Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Korupsi dan Otonomi Daerah
1 September 2021 17:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari DHIMI SETYO ARRIVANISSA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari, sebagai tersangka atas dugaan kasus korupsi jual beli jabatan. Menariknya, dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, ia ditangkap bersamaan dengan suaminya Hasan Aminudiin yang menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem. Di tengah ketidakpercayaan publik terhadap institusi KPK, namun, nyatanya KPK masih menunjukkan taringnya dalam pemberantasan korupsi. Hal ini tentunya menambah kasus kepala daerah yang terjerat kasus Korupsi. Setidaknya dari tahun 2005 hingga sekarang telah lebih dari 420 kepala daerah tersandung kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Secara global Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 berdasarkan data yang dikeluarkan Transparency Internasional menunjukkan adanya penurunan poin 3 poin dari 2019 yang mana menyebabkan peringkat Indonesia berada di 102 dari 180 negara yang disurvei. Persoalan yang tak kunjung usai menandakan bahwa sampai saat ini masih terdapat lubang yang mengakibatkan maraknya praktik korupsi pada kepala daerah. Padahal, dalam konsep otonomi daerah, kepala daerah memiliki peran yang cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah atau dengan kata lain majunya suatu daerah ditentukan oleh peran kepala daerahnya.
Korupsi dan Dampaknya pada Daerah
Pasca amandemen UUD 1945 mengamanatkan untuk memperkuat otonomi daerah di dalam kerangka negara kesatuan. Tujuan nya tidak lain untuk memangkas kesenjangan antara pemerintah pusat dan ekonomi baik dari aspek politik maupun ekonomi. Otonomi sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri guna tercapainya kepentingan masyarakat dalam sistem negara kesatuan. Namun, sayangnya, tujuan tersebut nampaknya masih jauh tercapai mengingat tingginya tingkat korupsi di daerah.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat tiga alasan utama, pertama, otonomi daerah saat ini berjalan hanya berfokus pada pelimpahan wewenang dalam membuat kebijakan, pengelolaan keuangan dan administrasi antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua, tidak dapat dipungkiri dengan otonomi daerah yang memiliki keleluasaan bagi daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya terkikis nya kontrol oleh pemerintah pusat. Ketiga, kegagalan dalam pengawasan yang menjadi kewenangan legislatif daerah. Bahkan tidak sedikit korupsi di daerah yang mengikutsertakan lembaga legislatif nya sehingga tidak terjalinnya pengawasan secara optimal. (Desi Sommaliagustina, 2019).
Dengan demikian tingginya tingkat korupsi di daerah maka berdampak pada aspek pembangunan di tiap-tiap daerah. penelitian empirik yang dilakukan Transparency Internasional misalnya, menunjukkan bahwa korupsi mengakibatkan rendahnya investasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Di sisi lain, relasi antara korupsi dan pelayanan publik. David Hall misalnya, mengatakan bahwa korupsi telah merongrong pelayanan publik dan menghabiskan anggaran negara dengan mengalihkannya ke pihak atau elite yang korup. Hal yang sama dilakukan oleh Tim Peneliti dari Universitas Indonesia pada 2018 menunjukkan bahwa pola korupsi pemerintahan daerah dari 2010-2018 berdampak pada pelayanan publik..
ADVERTISEMENT
Dari paparan di atas menunjukkan bahwa praktik korupsi telah memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat di tingkat daerah. Setidaknya terdapat beberapa alternatif yang dapat ditempuh dalam rangka pemberantasan korupsi.
Pertama, pengawasan dana kampanye. Tidak dapat dipungkiri tingginya praktik korupsi dikarenakan biaya politik yang mahal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KPK, seorang calon bupati/wali kota membutuhkan 20-30 miliar dan calon Gubernur membutuhkan 20-100 Miliar untuk pencalonan nya (KPK 2015). Besarnya biaya politik mengakibatkan maraknya praktik korupsi. Untuk itu, langkah yang dapat ditempuh dengan mengatur ulang dana kampanye. Dengan memberikan pengaturan secara tegas mulai dari sumber dana, maksimal pengeluaran, asal usul sumbangan hingga pemisahan antara kampanye dan non-kampanye (minan, 2012).
ADVERTISEMENT
Kedua, memperkuat pengawasan KPK. Menurut UU No 19 Tahun 2019, KPK mengemban enam tugas yang dikelompokkan menjadi dua bagian besar yakni pencegahan dan penindakan. Sebagai upaya preventif maka sudah semestinya KPK memaksimalkan dalam hal pencegahan di tingkat daerah dengan cara pembentukan KPK di tiap-tiap provinsi.
Penulis : Dhimi Setyo Arrivanissa
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia