Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Julius Schreiber & Johannes Winkler, Dokter Misionaris Pertama di Silindung (I)
8 Februari 2023 22:09 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana kehidupan orang Batak di Lembah Silindung ketika Julius Schreiber dan Johannes Winkler tiba di tempat ini?
ADVERTISEMENT
Winkler mencatat tentang kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi saat melahirkan. Winkler melihat ada hal-hal pada orang Batak yang menyebabkan hal tersebut. Dan itu terkait dengan praktek dalam keluarga ketika seorang wanita sedang hamil. Untuk mencegah anak dari penyakit kulit, wanita hamil dilarang menjilat gagang sendok saat menanak nasi. Suami dilarang memotong rambut selama kehamilan istrinya. Orang Batak percaya anak akan lahir tanpa rambut bila pantangan itu dilanggar. Suami juga dilarang memotong kukunya selama istrinya hamil bila tidak ingin anaknya lahir tanpa tondi (jiwa). Winkler juga menyaksikan keluarga Batak yang tidak memiliki anak pergi meminta bantuan ke dukun.
Winkler mengatakan banyak orang Batak menderita malaria karena tidak memperhatiakn higienitas. Selain itu, Winkler melihat pekerjaan pembukaan lahan sawah berandil sangat besar menimbulkan beragam penyakit. Wanita Batak, dalam pengamatan Winkler, lebih banyak bekerja ketika membuka sawah baru. Ditambah lagi wanita harus memanen padi, mengirik dengan kaki, dan menumbuk padi. Semua pekerjaan berat tersebut sering menyebabkan aborsi pada wanita hamil dan kematian saat melahirkan. Anak-anak kecil yang dibawa orangtuanya ke ladang juga sering masuk angin, demam, kram, dan penyakit lain yang sering menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
Menurut Winkler, pembukaan jalan menuju tanah Batak juga menyebabkan datangnya penyakit baru. Winkler menulis, “Penyakit menyebar bergerak mengikuti lalu lintas.” Menurut Winkler jalan baru itu membawa penyakit kelamin ke berbagai daerah di negeri Batak. “Dua puluh lima tahun silam, orang Batak tidak mengenal penyakit ini,” tulisnya. Bagi orang Batak jalan raya itu turut serta membawa begu, (roh halus; hantu) pembawa penyakit.
Gambaran tingginya angka kematian sudah sejak awal diutarakan Nommensen. Dia melaporkan banyak desa-desa hancur dan ditinggalkan karena wabah penyakit. Johannsen, rekannya misionaris, melaporkan bahwa dua puluh sampai tiga puluh orang meninggal setiap hari di lembah Silindung. Orangtua bahkan bunuh diri karena mereka telah kehilangan semua anak-anak mereka. Epidemi kolera tahun 1875 sangat mematikan; tetapi penyakit lain seperti disentri, tifus, dan cacar mewabah secara teratur dan sering berkecamuk selama berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
Perang lokal dan invasi pasukan Paderi Muslim sekitar tahun 1839 dan tentara Belanda pada tahun 1878, 1883, dan 1889 juga mempengaruhi situasi kesehatan secara negatif, karena persediaan makanan desa sering disita oleh musuh. Banyak orang yang demam berkepanjangan. Anak-anak dan remaja sangat rentan: selain penyakit yang disebutkan di atas, mereka juga meninggal karena campak, batuk rejan, dan cacar air. Nommensen, yang sangat tertarik pada perawatan kesehatan dan seorang ahli dalam pengobatan homeopati, melaporkan bahwa kematian yang tinggi juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang perawatan anak yang tepat dan perawatan orang sakit. Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa anak kecil yang demam tinggi, yang berkeringat di sekujur tubuhnya, disiram air dingin.
Julius Schreiber
ADVERTISEMENT
Julius Schreiber dan Johannes Winkler adalah dokter sitotas nambur, dokter pertama, di Rura Silindung. Tahun 1900 rumah sakit pertama di wilayah Batak didirikan oleh Rhenish Mission (RMG) di Pearaja, Silindung. Dokter Julius Schreiber adalah direktur pertamanya.
