Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Imperialisme Kebudayaan: Tantangan National Character Building pada Era Sukarno
8 Juni 2024 20:50 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Dian Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terminologi Imperialisme dan Kebudayaan
Berkembangnya ilmu pengetahuan telah berhasil merumuskan berbagai macam terminologi atau istilah yang ada di dunia akadimis, termasuk mengenai terminologi imperialisme dan kebudayaan. Imperialisme dapat dimaknai sebagai sebuah sistem yang bertujuan untuk menguasai dan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar. Pelaku yang menjalankan praktik imperialisme disebut sebagai imperator. Sedangkan, terminologi dari kebudayaan menurut bapak antropologi nasional, Koentjaraningrat, mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, Tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan sebagai milik diri manusia itu sendiri melalui proses belajar.
ADVERTISEMENT
Kata kebudayaan merupakan gabungan dari kata budaya ditambah dengan imbuhan “ke-“ dan “-an”. Budaya dapat dimaknai sebagai hal-hal yang berkaitan langsung dengan akal pikiran manusia yang dapat berupa cipta, karsa, dan rasa. Kata budaya dalam bahasa Inggris dapat diartikan sebagai culture. Kata culture merupakan perkembangan dari bahasa Latin, yaitu colere. Kata colere dapat dimaknai sebagai aktivitas manusia dalam mengolah dan mengerjakan sesuatu. Terminologi kebudayaan senantiasa dapat berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dalam menjalankan kehidupannya.
Tantangan Usaha Membangun Karakter Nasional
Dalam perkembangan masyarakat yang kemudian terwujudkan dalam bentuk bangsa dan negara, kebudayaan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia untuk mengetahui jati diri dan identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat yang berbilang bangsa. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang manjemuk dan heterogen harus dapat merumuskan arti kebudayaan nasionalnya demi tujuan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena sejatinya persatuan dan kesatuan dapat tercipta karena adanya rasa persamaan yang ada diantara banyaknya suku bangsa, baik dalam moral psikologis maupun tindakan aktivitasnya yang menganggap adanya kesesuaian antara budaya satu dengan budaya lainnya.
ADVERTISEMENT
Upaya didalam mempersatukan bangsa yang memiliki banyak kebudayaan telah terjadi di Indonesia setidaknya pada permulaan abad ke-20, dimana banyaknya organisasi yang ada kala itu seperti: Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong Minahasa, dipersatukan dalam narasi-narasi kesamaan nasib dan takdir yang merupakan ranah dari psikologis bangsa yang beragam tersebut. Hal ini yang kemudian termateraikan didalam sebuah pernyataan sakral pada 1928: satu darah, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.
Merumuskan sebuah formula yang dapat mempersatukan dan meruntuhkan egoism-regional bukanlah hal yang mudah dilakukan pada masa itu. Pertentangan dan sikap yang menganggap budaya lain lebih maju dan superior seringkali ada didalam masyarakat yang belum terlepas dari kungkungan zaman feodal. Oleh sebab itu dari pernyataan sakral 1928, itulah pondasi kebudayaan dan bahkan negara Indonesia sedang berusaha didirikan, oleh para pemuda dari berbagai macam latar belakang budaya, etnisitas, dan regional. Bahwa Sumpah Pemuda yang kemudian melahirkan tiga ikrar tersebut merupakan langkah berani yang diambil dalam rangka mencari persamaan identitas budaya ditengah keterpecahan yang diakibatkan oleh kebijakan politik devide at impera rezim kolonial Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta, pada dasarnya merupakan hasil buah manis dan implementasi tiga ikrar pernyataan sakral yang dilakukan pada tahun 1928. Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia berupaya sekuat tenaga untuk merekontruksi, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan nasional yang merupakan bagian dari program kerja pemerintah era Sukarno. Pada masa itu Sukarno menerapkan kebijakannya didalam membangun karakter nasional (national character building) yang sempat runtuh atau melemah akibat kebijakan kolonialisme yang dilakukan oleh penjajah asing dan kebijakan feodalisme yang dilakukan oleh elit bangsawan tanah air.
