Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Pedagang dan Kaum Bangsawan Dalam Mempercepat Laju Islamisasi di Nusantara
1 Juli 2022 15:13 WIB
Tulisan dari Dian Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Dalam membahas sebuah sejarah mengenai masuk dan berkembangnya Agama Islam di Nusantara tidak terlepas dari berbagai peran yang dimainkan oleh masyarakat baik masyarakat tempatan maupun masyarakat luar wilayah Nusantara, termasuk dalam hal ini ialah peran yang diberikan oleh kaum pedagang yang memiliki keleluasaan dalam berlayar serta kaum bangsawan yang memiliki legalitas kepemimpinan dan politis dalam mempercepat laju Islamisasi di Nusantara. Sejarah mencatat banyak sekali peristiwa Islamisasi yang dilakukan oleh kaum pedagang dan bangsawan terhadap rakyat di bawahnya untuk sama-sama memeluk Agama Islam yang mana agama ini pada masa muncul dan berkembangnya Kesultanan di Nusantara pada kurun abad ke-13 hingga masuknya era kolonialisme Bangsa Barat menjadi agama resmi dari pemerintahan negara-negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Wilayah Nusantara yang kini terbentang di Selatan Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunai Darussalam, dan di wilayah Selatan Filipina merupakan wilayah yang sangat strategis baik secara geopolitik maupun secara sosio-ekonomi, hal ini dikarenakan wilayah tersebut memiliki banyak selat-selat penting yang menjadi urat nadi bagi pelayaran dan perdagangan internasional di wilayah ini serta memiliki beribu-ribu pulau yang memiliki komoditas yang sangat diminati oleh dunia internasional. Bahkan wilayah ini telah ramai sebelum masa Islam atau dengan kata lain wilayah ini sudah menjadi bagian yang penting dalam membentuk pola pelayaran dan perniagaan internasional sejak masa kerajaan Hindu-Buddha berkuasa di wilayah ini.
Sebuah catatan asing dari Tiongkok dari awal abad ke-13 menyebutkan bahwa terdapat barang-barang yang menjadi komoditas utama perdagangan dari Kerajaan Sriwijaya yang dijual kepada masyarakat Ta-Shih (masyarakat Arab) komoditas ini terdiri atas penyu, kamper, berbagai jenis kayu berharga termasuk kayu gaharu, rempah-rempah seperti cengkeh dan kapulaga, mutiara, parfum, gading, karang, kain wol dan katun . Sebaliknya Kerajaan Sriwijaya juga mengimport barang-barang atau komoditas dari negara-negara di Timur Tengah serta dari Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Begitupun ketika masa berkembangnya Agama Islam di wilayah ini. Para pedagang sangat ramai singgah dan memperjual-belikan barang dagangannya khususnya di Samudra Pasai. Dalam sebuah tulisan yang ditulis oleh Ibnu Batutah menyatakan bahwa dia melihat sebuah junk milik sultan Samudra Pasai di Tiongkok. Hal ini membuktikan bahwa ada suatu hubungan perdagangan maupun diplomatik antara penguasa di wilayah ini dengan penguasa di Tiongkok. Terkait dengan ini sumber Tiongkok mengatakan bahwa pada awal abad ke-15 para duta besar dari Samudra Pasai membawa upeti ke Tiongkok.
Ketika para pedagang dari Asia Barat, Asia Tengah, serta Asia Selatan mengunjungi wilayah-wilayah ini untuk berdagang mereka akan menetap untuk sementara waktu sampai terjadinya perubahan arah angin yang terjadi secara rutin di wilayah ini. Hal ini dikarenakan wilayah Nusantara yang berada diantara dua daratan besar yaitu daratan Asia di sebelah utara serta daratan Australia di sebelah selatan. Dalam hukum Buys Ballot dikatakan bahwa angin bergerak dari daerah yang bertekanan maksimum ke daerah yang memiliki tekanan minimum. Sehingga kalau di Australia terjadi musim panas maka angin akan bergerak menuju utara begitupun sebaliknya jikalau wilayah Asia mengalami musim panas maka angin akan bergerak menuju selatan.