Sebelum tiba di Pearaja, Schreiber belajar bahasa Batak selama setengah tahun. Namun, sepertinya, waktu enam bulan tersebut tidak cukup baginya bahkan untuk memulai percakapan dengan pasien pertama yang ditanganinya di Pearaja. Untunglah ia mengerti bahasa Melayu, bahasa yang dipelajarinya di Jawa tempat ia bekerja sebelum ke Tanah Batak. Dan pasien pertamanya di hari pertamanya sebagai dokter misionaris adalah seorang anak yang sakit parah. Anak itu dibawa kepadanya dalam keadaan kritis. Schreiber memutuskan anak itu harus dioperasi. Ia mempersiapkan semua peralatan medisnya. Apakah anak itu selamat? “Anak ini diselamatkan dari kematian dengan bantuan Tuhan,” ujar Schreiber. Laksana api, berita kesembuhan anak itu menyebar ke penjuru Lembah Silindung. Beberapa hari kemudian tidak kurang dari 30 orang sakit dibawa ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Rumah Sakit Misi Pearaja dibangun di samping sekolah dan gereja. Rumah sakit dibagi ke dalam dua unit besar, yakni unit untuk laki-laki dan perempuan. Secara keseluruhan rumah sakit ini terdiri dari 12 gedung. Belum genap setahun setelah didirikan, sebanyak 18.986 pasien telah datang berobat ke rumah sakit pertama misi ini. Pasien yang berobat di rumah sakit ini menjalani aktivitas harian selama dalam perawatan. Pukul 10 pagi mereka mengikuti kebaktian yang diadakan oleh guru zending, atau misionaris. Demikian juga di malam hari, kebaktian diadakan setiap pukul enam.
Selain itu, setiap pasien yang berobat harus membawa keluarganya untuk memasak untuknya dan juga membantunya selama berobat. Hal menarik lainnya adalah di koridor rumah sakit disediakan beberapa hadiah yang bisa diambil oleh mereka yang membutuhkan. Kemungkinan besar hadiah itu diberikan kepada pasien yang akan meninggalkan rumah sakit karena sudah sembuh. Untuk semua pengobatan, mereka tidak dipungut biaya.
ADVERTISEMENT
Sudah sejak awal Schreiber penasaran dengan kondisi kesehatan di Silindung. Ia membutuhkan jawaban untuk menangkap akar permasalahan tingginya jumlah orang sakit di Silindung dan sekitarnya. Antara tahun 1900 dan 1909 Schreiber melakukan penelitian di lembah Silindung tentang perawatan kesehatan tradisional dan kondisi yang menyebabkan penyakit. Temuannya sangat berharga karena menggambarkan kondisi umum orang Batak sebelum layanan medis Barat diperkenalkan. Schreiber kemudian membandingkan kondisi kesehatan di Silindung dengan negara-negara di Eropa pada saat itu, khususnya mengenai kematian ibu dan anak.
Schreiber menemukan bahwa tidak ada yang salah dengan kesuburan perempuan Batak Toba di Silindung. Sebaliknya, sangat sedikit pernikahan yang tidak subur. Sebuah survei yang dia lakukan di 91 desa menunjukkan bahwa dari 1249 pernikahan hanya tujuh yang tidak memiliki anak, artinya hanya 0,6%. Persentase ini sangat rendah: di Eropa, infertilitas pasangan berkisar antara 7-12%.
