Konten dari Pengguna

Stagnasi Perdagangan Internasional: Mengapa Negara Anggota WTO Sulit Bersepakat?

Diah Pitaloka
Graduate Student in International Relations Program at Gadjah Mada University.
1 September 2024 9:04 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diah Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Markas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, 12 April 2022. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Markas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, 12 April 2022. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Selama enam dekade terakhir, rezim perdagangan telah mengalami transformasi yang signifikan, didorong oleh pertumbuhan pesat perdagangan internasional yang telah memperdalam keterkaitan antar-ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
WTO dijelaskan sebagai pusat dari sistem politik perdagangan internasional di mana pemerintah melakukan negosiasi, menegakkan, dan merevisi kebijakan perdagangan. WTO memiliki tiga fungsi utama yaitu:
Kemudian, WTO beroperasi berdasarkan dua prinsip inti:
Prinsip ini diwujudkan dalam dua bentuk utama yaitu: most-favored nation (MFN)–mencegah negara-negara memberikan persyaratan perdagangan istimewa kepada negara tertentu, dan national treatment–melarang pemerintah memberikan keuntungan kepada produsen domestik dibandingkan dengan produsen asing melalui pajak atau regulasi
ADVERTISEMENT
WTO memiliki seperangkat aturan yang dibuat melalui perundingan antar-pemerintah yang utamanya diatur dalam putaran negosiasi. Setiap putaran memiliki target dan agenda spesifik, dengan Putaran Doha menjadi contoh terbaru dan yang masih berlangsung.
Kompleksitas masalah yang semakin meningkat dan keberagaman kepentingan anggota membuat putaran-putaran ini semakin panjang dan sulit diselesaikan. Per 30 Agustus 2024, WTO memiliki 166 anggota yang mencakup hampir semua negara di dunia, termasuk negara-negara core, periphery, dan semi-periphery yang bersama-sama mewakili lebih dari 98% perdagangan global. Dengan demikian, hal ini menimbulkan perbedaan kepentingan antara global south dengan global north.
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, sering kali memiliki kepentingan yang berbeda dengan negara berkembang, terutama dalam isu-isu seperti subsidi pertanian, hak kekayaan intelektual, dan akses pasar untuk produk-produk manufaktur dan jasa.
ADVERTISEMENT
Ketidakcocokan ini membuat negosiasi menjadi lebih sulit dan berkepanjangan. Sementara negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh Brasil, China, dan India, telah menjadi blok yang kuat di dalam WTO dan mengubah dinamika negosiasi perdagangan.
Mereka menuntut liberalisasi yang lebih besar di sektor-sektor yang penting bagi mereka, seperti pertanian, sementara negara maju enggan melakukan konsesi besar di area tersebut. Sulit bagi WTO untuk menghasilkan kesepakatan yang memuaskan semua pihak karena kepentingan yang diwakili oleh setiap negara menjadi semakin beragam dan tidak ingin mengorbankan kepentingan domestiknya.
WTO dianggap terlalu pro-liberalisasi dan kurang mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh kebijakan perdagangan bebas. Banyak negara berkembang merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat yang adil dari sistem perdagangan internasional saat ini yang lebih menguntungkan negara-negara maju dan korporasi multinasional​.
ADVERTISEMENT
Negara-negara maju sering kali memiliki pengaruh lebih besar dalam WTO karena kekuatan ekonomi dan politik mereka. Mereka menggunakan kekuatan ini untuk memveto proposal yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Sebaliknya, negara-negara berkembang sering kali kesulitan mengkoordinasikan posisi mereka dan menghadapi tantangan dalam memperjuangkan kepentingan kolektif mereka. Terlepas dari national interest yang dimiliki oleh tiap negara, isu-isu yang dinegosiasikan dalam WTO semakin kompleks, mencakup lebih dari sekadar pengurangan tarif.
Perundingan sekarang melibatkan isu-isu seperti standar lingkungan, hak-hak buruh, dan regulasi teknologi yang semuanya membawa tantangan tambahan dalam mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Perkembangan ekonomi global yang pesat seperti meningkatnya peran teknologi dan digitalisasi menciptakan tantangan baru dan membutuhkan diskursus mendalam karena WTO belum memiliki regulasi yang mengatur hal tersebut sehingga memperumit proses negosiasi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meningkatnya peran aktor non negara seperti Non-Governmental Organization (NGO) mengangkat kekhawatiran tentang perlindungan konsumen dan lingkungan. Penentangan mereka terhadap apa yang dianggap sebagai bias pro-bisnis dari WTO menambah lapisan kompleksitas dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi ini.
Kompleksitas lainnya ialah masalah legitimasi dan transparansi, WTO telah dikritik karena kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusannya. Banyak keputusan penting diambil dalam pertemuan tertutup yang memicu tuduhan bahwa WTO lebih mengutamakan kepentingan negara maju dan korporasi besar daripada negara berkembang dan masyarakat sipil.
Hal ini menambah ketidakpercayaan dan resistensi dari berbagai pihak. Kemudian, mekanisme penyelesaian sengketa dagang WTO melalui Dispute Settlement Body (DSB) dinilai membutuhkan waktu yang sangat lama untuk proses pengambilan keputusan. Prosedur penyelesaian sengketa di DSB, mulai dari konsultasi hingga penyelidikan oleh panel dan banding, merupakan proses yang kompleks dan panjang.