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam hal ini terdapat perubahan arah angin yang terjadi di Nusantara secara berkala yaitu setiap enam bulan sekali. Lebih-lebih di wilayah bagian barat Nusantara yang mana perputaran arah angin membuat daerah ini menjadi istimewa. Disinilah kapal-kapal dari seluruh penjuru dunia bertemu, maka tidak mengherankan apabila kerajaan besar pertama yang kita kenal berpusat disini. Dalam suasana waktu yang luang ini banyak dari para pedagang khususnya pedagang yang berasal dari wilayah yang sudah mengalami pengislaman seperti dari Arab, Persia, dan Gujarat kemudian mendirikan permukiman-permukiman di pesisir pantai yang dekat dengan pelabuhan.
Munculnya permukiman-permukiman muslim ini dapat kita telusuri dari catatan Tiongkok dari zaman Dinasti Tang yang menyebutkan bahwa terdapat sejumlah orang-orang Ta-Shih. Menurut Groeneveldt sebagaimana yang dikutip oleh Uka Candrasasmita bahwa Ta-Shih ini di identifikasikan sebagai “orang-orang Arab” yang menetap di pantai barat Sumatera. Namun ada juga perbedaan mengenai dimana sebenarnya permukiman Ta-Shih ini ada yang berpendapat bahwa permukiman ini terletak di Palembang atau di Kuala Brang, 25 mil dari Sungai Trengganu. Dalam kondisi yang sedang menunggu tersebut kemungkinan para pedagang muslim saling berinteraksi serta menjalin komunikasi dengan masyarakat lokal dan kemudian mendakwahkan ajaran Agama Islam kepada penduduk lokal tersebut.
ADVERTISEMENT
Cara atau metode penyebaran agama yang dilakukan oleh para pedagang tadi rupaya merupakan suatu realitas dari ajaran Agama Islam dimana dalam hadist disebutkan bahwa setiap muslim hendaknya menyampaikan ajaran agama walaupun hanya satu ayat. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat muslim siapapun itu boleh menyampaikan ajaran agamanya. Hal ini jelas berbeda dari agama lain seperti agama Hindu-Buddha yang cenderung lebih menekankan fungsi kaum agamawan dalam menyebarkan atau mendakwahkan ajaran agamanya kepada masyarakat karena hanya kaum agamawan sajalah yang paham dan mengerti akan tulisan Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Dengan berkembangnya ajaran Agama Islam di kawasan pesisir maka ajaran agama tadi menyebar hingga ke pedalaman dan menyentuh kalangan-kalangan bangsawan pra-Islam. Hal ini karena terjadi beberapa sebab, ada ulama yang berdakwah ke istana secara langsung bertemu dengan raja dan ada juga pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat kelas atas kepada seorang pedagang muslim yang kaya raya ataupun dengan seorang ulama. Sebab pertama dapat kita lihat dari proses dakwah yang dilakukan oleh ulama dari Yaman yaitu Syeikh Abdullah Al-Qumairi yang kemudian menghadap raja Kedah di Istana. Dari hasil dakwah tersebut maka raja Kedah yang bernama Maharaja Derbar Raja II masuk Islam dan mengganti nama beliau dan atas saran dari ulama tersebut dengan nama Sultan Mudzaffar Zillullah fil Alam. Sedangkan sebab kedua dapat kita lihat dari perkawinan yang dilakukan antara Puteri Campa dengan Raja Majapahit yaitu Brawijaya. Selain itu terdapat perkawinan antara Maulana Ishaq dengan puteri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri, serta perkawinan antara Sunan Ampel dengan Nyai Gede Manila putri Temenggung Wilwatika atau Majapahit.
