Konten dari Pengguna

Julius Schreiber & Johannes Winkler, Dokter Misionaris Pertama di Silindung (II)

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
8 Februari 2023 22:39 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Dari kiri ke kanan) Johannes Winkler bersama Raja Isaak dan Datu Ama Batuholing. Winkler memegang pustaha Batak. Sumber: Peterson dalam Helga Petersen. Johannes Winkler und seine Sammlung von Batak-Objekten. Manuscript Cultures No. 14, hal. 39.
zoom-in-whitePerbesar
(Dari kiri ke kanan) Johannes Winkler bersama Raja Isaak dan Datu Ama Batuholing. Winkler memegang pustaha Batak. Sumber: Peterson dalam Helga Petersen. Johannes Winkler und seine Sammlung von Batak-Objekten. Manuscript Cultures No. 14, hal. 39.
ADVERTISEMENT
Johannes Winkler
Karl Johannes Martin Winkler, demikian ia dikenal dengan nama lengkapnya, lahir di desa Uichteritz pada 20 Maret 1874 di bagian Jerman Tengah yang sekarang disebut Saxony-Anhalt. Dia anak keenam dari dua belas bersaudara. Ayahnya, August Engelhard Winkler, seorang pastor paroki, menikah dengan Marie Charlotte Gerlach. Lima dari anak-anak mereka meninggal saat lahir. Nenek moyang kedua orangtuanya berasal dari keluarga pendeta. Ibu Winkler ketika dia berusia 11 tahun, dan dia kehilangan ayahnya juga ketika dia berusia 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Winkler dibentuk oleh cara hidup Kristen yang kuat. Winkler kecil sangat terkesan dengan misionaris Wilhelm Dietrich yang tinggal di rumah orangtuanya. Ia mengenal misionaris itu sebagai pendiri sebuah rumah sakit di Tungkun (sekarang Dongguan), Cina Selatan. Winkler pun bercita-cita menjadi dokter. Ia kemudian belajar kedokteran di sebuah universitas di Halle Marburg. Setelah mendapatkan gelar dokter, ia diterima bekerja sebagai dokter RMG. Dia belajar bahasa Belanda di Belanda, bahasa yang harus dikuasai sebelum ditugaskan secara resmi di tanah Batak.
Winkler datang ke Silindung bersama tunangannya, Margarete Schlosser, yang berasal dari Giessen, Jerman. Mereka menikah di Pearaja. Setelah masa bahagia hidup bersama di daerah tropis dan awal yang sukses untuk pekerjaan medis mereka, anak pertama mereka, Gretelotte, terserang malaria dan meninggal pada usia dua setengah tahun. Ibunya meninggal karena tipus hanya sembilan bulan kemudian. Dua tahun setelah ini, setelah masa berkabung yang intens, Winkler menikah lagi, kali ini dengan Luise Metzler. Mereka kemudian memiliki empat anak bersama. Renate, yang merupakan putri tertua, adalah ibuku. Luise adalah salah satu dari delapan putri yang lahir dari Wilhelm Heinrich Metzler, misionaris yang bertanggung jawab atas misi di Pearaja, yang telah mengalami awal yang berbahaya dari misi Batak pada tahun 1865 bersama dengan rekannya, Ludwig Ingwer Nommensen.
ADVERTISEMENT
Winkler tiba di Rura Silindung ketika pandangan tentang Batak oleh orang Barat belum beranjak jauh dari keyakinan bahwa orang Batak adalah kanibal. Meski tidak ditemukan satu bukti untuk ini, dan, sekali lagi, meski di awal-awal kedatangan orang Eropa melalui pelancong dan misionaris terkejut mengetahui orang Batak memiliki aksara sendiri yang digunakan untuk banyak aktivitas keseharian, orang Batak masih ditimpa dengan stereotip tersebut. Misionaris Warneck, misalnya, memberikan tanggapan kurang senang dengan aksara Batak:
"Bangsa Batak bukanlah suku yang kasar, mereka cerdas, berbakat, pandai bicara, bahkan mempunyai aksara sendiri, dan mereka memiliki sejenis sastra yang terdiri dari legenda, dongeng, teka-teki, pepatah, ratapan dan sebagainya. Tetapi ini bukanlah sastra seperti dalam pengertian kita karena kebanyakan diturunkan secara lisan. Apa yang dikarang oleh para ahli tulis di atas kulit kayu dengan aksaranya yang aneh, itu semua bersifat takhyul."