ADVERTISEMENT
Proses ini melibatkan berbagai tahap termasuk konsultasi awal (60 hari), pembentukan panel (9 bulan), penyelidikan, laporan panel, hingga kemungkinan banding ke Appellate Body (60 hari) lalu mengimplementasikan keputusan akhir.
Negara sudah sepatutnya patuh terhadap keputusan akhir DSB. Proses untuk memastikan kepatuhan dan implementasi keputusan tersebut sering kali memakan waktu tambahan. Negara anggota memerlukan waktu untuk menyesuaikan kebijakan nasional mereka agar sesuai dengan keputusan WTO yang memperlambat resolusi akhir sengketa.
Meskipun banyak negara mematuhi keputusan DSB, ada juga negara yang menggunakan berbagai taktik untuk menunda atau menghindari kepatuhan secara penuh. Selain itu, lambatnya proses DSB juga bisa dipengaruhi oleh faktor politik. Negara besar atau berpengaruh terkadang dapat memperlambat proses atau mencari cara untuk menghindari keputusan yang tidak menguntungkan mereka, yang dapat memperpanjang waktu penyelesaian.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, mekanisme DSB WTO merupakan salah satu sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang paling komprehensif dan adil yang ada saat ini. Sistem ini memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dan sesuai dengan aturan hukum perdagangan internasional.
Kondisi stagnan pada rezim perdagangan internasional turut menjadi perhatian dalam kajian ekonomi politik global. Stagnasi ini merujuk pada situasi di mana proses negosiasi multilateral dan pengambilan keputusan dalam organisasi seperti WTO menjadi lambat atau bahkan terhenti, sehingga menghambat perkembangan dan implementasi kebijakan perdagangan global yang baru.
Sebagai akibat, banyak negara beralih ke perjanjian perdagangan regional seperti NAFTA, TPP, dan RCEP. Perjanjian-perjanjian ini memang mendorong liberalisasi perdagangan di kawasan tertentu, di mana mereka menciptakan sistem perdagangan yang lebih terfragmentasi dan diskriminatif yang berpotensi melemahkan sistem perdagangan multilateral WTO dan dapat merusak prinsip non diskriminasi WTO. Hal ini justru menimbulkan kekhawatiran apakah perjanjian regional ini akan melengkapi atau menantang sistem perdagangan global.
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini lebih menggaungkan kerja sama perdagangan bilateral berupa Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang dapat dianggap sebagai salah satu contoh kegagalan WTO memfasilitasi kerja sama multilateral yang efektif. Hal ini menunjukkan bagaimana negara-negara mencoba mencari jalan lain di luar sistem multilateral ketika sistem tersebut dianggap tidak lagi memenuhi kebutuhan mereka terutama setelah putaran Doha yang gagal mencapai kesepakatan besar yang diharapkan.
Dibandingkan dengan proses negosiasi multilateral yang panjang dan kompleks, kerja sama bilateral seperti CEPA dianggap lebih efisien dan cepat dalam menghasilkan manfaat ekonomi yang konkret. Melalui kerja sama bilateral, Indonesia dapat menegosiasikan perjanjian yang lebih sesuai dengan kepentingan nasionalnya dan mendapatkan keuntungan yang lebih langsung tanpa harus menunggu hasil negosiasi yang melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, Indonesia memilih untuk menjalin CEPA dengan berbagai negara sebagai strategi untuk memastikan akses pasar yang lebih baik, menarik investasi, dan mengembangkan hubungan ekonomi yang lebih erat dengan mitra dagang tertentu, tanpa harus bergantung pada kerangka kerja WTO yang dianggap kurang efektif.
Hingga tahun 2023, Indonesia sudah banyak melakukan kerja sama CEPA seperti Indonesia-Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement (IJEPA), Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA), dan lainnya.
Penandatanganan IA-CEPA. Foto: Free Trade Agreement (FTA) Center
Terakhir, meningkatnya tren proteksionisme dalam perdagangan di kondisi ekonomi global yang tidak stabil mendorong negara-negara untuk melindungi industri domestik mereka dari persaingan internasional yang semakin ketat. Proteksionisme mencerminkan keinginan negara untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan internasional.
ADVERTISEMENT
Ketika negara-negara anggota WTO, terutama negara-negara besar atau berpengaruh, memilih untuk menerapkan kebijakan proteksionis, mereka cenderung menolak usulan liberalisasi perdagangan dan menciptakan ketegangan dalam negosiasi WTO karena negara-negara dengan kepentingan proteksionis berusaha mempertahankan hambatan perdagangan, sementara negara lain mendorong penghapusan hambatan tersebut.
Negara-negara harus menyeimbangkan antara kebutuhan untuk melindungi pasar domestik mereka dengan tekanan internasional untuk membuka pasar mereka bagi produk asing. Ketika negara-negara melihat bahwa mitra dagang mereka cenderung mengadopsi kebijakan proteksionis, mereka menjadi kurang percaya diri untuk membuka pasar mereka sendiri.