ADVERTISEMENT
Selain itu juga ada dalam Hikayat Pattani yang menyebutkan kisah bahwa pelopor pertama agama Islam di Pattani ialah seorang dari Samudra Pasai yang bernama Syeikh Said. Sebagaimana dikatakan bahwa Raja Pattani kala itu, Paya Tu Nagpu disembuhkan dari sakitnya oleh Syeikh Said, setelah sembuh maka Raja tersebut menyatakan keislamannya dan mengganti namanya menjadi Sultan Ismail Syah Zillullah Fil Alam. Tidak hanya itu ketiga anak dari penguasa Pattani juga menyatakan keislamannya yaitu yang tertua Sultan Mudzaffar Syah, yang kedua Siti Aisyah, dan yang termuda Sultan Mansyur Syah. Maka ketika Sultan Mudzaffar Syah memerintah Pattani seorang mubaligh yaitu Syeikh Saifuddin datang dan mendirikan sebuah masjid di wilayah tersebut hingga Pattani menjadi ramai dengan penduduk muslimnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan pada masa selanjutnya Kesultanan Pattani Darussalam menjadi terkenal sebagai pusat pembelajaran Agama Islam di Nusantara karena banyak ulama-ulama yang berhasil menulis berbagai macam kitab-kitab diantaranya ialah Daud bin Abdullah Al-Fatani, Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fatani, Zainal Abidin Al-Fatani, Ali Ishaq Al-Fatani, dan Muhammad Saleh bin Abdurrahman Al-Fatani. Bahkan menurut Zamberi A. Malek dikatakan hampir tidak ada seorang pun di kalangan pelajar asal Nusantara yang tidak berguru kepada Syeikh Wan Ahmad Al-Fatani. Berkembangnya ajaran Agama Islam yang ditandai oleh muncunya ulama-ulama hebat merupakan bukti dari peran yang dilakukan oleh penguasa dalam mendukung dan melindungi para ulama dan masyarakat yang ingin belajar Agama Islam di daerah tersebut.
Ketika agama Islam sudah merambah masuk kedalam kaum bangsawan termasuk juga diantaranya ialah para pemimpin yang bergelar ‘sultan’, maka agama Islam semakin cepat tersebar ke wilayah-wilayah lainnya. Proses ini semakin cepat karena adanya dukungan yang diberikan oleh Istana dan seruan sultan mereka dengan memberikan konsep tradisional kepada masyarakat mengenai sultan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Hal ini terlihat dari beragamnya gelar-gelar yang dimiliki oleh para penguasa muslim seperti sultan, sunan, susuhunan, panembahan, bahkan sultan Kedah dan sultan Pattani diberikan gelaran Zillullah fil Alam yang berarti bayangan Allah di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana peran yang dilakukan oleh penguasa atau bangsawan dalam mempercepat laju islamisasi?. Pada umumnya peran yang dilakukan oleh bangsawan sangat beragam mulai memberikan dukungan serta perlindungan terhadap ulama, mendirikan masjid dan madrasah, serta dengan cara berdiplomasi melalui perkawinan silang antar dinasti. Dalam memberikan perlindungan terhadap ulama kita bisa lihat dari contoh bagaimana Sultan Iskandar Muda melindungi ulama-ulama sufi dalam mengajarkan tasawuf kepada masyarakat Aceh. Ada catatan yang memberikan informasi nasib Hamzah Fansuri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dibandingkan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Pada saat itu doktrin Hamzah Fansuri didukung oleh Iskandar muda tetapi tidak didukung oleh Iskandar Tsani yang pada masanya doktrin Hamzah Fansuri ditentang oleh Al-Raniri yang didukung oleh Sultan Iskandar Tsani.
ADVERTISEMENT
Begitupun di Kesultanan Samudra Pasai yang menurut kitab Rihlah yang ditulis oleh Ibnu Batutah menyebutkan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk memperbincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapatkan sambutan yang hangat mereka senang tinggal di Pasai dan mendirikan lembaga pendidikan . Diantara ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam itu antara lain dasar-dasar ajaran Islam, hokum Islam, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tafsir Hadist, dan beragam ilmu-ilmu lain yang penting bagi penyebaran Agama Islam seperti ilmu pengetahuan umum, kesusastraan Arab dan Parsi juga diajarkan.