ADVERTISEMENT
Dr. Winkler tiba di tanah Batak pada Oktober 1901. Dia ditempatkan di Sipoholon. Di sinilah Winkler belajar bahasa Batak selama setahun sebelum tahun 1902 dia resmi bekerja di rumah sakit misi di Pearaja. Ia adalah dokter kedua di Pearaja. Dokter pertama adalah Dr. Schreiber yang mulai bekerja pada awal pendirian rumah sakit ini tahun 1900.
Pada tahun-tahun awal misi mengadakan pengobatan, mereka sangat mengutamakan pekerjaan medis di klinik rawat jalan-klinik rawat jalan di kampung. Di sanalah tempat penduduk berobat atau berkonsultasi tentang kesehatan mereka. Dokter dan perawat dari Pearaja mendatangi kampung-kampung itu dan mengadakan pengobatan gratis. Dokter dan perawat itu adalah bagian dari pekerjaan besar misi dalam menyebarkan agama Kristen. Karena itu, selain menjadi tenaga medis, mereka juga bagian dari penginjil. Pengobatan yang mereka bawa adalah bagian dari aktivitas medis mendapatkan kepercayaan dari penduduk.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan waktu, tahun 1905, misi melatih gadis-gadis Batak menjadi bidan dan perawat. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak di bidang perawatan di rumah sakit dan di klinik rawat inap. Selain itu, tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membantu persalinan yang selama ini sering berakhir pada kematian ibu saat melahirkan. Pada awalnya mereka dilatih selama tiga tahun untuk kemudian diperpanjang menjadi lima tahun. Setelah menamatkan semua pelatihan, mereka akan dipekerjakan sebagai bidan, perawat di rumah sakit, bahkan beberapa dari mereka bekerja di rumah sakit di Pantai Timur Sumatera.
Selain rumah sakit dan klinik rawat jalan, misi memanfaatkan barak-barak pemerintah sebagai tempat pengobatan. Pada tahun 1900-1911, saat wabah disentri sangat parah terjadi di tanah Batak, barak-barak ini difungsikan sebagai rumah sakit tambahan. Misi mengirim dokter dan tenaga perawat ke sana. Dengan cara ini epidemi yang merenggut nyawa ratusan orang akhirnya dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Tahun 1906, misi meningkatkan pelatihan medis secara lebih sistematis. Tidak hanya menghasilkan bidan dan perawat, pelatihan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis di banyak posisi. Kesempatan ini kemudian menarik orang Batak lebih banyak bersekolah menjadi tenaga medis. Mereka kini dilatih menjadi pembantu di ruang operasi, apoteker, pembantu di laboratorium, dan tenaga kesehatan yang ditempatkan di pos-pos terpencil. Khusus untuk bidan dan perawat, Dr. Winkler menulis buku teks yang sangat bagus untuk pendidikan keperawatan.
Untuk pemuda Batak berusia 16-18 tahun disediakan sekolah mantri. Tidak berbeda dengan pelatihan menjadi bidan, mereka juga harus mengikut pelatihan selama tiga tahun. Di hadapan komite dokter pemerintah, mereka harus lulus ujian mantri sebelum akhirnya bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit atau sebagai tenaga kesehatan di klinik-klinik misi.
ADVERTISEMENT
***
Pada Maret 1903 hingga April 1904, Winkler meninggalkan Pearaja. Ia menerima tugas terhormat dari Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan dan mencari penyebab kematian yang sangat tinggi di antara penduduk pulau Enggano. Ia kembali ditugaskan di sana dari September hingga awal Desember 1904.
Selain bekerja di rumah sakit misi, Winkler pada Agustus 1908 hingga Juli 1910 menduduki jabatan dokter militer di Tarutung, di mana ia juga bertindak sebagai dokter regional D.V.G.
