam menjaga lingkungan dan makhluk hidup disekitar pembangunan tersebut. Bahkan kegagalan tersebut sudah terlihat sejak tahap perencanaan pembangunan itu sendiri. mengapa? Sebab, pembangunan tersebut tidak memikirkan resiko atau dampak dari pembangunannya. Masyarakat sampai melakukan aksi sebagai bentuk protes mereka terhadap pembangunan tersebut. Seharusnya, sejak awal pengelola pembangunan sudah memikirkan dengan matang resiko atau dampak yang akan terjadi sehingga dapat diminimalisir. Pengelola juga tidak bertanggung jawab penuh terhadap dampak yang sudah dibuatnya kepada masyarakat setempat. Jadi, apakah bisa dikatakan 100% bahwa pembangunan PLTA Poso dan Malea berhasil jika ternyata fakta dibalik pembangunan tersebut masih membuat keresahan masyarakat yang tinggal di sekitar pembangunannya?
ADVERTISEMENT