Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Antara Pengungsi Rohingya dan Konflik Rempang: Di Mana Letak Kemanusiaan Kita?
25 Desember 2024 17:37 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari diana herlina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada isu sensitif terkait penolakan warga terhadap pengungsi Rohingya yang tiba di wilayah Riau. Isu ini menarik perhatian publik, terutama karena di saat yang sama terdapat konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat Melayu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: mengapa solidaritas terhadap saudara sebangsa terkikis, dan apa yang melatarbelakangi reaksi keras terhadap pengungsi asing?
ADVERTISEMENT
Penolakan Pengungsi Rohingya
Kelompok Rohingya adalah etnis minoritas yang mengalami diskriminasi berat di Myanmar. Mereka melarikan diri demi keselamatan jiwa dari genosida dan kekerasan sistematis. Indonesia, sebagai negara dengan nilai kemanusiaan yang tinggi, sering menjadi salah satu tujuan pengungsi meskipun bukan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951. Namun, munculnya penolakan dari sebagian warga Riau menunjukkan adanya tantangan dalam penerapan solidaritas kemanusiaan.
Alasan utama penolakan ini adalah kekhawatiran terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan budaya lokal. Beberapa masyarakat merasa bahwa kedatangan pengungsi dapat menambah beban daerah, terutama di tengah krisis ekonomi pasca-pandemi.
Kasus Pulau Rempang: Penggusuran atas Nama Pembangunan
Sementara itu, konflik agraria di Pulau Rempang menjadi sorotan karena tindakan keras yang diambil oleh pihak berwenang. Pemerintah berencana mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat investasi, yang dikenal sebagai “Rempang Eco-City.” Sayangnya, proyek ini berdampak langsung pada masyarakat adat Melayu yang telah mendiami wilayah itu selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Warga Rempang tidak hanya kehilangan tanah leluhur mereka, tetapi juga menghadapi tindakan represif selama proses pemindahan. Banyak yang merasa bahwa hak-hak mereka sebagai warga negara terabaikan, terutama karena mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. Ironisnya, di tengah gencarnya upaya pembangunan, nilai-nilai budaya lokal yang menjadi bagian dari identitas bangsa justru terancam hilang.
Refleksi atas Solidaritas
Kasus pengungsi Rohingya dan Pulau Rempang menunjukkan dua sisi dari tantangan sosial di Indonesia. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk memperkuat solidaritas kemanusiaan lintas bangsa, sementara di sisi lain, ada kewajiban untuk melindungi hak masyarakat lokal. Penting bagi kita untuk tidak memandang kedua isu ini secara terpisah, melainkan sebagai gambaran kompleksitas nilai kemanusiaan dalam praktik.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu lebih transparan dan inklusif dalam mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hak masyarakat adat. Di sisi lain, masyarakat juga harus memahami pentingnya membantu mereka yang sedang mengalami penderitaan. Sebab, pada akhirnya, nilai-nilai kemanusiaan adalah fondasi bangsa yang tidak boleh dikompromikan.
Indonesia, sebagai negara berlandaskan Pancasila, harus menunjukkan bahwa prinsip “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” bukan sekadar jargon, melainkan panduan nyata dalam menghadapi berbagai isu global dan lokal. Dengan begitu, harmoni antara kemanusiaan dan keadilan sosial dapat terwujud.