Pada awal tahun 1909, Dr. Winkler melatih mantri dan perawat Batak. Dia adalah dokter pertama di tanah Batak yang melakukan pekerjaan ini. Dia menjadi pelatih perawat medis orang Batak pertama. Pengetahuan awal bahasa Batak yang dipelajarinya di tahun 1901 dirasa tidak mencukupi untuk keperluan tugas penting ini. Dia pun mengasah kemampuan bahasa Bataknya untuk bisa memberikan materi medis dalam bahasa Batak. Winkler kemudian menempatkan anak-anak didiknya di beberapa rumah sakit pembantu yang didirikannya.
ADVERTISEMENT
Tahun 1911 adalah tahun vaksinasi di tanah Batak. Winkler, ditemani mantri, perawat dan bidan yang dilatihnya, bekerja sangat keras untuk itu. Satu hal yang dipersiapkan Winkler untuk vaksinasi itu adalah membuat buku panduan vaksinansi berbahasa Batak.
Tahun 1915 Rumah Sakit Misi Pearaja merawat pasien rata-rata 24,8 per hari. Bahkan di satu hari di tahun itu rumah sakit ini pernah menangani 300 pasien. Hampir semua mereka berasal dari desa di daerah Pearaja. Winkler memutuskan untuk tidak berdiam di rumah sakit saja. Dia kemudian berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Angka kematian di tahun itu tergolong tinggi. Angka kematian di rumah sakit dalam 209 hari di tahun itu tercatat 32 orang. Lima belas orang harus dipulangkan karena tidak dapat disembuhkan. Demikian juga dengan 52 orang pasien meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuan dokter. Total orang yang datang berobat ke rumah sakit dalam kurun waktu itu sebanyak 740 orang. Dari semua pasien tersebut, Dr. Winkler melakukan operasi sebanyak 230 kali. Winkler juga harus menerima fakta memprihatinkan ini: dari 21 ibu yang melahirkan, 15 orang bayi meninggal saat persalinan.
ADVERTISEMENT
Setelah dua puluh tahun mengabdi menjadi dokter misi, pada 1921 dia kembali ke negaranya, Jerman. Namun, tahun 1933 Winkler harus kembali berada di tanah Batak. Saat itu usianya sudah hampir enam puluh tahun. Ia kembali berlayar ke Hindia Belanda. Pada awal tahun 1933, ia diminta menggantikan dokter misionaris yang sedang cuti. Namun, dia tidak ke rumah sakit Pearaja. Tahun 1932, rumah sakit Pearaja dipindah ke Tarutung karena Pearaja tidak mencukupi lagi. Rumah sakit Tarutung dibangun untuk memenuhi kebutuhan. Rumah sakit ini adalaha rumah sakit yang memenuhi semua persyaratan zaman. Orang Batak mendengar kabar kedatangan kembali Winkler. Mereka bergembera mengetahui itu. Orang Batak tentu tidak akan melupakan Winkler yang telah membantu menghilangkan penyakit dari tubuh mereka. Untuk semua pengabdian dan dedikasi Winkler tersebut, ia lantas dikenal dengan “pendiri perawatan medis di Tanah Batak.”
ADVERTISEMENT
Setelah Winkler pensiun, hatinya masih tertambat ke tanah Batak. Ia masih belum bisa melepaskan ikatannya dengan tempat yang membentuknya menjadi dokter tangguh. Dokter yang dikenal telah bekerja dengan cinta dan pengabdian yang besar. Di tanah airnya, di Jerman, Winkler menulis buku bahan ajar untuk digunakan di sekolah bidan dan perawat di Tarutung dan Balige. Buku itu berjudul Leerboek voor ziekenverpleging en ziekteleer; Leerboek voor verloskunde en Apotheek en laboratoriumboek, atau 'Buku Teks untuk Keperawatan dan Patologi; Buku Ajar Kebidanan dan Farmasi serta Buku Laboratorium.'
Sisi Lain Sang Dokter
Winkler memandang Batak berbeda dengan Warneck. Ia memiliki pikiran terbuka terhadap sesuatu yang baru. Dia tidak hanya ingin memberikan perawatan medis kepada orang Batak; dia juga tertarik dengan budaya mereka dan belajar tentang struktur sosial dan dunia keagamaan mereka selama merawat pasiennya. Winkler memperdalam pemahamannya tentang ketakutan orang Batak terhadap begu (roh halus; hantu). Ia menghormati nilai-nilai agama mereka dan mengatakan “Apa yang perlu kita lakukan adalah berempati.”