Sedangkan untuk peran yang kedua kita bisa lihat dari didirikannya masjid-masjid kesultanan seperti Masjid Baiturahman Banda Aceh yang didirikan atas perintah Sultan Iskandar Muda bahkan pada masanya di setiap kampong terdapat sebuah atau lebih meunasah yang selain sebagai tempat beribadah juga menjadi tembat bagi pertemuan dan permufakatan warga kampong, tempat anak-anak belajar ilmu-ilmu keagamaan seperti mengaji atau membaca al-Qur’an, dan juga sebagai tempat tidur anak-anak muda di waktu malam hari.
ADVERTISEMENT
Begitupun di Kesultanan Jogjakarta Hadiningrat dimana Sultan Hamengkubowono I bersama dengan Kiayi Fakih Diponingrat mendirikan Masjid Gedhe Kauman pada 29 Mei 1773 sebagai pusat kajian dan penyebaran agama Islam di wilayah kekuasaannya. Begitupun di Kesultanan Banten, Sultan Maulana Hasanudin mendirikan Masjid Agung Banten pada tahun 1556 sebagai tempat ibadah dan pengajaran agama dan setelah itu Sultan Haji tercatat mendirikan Tiyamah yang berlokasi di samping masjid tersebut sebagai tempat pengkajian dan pembelajaran agama Islam.
Cara terakhir yang dilakukan oleh kaum bangsawan dalam mempercepat laju Islamisasi di Nusantara ialah melalui diplomasi antar dinasti dengan metode perkawinan. Hal ini terbukti sangat efektif dalam menyebarkan ajaran Agama Islam yang nantinya dari perkawinan ini suatu penguasa akan memeluk Agama Islam dan penguasa tadi akan menyebarkan ajaran agamanya kepada masyarakat negerinya sesuai dengan konsep ideologis negaranya yang menganut negara monarki teokrasi atau negara kerajaan yang berbasiskan kepada ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Dalam cara perkawinan antar dinasti ini dalam lintasan sejarah kita bisa lihat dalam beberapa kasus diantaranya ialah perkawinan yang dilakukan oleh Parameswara, penguasa Malaka yang kemudian berkawin dengan Puteri dari Kesultanan Samudra Pasai, setelah itu maka Parameswara merubah namanya menjadi Sultan Megat Iskandar Syah, yaitu Sultan dari Kesultanan Malaka. Maka semenjak itu Kesultanan Malaka menjadi basis dan pusat bagi penyebaran ajaran Islam di Tanah Semenanjung Melayu terlebih-lebih pada masa sultan selanjutnya yaitu Sultan Mudzaffar Syah (1459 M) dan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M).
Bahkan kala itu pengaruh yang diberikan oleh Kesultanan Samudra Pasai terhadap Kesultanan Malaka sangat kuat sekali, relasi ini bukan saja melalui relasi politik namun juga dalam hal ehwal perekonomian. Dimana Kesultanan Malaka mengadopsi penempatan bentuk mata uang emas atau dirham. Hal ini terjadi karena ketika penguasa Melaka berkawin dengan puteri Pasai, maka banyak para pedagang dari Pasai ke Bandar Malaka. Seperti juga dalam temuan arkeologis kita tau bahwa Samudra Pasai merupakan Kerajaan Islam di Nusantara pertama yang mengeluarkan mata uang emas sebagai alat tukar resmi, yang mana pada masa Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326 M) yang sampai saat ini dianggap sebagai dirham tertua.