ADVERTISEMENT
Schreiber juga menemukan bahwa tingkat kelahiran sangat tinggi: mencapai 47,7 per 1000 penduduk. Data ini dikumpulkan oleh jemaat-jemaat Kristen di empat desa di lembah itu. Ini adalah angka yang jauh lebih tinggi daripada yang dikenal di Jerman (36,1:1000), Belanda (32,5:1000), dan Irlandia (23:1000) pada saat itu. Tingkat kelahiran akan lebih tinggi lagi, tulis Schreiber, jika jumlah bayi yang meniggal saat lahir dimasukkan dalam hitungan; namun jumlahnya tidak diketahui karena tidak tercatat dalam arsip gereja. Dia juga menghitung jumlah anak yang lahir per wanita: banyak wanita Batak Toba yang lebih tua telah melahirkan lebih dari sepuluh anak selama masa reproduksi kehidupan mereka.
Meskipun tingkat fertilitas dan kelahiran tinggi, namun populasi di Silindung tidak meningkat secara signifikan. Schreiber menghubungkan ini dengan tingkat kematian anak yang tinggi dan juga tingkat kematian yang relatif tinggi di antara orang dewasa. Untuk mendapatkan perkiraan angka kematian anak, Schreiber melakukan survei terhadap 200 wanita usia 18-50 tahun yang pernah mengunjungi poliklinik yang ada di rumah sakit tersebut.
ADVERTISEMENT
Survei mengungkapkan bahwa dari semua anak mereka, tidak kurang dari 42,3% meninggal: 438 dari total 1054 orang. Persentase anak yang meninggal lebih tinggi pada wanita yang pernah melahirkan lima anak atau lebih, dengan persentase tertinggi (71,4%) untuk empat belas wanita yang telah melahirkan sebanyak empat belas anak.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyebab kematian anak, Schreiber melakukan survei kecil tambahan, pertama di dua desa yang dibangun di lokasi yang cukup sehat di lereng bukit lembah, dan di desa ketiga di tengah persawahan yang terkenal dengan wabah malaria yang tinggi. Di dua desa pertama, secara signifikan lebih sedikit anak yang meninggal (30 dari 89 = 35,9%) dibandingkan di desa terakhir (94 dari 212 = 44,3%).
ADVERTISEMENT
Malaria merupakan musuh terburuk anak kecil. Hal ini terbukti dengan angka pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit ini antara tahun 1903 dan 1906: dari total 14.911 kasus, 37,5% adalah anak-anak berusia antara nol dan dua tahun, dan 56,8% lainnya berusia antara tiga dan tujuh tahun. Malaria bahkan menjadi masalah yang lebih serius di Pahae, lembah di selatan Silindung, yang bagian selatannya masih tertutup rawa-rawa.
Tidak semua kematian anak-anak di wilayah daerah Batak Toba disebabkan oleh malaria. Di dataran tinggi Humbang dan di daerah lain yang tidak ditemukan sawah beririgasi, situasinya lebih buruk daripada di Silindung karena lebih sering gagal panen karena kekeringan. Anak-anak sering meninggal karena penyakit paru-paru yang disebabkan oleh angin kencang dan ganas di musim kemarau.
ADVERTISEMENT
Alasan lain tingginya angka kematian anak adalah praktik 'tradisional' perawatan ibu dan anak pascapersalinan, kurangnya kebersihan, nutrisi yang tidak tepat, dan perawatan bayi dan anak kecil yang sakit yang kurang baik. Schreiber cukup bersikukuh tentang pengasuhan anak Batak Toba yang dia anggap sama sekali tidak memadai dan salah arah. Sebagai contoh, orangtua biasanya meninggalkan bayi yang baru lahir berbaring begitu saja di tikar tempat ibunya melahirkan tanpa perlindungan apapun terhadap udara dingin sampai plasenta keluar. Tali pusar dipotong dengan pisau bambu tajam yang mudah menyebabkan infeksi karena pusar tidak didesinfeksi setelah itu.
Meskipun Schreiber memuji ibu-ibu Batak atas praktik menyusui mereka yang berkepanjangan, ia menolak kebiasaan mereka memberi makan bayi mereka dengan nasi kunyah segera setelah lahir, karena ini dapat menyebabkan gangguan pencernaan yang fatal. Praktik lain yang tidak disukainya karena efeknya yang merusak adalah kebiasaan para ibu membawa anak-anak mereka ke mana pun mereka pergi sehingga membuat anak rentan terhadap berbagai bahaya kesehatan. Demikian juga dengan praktik memandikan anak-anak yang demam tinggi dengan air dingin.
