Konten dari Pengguna

Sarimpang Art dan Kampus yang Bermusik

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
10 Agustus 2022 19:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sarimpang Art di Festival Literasi Balige, 27 Juli 2022. Foto: Dian Purba
zoom-in-whitePerbesar
Sarimpang Art di Festival Literasi Balige, 27 Juli 2022. Foto: Dian Purba
ADVERTISEMENT
Kapan musik dibutuhkan? Di mana dan dalam bentuk seperti apa?
ADVERTISEMENT
Sudah dua tahun ini hati saya kering dari musik. Padahal saya tinggal di Tarutung. Kenapa "padahal"?
Tarutung terbuat dari Batak + Kristen dan paduan antara Batak-Kristen dan Kristen-Batak. Batak menggambarkan banyak hal. Sebutlah "keegoisannya" dalam berbudaya. Bila begini, apalagi yang hendak diujarkan? Maksud saya: budaya Batakkah yang menghidupi Tarutung atau Tarutungkah yang menghidupi budaya Batak? Tentu jawaban sekelebatan saja tak bisa memberi jawab. Alih-alih jawaban melingkar-melilit-memutar dan semacamnya. Bagaimana dengan Kristen-Batak?
Tentang dua tahun tadi itu, ya, saya akan mengisahkannya begini.
Bila orang Batak berpesta, mereka akan bermusik. Namun, musik yang digunakan bukanlah musik tradisi murni. Bunyinya boleh jadi bunyi musik tradisi, namun bunyi itu bersumber dari alat musik yang bukan musik tradisi. Hal demikian terjadi di Tarutung. Juga di tempat lain yang dikategorikan kampung halaman orang Batak. Namun, Tarutung itu istimewa dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Perjumpaan orang Batak dengan Kristen, dengan demikian kristenisasi, boleh disebut, pertama sekali, dalam jumlah yang besar, terjadi di Tarutung (Rura Silindung). Tidak butuh waktu lama bagi misionaris Jerman (RMG, Rheinische Missionsgesellschaft) untuk melarang gondang dimainkan. Gondang, bagi misionaris, dianggap kafir, atau representasi kekafiran.
Misionaris RMG melihat tradisi Batak bertentangan dengan Injil. Menjadi orang Kristen berarti meninggalkan religi para nenek moyang. Orang Batak harus terpisah dari budaya tanah leluhur mereka. RMG sangat yakin bahwa segala sesuatu yang dimiliki Barat merupakan yang terbaik; jauh lebih baik dari yang dimiliki masyarakat Batak.
Misionaris kemudian mempromosikan culturkampf (perang budaya). Culturkampf merupakan usaha transformasi budaya lokal kepada peradaban Eropa. Masyarakat primitif (seperti Batak) dianggap tidak berbudaya (uncultur), sehingga budaya yang sudah ada harus dihilangkan.
ADVERTISEMENT
Aktivitas margondang, manortor, dan mangokkal holi juga praktek yang dilarang. Sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting dan malah perlu dimusnahkan. Penginjil Nommensen, misalnya, melarang jemaatnya bermain musik (margondang), menari (manortor), bahkan sistem kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan antar-sesama marga. Setelah mendapatkan perlawanan dari orang Batak, para penginjil bersedia berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak tetap dilarang dan diganti musik tiup asal Jerman.
Saya hendak mengatakan: inilah yang membuat musik Batak menjadi istimewa di Tarutung. Perubahan apa yang terjadi pada musik Batak akibat perjumpaan dengan Kristen tersebut? Atau seberapa kuat budaya Batak menampung Kristen dan seberapa dalam Kristen masuk ke dalam Batak?