ADVERTISEMENT
Selain itu terdapat juga perkawinan yang dilakukan oleh penguasa Brunei terhadap anak dari penguasa Johor. Peristiwa ini dapat kita lihat dalam Silsilah Raja-raja Brunai, bahwa Awang Alak Betatar menikahi Puteri Johor kira-kira pada tahun 1368 M, kemudian Awang Alak Betatar memeluk Islam dan merubah namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Dalam kasus ini Awang Muhammad Jamil al-Sufri dalam bukunya yaitu Tarsilah Brunai Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, Johor yang dimaksud ialah Singapura Tua yang didirikan oleh Sang Nila Utama atau Sri Tri Buana atau Sultan Iskandar Syah yang memerintah antara tahun 1299-1347 masehi.
Setelah itu Agama Islam dijadikan sebagai ajaran resmi kerajaan dan juga dijadikan sebagai hukum kerajaan dimana pada masa sultan ketiga Brunai, yaitu Sultan Syarif Ali maka didirikannya masjid kesultanan pertama di negeri itu dan di tetapkan secara resmi arah kiblat menuju Makkah. Perkembangan dan Islmaisasi semakin kuat pada masa Sultan Bolkiah yang merupakan sultan kelima yang memerintah dari tahun 1485-1524. Dimana wilayah Brunai Darussalam terbentang dari Sambas, Kotawaringin, Kepulauan Sulu, Luzon, Mindanou, Bulongan, Kepulauan Balabak, Banggi, Blambangan, Mantanani, dan sebagian utara Pelelawan hingga di Kerajaan Islam Manila pada tahun 1520 M. Pengaruh Brunai terhadap wilayah-wilayah tersebut bukan saja secara geopolitik namun dalam hal ini juga berpengaruh terhadap sistem sosial dan religiusitas masyarakat di daerah tersebut yang kemudian beralih menjadi muslim.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Sejarah Islamisasi di Nusantara merupakan sejarah yang unik dimana ajaran agama ini disebarkan dan didakwahkan dengan cara-cara yang humanis dan preventif sehingga ajaran ini berkembang dan tersebar luas ke tanah Nusantara hingga ke hari ini. Pada masa awal Islamisasi di Nusantara kita tidak dapat terlepas dari peran yang dilakukan oleh para pedagang dan kaum bangsawan dalam mempercepat laju Islamisasi di Nusantara. Para pedagang datang ke pelabuhan-pelabuhan di Nusantara untuk menjajakan barang dagangannya dan untuk sementara waktu akan menetap di wilayah ini hingga terjadinya perubahan arah angina yang memungkinkan mereka untuk kembali ataupun melanjutkan perjalanannya.
Dalam kondisi menunggu inilah kaum pedagang menetap dan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat lokal dengan pendekatan yang humanis. Begitupun dengan peran yang dimainkan oleh kaum bangsawan yaitu dengan cara memberikan dukungan serta perlindungan terhadap ulama, mendirikan masjid dan madrasah, serta dengan cara berdiplomasi melalui perkawinan silang antar dinasti. Hal ini jelas merupakan cara yang sangat efektif dalam menyebarkan ajaran Islam.
ADVERTISEMENT
Sumber Referensi :
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Al-Sufri, Awang Muhammad Jamil. 1990. Tarsilah Brunai Sejarah Awal dan Perkembangan Islam. Brunai Darussalam : Jabatan Pusat Sejarah.
Candrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta : KPG.
Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta : Balai Pustaka.
Hamid, Ismail. 1983. Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Selangor : Fajar Bakti Sdn.
Helmiati. 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru : CV. Nuansa Jaya Mandiri.
Hidayat, Asep Achmad. 2017. Studi Kawasan Muslim Minoritas Asia Tenggara. Bandung : Pustaka Rahmat.
Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok : Komunitas Bambu.
ADVERTISEMENT
Majul, Caesar A. 1989. Dinamika Islam di Filipina. Jakarta : LP3ES.
Malek, Mohd. Zamberi A. 1994. Pattani Dalam Tamadun Melayu. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Roelofsz, M.A.P Meilink. 2016. Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara Sejarah Perniagaan 1500-1630. Depok : Komunitas Bambu.