Konten dari Pengguna

Problematika Penghapusan Mural

DHIMI SETYO ARRIVANISSA
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
31 Agustus 2021 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DHIMI SETYO ARRIVANISSA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://kumparan.com/faridaazzahra11/mural-dan-kriminalisasi-ekspresi-sosial-1wOyxfWqT7F
zoom-in-whitePerbesar
https://kumparan.com/faridaazzahra11/mural-dan-kriminalisasi-ekspresi-sosial-1wOyxfWqT7F
ADVERTISEMENT
Fenomena penangkapan muralis asal Tangerang setelah melukis wajah Jokowi dengan tulisan “404; Not Found” di tembok daerah Batuceper, Tangerang, Banten, menuai kritik tajam. Hal ini disebabkan telah merampas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Padahal, kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia, hal ini pun telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 28E ayat (3) yang pada intinya setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Basis ini yang kemudian menjamin setiap orang memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat di dalam bernegara.
ADVERTISEMENT
Namun, kebebasan berekspresi dan berpendapat tidaklah mutlak tanpa ada batasan, jika merujuk pada Pasal 28J ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, dalam menjalankan kebebasan berekspresi dan berpendapat senantiasa memperhatikan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah tepat tindakan penghapusan moral yang dilakukan oleh aparat?
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Konsep negara demokrasi menghendaki adanya jaminan HAM. Dalam Hukum HAM pemangku hak adalah individu, sementara kewajiban diletakkan pada negara. Yang kemudian negara memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghormati HAM. Dalam konteks hak kebebasan berpendapat basis legitimasi dapat ditemukan dalam instrumen hukum internasional dan nasional. Dalam aspek hukum internasional dapat ditemukan pada Universal Declaration Of Human Right (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 pada Pasal 19. Kemudian juga diatur dalam Pasal 19 ICCPR yang telah diratifikasi oleh pemerintah. Pada intinya, baik dalam DUHAM maupun ICCPR hak kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan HAM yang diakui dalam prinsip-prinsip Internasional.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dalam hukum nasional UU No.9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum telah mengakomodir kebebasan berpendapat. UU ini dimaksudkan untuk mewujudkan iklim kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan untuk menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat. Dengan demikian baik dari aspek hukum internasional maupun nasional pada prinsipnya menghendaki menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kemudian, jika dikaitkan dengan mural yang mengkritik pemerintahan maka sejatinya termasuk bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang semestinya dijamin oleh negara dengan kata lain tidak tepat jika aparat melakukan penghapusan mural. Lalu kemudian, apakah pembuat mural dapat dipidana?
Pemidanaan terhadap muralis setidaknya hanya dapat dilakukan dengan dalil pencemaran nama baik. Dan hal ini hanya dapat dilakukan jika Presiden Jokowi melaporkan secara pribadi. Dan tidak tepat pula jika mendalilkan pada Pasal Penghinaan terhadap Presiden sebab pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2007 karena dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, sangat keliru jika Presiden dianggap sebagai lambang atau simbol negara, karena menurut UUD Pasal 35 sampai 36A lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Lalu kemudian, dalam UU No 24 Tahun 2009, yang pada intinya menyebutkan simbol negara itu bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan. Artinya, presiden tidaklah dikatakan sebagai simbol negara selain itu dalam konsep presedensiil presiden merupakan kepala negara dan pemerintahan. Oleh karenanya sudah semestinya aparat tidak melakukan tindakan berlebihan dalam menyikapi mural bahkan sampai dengan menangkap pembuat mural sebab jaminan HAM merupakan salah satu variabel yang penting untuk menciptakan demokrasi yang baik.
Penulis : Dhimi Setyo Arrivanissa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
ADVERTISEMENT