National character building berfokus kepada pencarian identitas atau karakter budaya bangsa Indonesia demi menciptakan manusia yang memiliki harga diri, jati diri, serta percaya diri akan kekuatannnya sebagai bagian dari masyarakat dunia. Namun demikian, pembangunan identitas nasional tersebut tidaklah mudah dilakukan, sebab pasca terjadinya Perang Dunia II dan masuknya era modernisasi dan westernisasi, banyak dari masyarakat yang sudah ‘terkontaminasi’ dengan budaya-budaya serta identitas asing, terutama sekali masyarakat di kota-kota besar yang memiliki akses akan dunia luar. Sehingga Pembangunan identitas nasional perlu diperkuat untuk menyadarkan masyarakat bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya yang merupakan bentuk dari softpower berupa nilai-nilai: rela berkorban, kolektivitas gotong royong, bertanggung jawab, sederhana, kerja keras, serta saling menghormati.
ADVERTISEMENT
Menurut seorang Indonesianis dan guru besar dari National University of Singapore (NUS), Hong Liu, mengatakan bahwasanya seruan yang diambil pemerintah Sukarno masa itu dalam kembali kepada identitas nasional merupakan sebuah produk sampingan dari kritik yang semakin besar dari pengaruh negatif budaya Barat. Secara budaya, munculnya kegelisahan pemerintah dan kritiknya terhadap ancaman modernisasi yang membawa westernisasi merupakan wujud kerinduan pemerintah terhadap budaya-budaya dan tradisi ketimuran yang mesti ditanamkan kedalam sanubari rakyat Indonesia. Titik awal didalam mengatasi krisis budaya yang terjadi pasca kemerdekaan Indonesia sebenarnya adalah sebuah pengakuan bahwa dalam hal semangat, logika, alasan, dan tujuan budaya Barat berbeda dengan karakter dan nilai bangsa Indonesia. Pada masa itu ciri ketimuran budaya bangsa Indonesia sedang tercemar oleh semangat budaya Barat yang mengandung ciri pengagungan akan materialisme dan indivualisme.
ADVERTISEMENT
Pencarian akan identitas karakter budaya nasional dan mengembangkannya serta mengimplementasikan kepada rakyat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa upaya tersebut adalah wujud dari sifat psikologis Sukarno, yang pada dasarnya anti-Barat, hal ini dapat dilihat dari sikap bermusuhannya terhadap negara dari kawasan tersebut karena aktif dalam melakukan kolonialisme dan imperialimenya di wilayah Indonesia. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa sikap yang mesti diambil oleh pemerintah adalah dengan memilah budaya asing yang kemudian diinterpretasikan dan diintegrasikan kedalam budaya Indonesia.
Kekesalan Sukarno, terhadap derasnya budaya Barat yang masuk ke Indonesia dan mempengaruhi masyarakat dapat dilihat dari komentar-komentarnya pada pidato kenegaraan. Sukarno, menyebutkan bahwa dirinya dan pemerintahannya harus melawan serta memerangi “Imperialisme Budaya”, selain imperialisme ekonomi dan politik dengan cara melanjutkan perjuangan melawan serta memeranginya sebagai bagian dari pelaksanaan revolusi nasional. Hal ini dapat dilihat dari pidato yang diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang dibacakan pada saat peringatan HUT RI 17 Agustus 1959, di Jakarta:
ADVERTISEMENT
“Demikian pula tidak benar, kalau orang mengira, bahwa karena fasal 3 program kabinet berbunyi: “melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik”, maka kita tidak akan mengambil pusing hal imperialisme-imperialisme lain, misalnya imperialisme kebudayaan.”
Dari pidato tersebut kita dapat melihat ekspresi kegelisahan Sukarno, dari kalimat pidatonya, yang mengatakan bahwa dalam rangka untuk menyelesaikan revolusi nasional saat itu tantangan pemerintah bukanlah imperialisme dalam bentuk ekonomi dan politik, tetapi imperialisme budaya. Bahkan Sukarno memerintahkan kepada Menteri Muda PPK (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan), untuk mengambil berbagai macam tindakan-tindakan didalam kebudayaan tersebut dalam rangka untuk melindungi kebudayaan nasional dan menjamin berkembangnya kebudayaan nasional. Dalam pidato tersebut Sukarno, juga turut memperinagti para pemuda-pemudi bangsa Indonesia yang hadir untuk menghindari bersikap dan berprilaku meniru budaya-budaya Barat,
ADVERTISEMENT
“Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti-imperialime ekonomi dan menentang imperialisme politik, kenapa dikalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa dikalangan engkau banyak yang masih rock n roll-rock n roll-an, dansi-dansian ala cha-cha-cha, dan musik-musikan ala ngak-ngik-ngek, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi? Dan mengapa dikalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan?”