ADVERTISEMENT
Winkler mencatat dengan rinci semua pengamatannya. Dia meninggalkan rumah sakit dan berjumpa dengan lingkungan Batak. Dia ada di tengah-tengah orang Batak yang sedang menjalankan aktivitas keseharian. Dia mempelajari keahlian dan keterampilan artistik orang Batak. Kunjungan ke desa membuatnya memahami tradisi Batak, sistem kekerabatan mereka yang rumit, hierarki sosial, dan strategi peperangan. Dia bergaul dan bersahabat dengan raja dan datu Batak. Winkler mempelajari setiap segi kepercayaan mereka pada begu/tondi dan kekuatan kosmik. Ia mempelajari ritual-ritual orang Batak dan menghadiri upacara meriah dan tindakan ritual yang mereka lakukan, seperti kultus tondi dan kultus mereka terhadap orang mati.
Suatu hari Winkler mengobati seorang datu bernama Ama Batuholing. Penyakitnya sembuh dan mereka memutuskan untuk tidak mengakhiri hubungan di antara mereka sebatas ikatan dokter-pasien. Ama Batuholing membuka percakapan mendalam dengan Winkler di luar rumah sakit. Darinya Winkler mendapatkan pengetahuan dari tangan pertama tentang dunia kepercayaan orang Batak. Sang datu berbagi pengalaman pengobatan tradisional dengannya dan menuliskan resep dan bahan yang digunakan untuk membuat obat dan zat beracun untuk membunuh musuh. Selain itu, datu menjelaskan dunia roh baik dan jahat, kekuatan mereka atas penyakit dan tindakan ritual yang harus dilakukan seorang datu dalam setiap kasus.
ADVERTISEMENT
Dia menggambarkan ritual yang terkait dengan peristiwa besar dalam kehidupan masyarakat seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dia mengungkapkan seni ramalan orang Batak: kapan hari baik dan buruk akan terjadi, kapan mengawali musim tanam, dan kapan seseorang mengawali kehidupan. Ama Batuholing juga memberi tahu misionaris tentang gambar ajaib kompas berujung delapan yang berfungsi sebagai gambar kosmos yang dia buat sketsa di tanah atau di buku-buku tentang ramalannya. Dia bahkan memberinya pustaha, manuskrip dan buku mantra magis sebagai hadiah, bersama dengan alat magis, kalender, ukiran kayu dengan kekuatan magis, bejana untuk obat, topeng dan jimat.
Winkler kemudian mengumpulkan banyak sekali benda-benda Batak (peralatan pertanian, pakaian, perhiasan, alat tenun, barang-barang untuk kebersihan pribadi, peralatan berburu dan memancing, peralatan rumah tangga, peralatan untuk merokok dan mengunyah sirih, alat musik, alat magis, senjata, juga model rumah dan perahu) selama dia berada di Silindung. Selain dari para datu sahabatnya, benda-benda itu bersumber dari orang Batak yang membuang “peralatan orang kafir” karena mereka kini sudah menjadi Kristen. Meninggalkan segala hal magis adalah bukti bahwa mereka ingin meninggalkan kepercayaan lama mereka. Tidak sedikit pula benda-benda itu dibeli dari penduduk desa. Winkler mengirim semua benda ini ke Museum Etnografi di Hamburg, Jerman. Seluruh koleksinya terdiri dari 1.357 benda.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1925, dokter tersebut mewariskan apa yang telah dipelajarinya dari orang Batak dalam sebuah buku yang ditulisnya berjudul Die Toba-Batak auf Sumatra, in gesunden und kranken Tagen: Ein Beitrag zur Kenntnis des animistischen Heidentums ('Batak Toba di Sumatera, pada Hari-hari Sehat dan Sakit: Sebuah kontribusi untuk pengetahuan kita tentang paganisme animistik).
Tahun 1958, Winkler meninggal karena gagal jantung akut dua minggu setelah ulang tahunnya yang ke-84 saat berjalan ke altar Gereja St George di Tübingen bersama keluarganya untuk menerima Komuni Kudus pada Jumat Agung.
*Tulisan ini sebelumnya diterbitkan oleh Seminarium Press, Sipoholon, sebagai bagian dari buku Seminarium Reborn (2022). Diterbitkan kembali seizin penerbit untuk keperluan penyebaran pengetahuan.