ADVERTISEMENT
Kematian anak juga berhubungan dengan kematian ibu. Sudah menjadi kebiasaan untuk membiarkan bayinya mati jika ibunya meninggal saat melahirkan. Alasan Batak di balik praktek ini adalah bahwa ( jiwa) ibu telah menolak anak. Orang Batak juga memandang anak yang ditinggal ibunya tidak alan cukup kuat bertahan hidup karena tidak ada yang melindunginya. Merawat bayi-bayi yang kehilangan ibu mereka saat melahirkan adalah salah satu tugas pertama yang dilakukan para suster misionaris.
Schreiber mengalami kesulitan untuk mendapatkan data yang akurat tentang kematian ibu karena wanita yang mengalami komplikasi serius saat melahirkan jarang dibawa ke rumah sakit. Dalam periode 1901–1909 ia hanya membantu seratus enam wanita, tiga belas di antaranya meninggal (12,3%). Mereka sudah sangat lemah tiba di rumah sakit sehingga ia tidak mampu menyelamatkan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Angka kematian ibu secara keseluruhan mungkin jauh lebih rendah dari itu, tetapi menurut perkiraannya masih sebesar 8,1 per 1000 kelahiran, yang merupakan angka yang jauh lebih tinggi daripada yang ditemukan di beberapa negara Eropa. Penyebab utamanya, ia menduga, bukan demam nifas, tetapi pendarahan yang berlebihan, karena lebih dari separuh wanita yang meninggal saat melahirkan meninggal dalam waktu 24 jam setelah melahirkan. Sebagian besar persalinan dilakukan di bawah asuhan kerabat perempuan. Bila proses persalinan tampak sulit, kerabat tersebut akan memanggil sibaso, dukun yang menangani persalinan. Menurut Schreiber, tindakan demikian lebih sering mendatangkan kerugian daripada kebaikan.
Mungkin angka perkiraan Schreiber untuk kematian ibu bahkan terlalu optimis. Wanita juga meninggal berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah melahirkan akibat infeksi rahim atau karena kelelahan karena nutrisi yang tidak mencukupi, bayi yang terus-menerus disusui, dan pekerjaan berat di ladang. Kelemahan fisik karena sering hamil juga membuat mereka lebih mudah menyerah jika terjadi wabah atau karena musim malaria yang sangat ganas. Faktor lain penyebab kematian ibu adalah kesedihan mendalam atas kematian bayi mereka. Dilaporka orangtua yang bunuh diri setelah kehilangan anak-anak mereka dalam epidemi kolera tahun 1875 menunjukkan bahwa stres psikologis memang bisa menjadi faktor 'fatal'. Ringkasnya, dapat diasumsikan bahwa orang Batak Toba pada masa pra dan awal kolonial, dan mungkin lama setelah itu, memiliki banyak alasan untuk khawatir bahwa anak-anak mereka tidak akan selamat dan sang ibu akan meninggal saat melahirkan.
ADVERTISEMENT
Pada 1913, Dr. Schreiber meninggalkan Pearaja. Ia tidak mampu mengatasi iklim tropis yang menyebabkannya harus berobat ke Jerman, kampung halamannya. Itulah tahun terakhir Schreiber mengabdi di tanah Batak hingga dia meninggal dunia pada tahun tahun 1941 pada usia 69 tahun di Jerman. Dr. Winkler dengan begitu menjadi dokter satu-satunya di Pearaja.
*Tulisan ini sebelumnya diterbitkan oleh Seminarium Press, Sipoholon, sebagai bagian dari buku Seminarium Reborn (2022). Diterbitkan kembali seizin penerbit untuk keperluan penyebaran pengetahuan.