Ucapan Presiden Sukarno yang menyindir para pemuda-pemudi tersebut, bukanlah tanpa alasan yang kuat. Pada masa itu timbul sebuah trend dikalangan anak muda didalam mengikuti model perkembangan budaya Barat, khususnya didalam bidang hiburan. Namun demikian, munculnya sikap dan perilaku kalangan pemuda-pumudi juga dapat menjadi alasan bagi tidak terakomodasinya kebudayaan nasional kala itu yang belum berhasil memikat hati pemuda-pemudi dalam memenuhi hasrat hiburannya. Sikap dan tindakan yang diambil oleh pemerintah pada masa itu sebagaimana yang diinstruksikan oleh Sukarno, kepada masyarakat, sebenarnya sudah jelas bahwa tidak boleh mengikuti dan bahkan memerangi imperialime kebudayaan. Namun demikian masih saja ada segelintir kalangan pemuda-pemudi yang masih ‘bandel’ terhadap larangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Firman Lubis, saksi sejarah yang pernah hidup pada masa Sukarno, mengatakan dalam bukunya bahwa, sejak tahun 1950-an, banyak remaja Jakarta yang menyenangi musik Barat. Penyanyi-penyanyi pop Amerika, seperti Elvis Presley, Connie Francis, The Everly Brothers, Pat Boone, Ricky Nelson, dan lain-lain sangat digemari hingga tahun 1960-an. Pada awal tahun 1960-an, muncul kelompok-kelompok musik dari Barat yang berhasil mencuri hati pemuda-pemudi Indonesia, salah satunya The Beatles dari Inggris. Musik-musik bergenre Hawaian dan jazz juga digemari masa itu. Tuduhan yang dilancarkan oleh pemerintah saat itu yang sedang membangun karakter nasional bangsa terhadap mereka yang mendengarkan atau memperaktikkan gaya-gaya Barat disebut sebagai kontra-revolusioner, kapitalis, dan antek-antek asing, sehingga mereka dimusuhi dan dihujat, bahkan bisa berakhir didalam penjara, sebagaimana kasusu Koes Plus, grup musik Indonesia yang meniru gaya The Beatles. Selain itu ada Rahmat Kartolo, yang dicekal karena menciptakan dan menyanyikan lagu “Patah Hati”, pemerintah menganggap lagu itu cengeng dan tidak sesuai dengan semangat perjuangan pemuda yang harus revolusioner progresif.
ADVERTISEMENT
Presiden Sukarno, pun mengaharapkan agar para pemuda-pemudi mampu untuk menghindari perilaku tersebut dan membantu pemerintah didalam rangka mensukseskan perlawanan melawan imperialisme budaya dan mengembangkan national charahter building, demi penemuan jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang baru saja merdeka dari kungkungan bangsa asing. Menurut Sukarno, kemerekaan bukan saja sebatas territorial, tetapi juga jiwa, pikiran, dan sikap kita yang harus lepas dari pengaruh-pengaruh budaya asing, yang terdapat dalam imperialisme budaya. Sikap tegas Sukarno, tersebut selayaknya dapat ditiru dan diaplikasikan oleh pemerintah dan masyarakat dimasa kini dengan memilah atau selektif dalam urusan menangani gempuran budaya asing yang masuk ke Indonesia.
Referensi:
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Liu, Hong. 2015. Sukarno Tiongkok dan Pembentukan Indonesia 1949-1965. Depok: Komunitas Bambu.
ADVERTISEMENT
Sukarno. 1959. Penemuan Kembali Revolusi Kita. Jakarta: Pemuda.