ADVERTISEMENT
Sedemikian jauh hingga di 2020 saya berjumpa dengan Institut Agama Kristen Negeri Tarutung. Sedemikian lama pula, di 2022, saya bertemu dengan Sarimpang Art. Rentang waktu 2020 ke 2022 adalah rentang kekeringan musik tadi itu. Aktivitas keseharian kampus adalah aktivitas kerohanian. Demikian juga dengan musik yang mengiringi aktivitas tersebut. Berjalan begitu saja dan alat musik non-tradisi tidak pernah muncul mengiringi ibadah, misalnya.Untuk ini, saya teringat dengan awal penyebaran Kristen di Rura Silindung. Dan bertanya: kenapa bisa demikian? Sedemikian berseberangankah musik tradisi dengan ibadah Kristen? Dan ternyata: hampir semua gereja di Rura Silindung "mencampakkan" musik tradisi ke tempat yang teramat jauh.
Pertemuan dengan Sarimpang Art di 2022 adalah pertemuan "pucuk dicinta ulam pun tiba"; pertemuan rindu yang memuncak. Kapan musik dibutuhkan? Di mana dan dalam bentuk seperti apa?
ADVERTISEMENT
Terlalu buru-buru sesungguhnya memuji Sarimpang Art. Terlalu tergesa-gesa pula menyanjung mereka sedemikian rupa. Namun, mereka bermusik. Namun, musik mereka berbeda. Namun, mereka tampil di luar kemestian yang dimestikan.
Saya melihat mereka berlatih sebelum tampil. Bagi mereka bermusik adalah Batak. Batak adalah bermusik. Dan mereka adalah civitas IAKN Tarutung. Dengan begitu, musik mereka adalah musik yang mem-Batak-kan IAKN Tarutung. Mem-Batak-kan bukan dalam arti menjadikan Batak menjadi eksklusif. Namun, menjadikan Batak patokan bagi Sarimpang Art menggariskan warna mereka. Batak yang mana?
Tilhang Gultom. Mereka memanggil Tilhang dari alam nostalgia dan alam keabadian. Keduanya bercampur menjadi: Sarimpang Art identik dengan musik opera. Mereka membawakan lagu-lagu opera yang dipopulerkan dan diciptakan Tilhang Gultom. Itulah warna mereka.
ADVERTISEMENT
Warga Balige sudah mereka hibur ketika di sana, 27-30 Juli silam, diselenggarakan Festival Literasi Balige. Pagi-pagi benar mereka meninggalkan Tarutung dan membawa semua hasil latihan dua minggu ke pinggir Danau Toba. Mereka bernyanyi. Mereka manortor. Dan terutama: mereka berhasil membuat orang mengikuti mereka menyanyi dan menari.
Saya bertanya kepada Jupalman Simbolon, pimpinan Sarimpang Art: apa arti "sarimpang"? "Setangkai," ujarnya. Sarimpang Art memaknai musik sebagai setangkai sejarah; setangkai filosofi bermusik; setangkai memori; setangkai kenangan; setangkai keindahan; setangkai suasana; setangkai cinta. Apa pun dan hal apa saja terdiri dari tangkaian-tangkaian. Setangkai demi setangkai. "Hidup adalah cicilan tangkaian. Tangkaian itulah yang membentuk keutuhan," ujar Jupalman. Setangkai demi setangkai itulah yang dirangkai dan diiringkan dengan musik.
ADVERTISEMENT
Suatu sore di waktu yang membahagiakan di kampus IAKN Tarutung. Langit sudah menguning ketika alunan seruling melambai lembut melewati hati. (Yah, hati. Hati terlebih dahulu mendengarkannya ketimbang telinga.) Seruling itu bercerita, berkisah tentang bunyi yang sarat rasa. Di atas panggung, saat penutupan Pra-Kongres Kebudayaan Batak Toba, 6 Agustus 2022, bunyi itu menguasai bunyi-bunyi lainnya. Suara seruling itu berhasil "mengusir" kekeringan musik selama dua tahun ini. Suara seruling itu menyiram kerinduan dengan sempurna. Untuk itu, Sarimpang Art menjadi penanda: IAKN Tarutung adalah kampus yang bermusik.