Konten dari Pengguna

Problematik Amandemen Terbatas UUD 1945

DHIMI SETYO ARRIVANISSA
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
4 September 2021 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DHIMI SETYO ARRIVANISSA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Wacana amandemen UUD 1945 terus digulirkan oleh MPR. Di mana keinginan amandemen hanya terbatas pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan keterlibatan MPR dalam RAPBN. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat UUD saat ini masih terbilang memiliki kekurangan. Misalnya, keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah dalam persetujuan pembentukan perundang-undang yang dinilai masih lemah. Pasalnya, DPD dalam fungsi legislasi hanya terbatas pada pembahasan dan tidak memiliki kewenangan pada proses persetujuan. Kemudian, terkait dengan lembaga independen seperti KPK yang saat ini didorong untuk pengaturan nya dimasukan dalam UUD 1945. Sebab keberadaan KPK saat ini hanya diatur dalam UU yang dibentuk melalui open legal policy di parlemen. Dengan demikian, suatu saat tidak menutup kemungkinan KPK untuk dibubarkan. Oleh karena itu, jika ingin memperkuat KPK maka semestinya KPK di atur dalam UUD sehingga miliki cantolan dan akan mempersulit untuk dilakukannya pelemahan terhadap lembaga antirasuah.
ADVERTISEMENT
Amandemen UUD 1945
Berbicara mengenai amademen UUD 1945 terdapat dua metode. Pertama, amandemen formal yang mana perubahan yang diatur sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Yang di atur dalam Pasal 37 UUD 1945 yang berbunyi (1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. (4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada ayat (5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Dengan demikian tidak ada batasan terhadap materi muatan jika dilakukan perubahan kecuali mengenai bentuk negara yang tidak dapat diubah. Secara historis amandemen telah dilakukan sebanyak 4 kali yakni pada 1999, 2000, 2001, dan 2022. Tentunya amandemen terakhir telah memberikan banyak perubahan dalam aspek ketatanegaraan misalnya, memperkuat check and balance dan kehadiran DPD dan Mahkamah Konstitusi.
Kedua perubahan informal, yakni mekanisme perubahan di luar cara dan mekanisme yang diatur dalam konstitusi. Hal ini dapat dilakukan melalui kebijakan pemerintah, praktik legislasi, dan melalui lembaga peradilan. Misalnya dalam melalui lembaga peradilan yang mana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/puu-vii/2009, pada intinya putusan ini memberi kewenangan bagi mahkamah konstitusi untuk menguji peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (perppu). Padahal jika melihat kewenangan MK dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Artinya, secara eksplisit pengujian Perppu tidak termasuk dalam kewenangan MK. Namun, putusan tersebut memberikan kewenangan pada MK untuk pengujian Perppu terhadap UUD yang artinya telah terjadi praktik perubahan UUD 1945 secara informal melalui lembaga peradilan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilihat bahwa amandemen merupakan agenda yang besar dan prosesnya pun terbilang tidak mudah. Bahkan sampai saat ini, amandemen secara formal baru dilakukan sebanyak 4 kali. Artinya, jika kedepan akan dilakukan amandemen maka lebih baik dilakukan secara komprehensif terhadap permasalahan ketatanegaraan dan tidak hanya berfokus pada isu PPHN dan keterlibatan MPR dalam RAPBN.
Penulis : Dhimi Setyo Arrivanissa
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia