Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ahmadiyah: Bukan Warga Negara Kelas Dua
9 September 2021 13:18 WIB
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Soekarno pernah dituduh sebagai anggota Ahmadiyah, bahkan propagandaisnya Ahmadiyah, saat presiden pertama Indonesia itu dibuang di Ende tahun 1936. Tanggapan Soekarno dengan kabar tak berdasar itu menjadi sangat menarik menghubungkannya dengan penyerangan warga oleh kelompok yang mengatasnamakan agama merusak tempat ibadah dan bangunan milik Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat.
ADVERTISEMENT
“Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih,” tulis Soekarno. “Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujadid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya dapat banyak faedahnya dari padanya: “Mohammad the Prophet” dari Mohammad Ali, “Inleding tot de Studie van den Heiligen Qoer’an” juga Mohammad Ali, “Het Evangelie van den daad” dari Chawadja Kamaloedin, “De bronnen van het Christendom” dari idem, dan “Islamic Review” yang banyak memuat artikel yang bagus” (Tidak Pertjaja Bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Nabi, Dibawah Bendera Revolusi, 1964).
Yang terjadi di Sintang adalah kebalikan tak terbandingkan dengan apa yang dilakukan Soekarno. Kalau Soekarno mampu melihat sisi lain Ahmadiyah dengan mengucapkan terima kasih karena banyak buah pemikiran tokoh-tokohnya disukai Soekarno, massa yang mengamuk di Sintang terusik benar dengan keberadaan jemaat Ahmadiyah di daerah itu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kemudian: apakah agama memberi legitimasi untuk merusak tempat ibadah? Di mana negara saat peristiwa itu terjadi? Atau: bagaimana negara memandang Ahmadiyah sebagai warga negara yang kepadanya melekat hak-hak warga negara yang diamanatkan konstitusi? Pertanyaan pertama dengan mudah saja kita menyimpulkan: negara kerap absen. Polisi sebagai pelindung masyarakat tidak memaksimalkan peran mencegah yang mereka miliki. Juga sering terlihat seakan-akan memainkan peran penonton saja di pinggir lapangan.
Diskriminasi negara
Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 tidak mampu menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Butir kedua keputusan itu berbunyi: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.”
ADVERTISEMENT
Dilanjutkan butir keempat: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hubungan terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).”
Jemaat Ahmadiyah mesti melepaskan “ke-Ahmadiyah-annya” terlebih dahulu (butir kedua SKB) dan kemudian setelah itu mereka akan terbebas dari aksi kekerasan (butir keempat SKB). Boleh jadi, tafsir inilah yang dilakukan massa yang mengamuk di Sintang. Sementara itu pemerintah berdiri di posisi yang tak bisa memisahkan antara keyakinan dan kewarganegaraan. Pemerintah abai dengan konstitusi yang menjamin setiap orang bebas beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Absennya pemerintah di hampir setiap aksi kekerasan yang menimpa jemaat Ahmadiyah seolah-olah mengisyaratkan negara telah tunduk ke fatwa MUI yang memaksa pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Robertus Robet menggambarkannya sangat baik (Prisma, Vol. 28, Juni 2009). “Apabila MUI menolak Ahmadiyah sebagai bagian dari “umat 0Islam”, apakah negara kemudian bisa menolak Ahmadiyah atau memberlakukan Ahmadiyah bukan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki previledges sebagai warga dengan hak-hak sipil dan sosial yang diakui dalam sebuah masyarakat demokratis?”
ADVERTISEMENT
Atau, lanjut Robertus: “Apabila Ahmadiyah—dengan berbasis pada konsepsi hak-hak konstitusionalnya—bersikukuh untuk tetap mempertahankan sistem identifikasi partikularnya sendiri sehingga bertentangan dengan MUI, apa yang akan dilakukan negara?” Atau pertanyaan lanjutan: hak apa yang dimiliki MUI sehingga mempunyai otoritas menentukan keyakinan seseorang terlarang atau tidak? Atau apakah negara sudah menyerahkan kedaulatan untuk menghukum keyakinan seseorang dan menjaga kemurnian suatu agama kepada Departemen Agama dan Kejaksaan yang diwakili oleh Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat?
Peristiwa Sintang menggambarkan ke kita bahwa Ahmadiyah adalah warga negara kelas dua. Dengan demikian atas nama agama mereka berhak diusir, dalam kasus tertentu bahkan dibunuh, dan bila perlu dimusnahkan. Kita kerap mendengar Pemerintah hanya memiliki hanya prihatin dan mengutuk sekeras-kerasnya tindakan biadab kepada jemaat Ahmadiyah dengan merasa cukup mengatasinya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2008 yang isinya menyisakan multitafsir.
ADVERTISEMENT
Tirani mayoritas mengutuk kelompok minoritas berlainan keyakinan mesti disingkirkan. Diskriminasi minoritas dalam agama seperti ini harus kita perangi. Konsep mayoritas dan minoritas di negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan berbangsa sudah semestinya dibuang jauh-jauh. Tugas negara adalah menjamin setiap orang merasa nyam0an dengan keyakinannya. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, tidak terkecuali untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Jemaat Ahmadiyah, seperti jemaat agama lain di Indonesia, bukanlah warga negara kelas dua. Dengan demikian, segala hak kewarganegaraan melekat di dalam diri mereka.