Konten dari Pengguna

Tanggul Laut Semarang dan Ancaman Tenggelamnya Desa - Desa Pesisir di Demak

Didik Fitrianto
Mencintai laut, lumpur dan hujan
17 Maret 2018 8:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didik Fitrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggul Laut Semarang dan Ancaman Tenggelamnya Desa - Desa Pesisir di Demak
zoom-in-whitePerbesar
Desa Bedono, tiga bulan pasca banjir rob 1 Desember 2017 masih menyisakan kerusakan yang cukup parah, jalan ambles, perahu-perahu nelayan yang hancur, dan rumah-rumah warga yang rusak. Desa Bedono, salah satu desa pesisir di Demak yang terdampak paling parah. Dampak banjir rob juga masih menyisakan trauma bagi para petambak di sepanjang pesisir Demak, ada ribuan petambak harus gigit jari, budidaya ikan bandeng dan udang yang menjadi tumpuan ekonomi satu-satunya, amblas ditelan banjir rob.
ADVERTISEMENT
Nestapa seakan tidak mau lepas dari masyarakat di pesisir Demak, sejak tahun 2006 sudah ribuan hektar tambak tenggelam, ada 206 KK yang sudah direlokasi, dan kini ribuan rumah terendam rob saat air laut pasang. Selain banjir rob, masyarakat juga dihadapkan ancaman bahaya lain, penurunan muka tanah (Land Subsidence). Satu demi satu, rumah, tempat ibadah, sekolah, jalan, dan jembatan, hilang akibat laju penurunan tanah yang setiap tahunnya terus meningkat.
Oleh masyarakat pesisir Demak, ‘bencana’ diyakini berawal dari pembangunan perluasan pelabuhan tanjung emas, reklamasi pantai marina, dan pembukaan kawasan-kawasan industri baru di kawasan pesisir. Sejak saat itu, air rob mulai mendatangi rumah-rumah dan mematikan sumber pangan mereka, sawah, kebun, tambak, dan air bersih. Bagi masyarakat pesisir Demak apa yang dialami dua puluh tahun terakhir ini adalah bencana, sayangnya dalam Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang kebencanaan, banjir rob tidak diakui.
ADVERTISEMENT
Belum ada tindakan terstruktur yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan laju penurunan tanah dan banjir rob, hanya pencegahan instan seperti membuat pemecah gelombang, membangun jety dan melakukan penanaman mangrove yang asal-asalan, tidak ada penanganan jangka panjang. Ironisnya, saat kawasan pesisir belum bisa diperbaiki, pemerintah daerah justru membuat kebijakan dengan mengeluarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merusak lingkungan. Salah satunya dengan membuka kawasan industri baru di kawasan pesisir.
Tanggul laut bukan solusi
Rencana pembangunan tanggul laut terintegrasi dengan jalan tol Semarang - Demak, sudah ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017. Tanggul laut diharapkan bisa menghilangkan banjir rob di daerah Semarang bagian utara sampai perbatasan Demak. Ini menjadi kabar baik bagi masyarakat yang terdampak banjir rob, tapi menjadi ancaman baru bagi daerah – daerah sekitarnya, terutama Kecamatan Sayung ke arah timur, dari Desa Bedono sampai desa - desa di pesisir Kecamatan Wedung.
ADVERTISEMENT
Ada dua faktor penyebab banjir rob semakin tinggi, pertama ,adanya kenaikan muka air laut akibat pemanasan global, dan penurunan muka tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan. Untuk kasus di pesisir Semarang dan Demak, penggunaan air tanah oleh industri lebih mendominasi. Mengutip hasil publikasi Jurnal Geodesi Undip, Januari 2018 tentang Penurunan Tanah Periode 2016 – 2017, ditemukan korelasi pengambilan air tanah yang terus meningkat oleh industri dengan penurunan tanah. Penurunan tanah yang cukup besar terjadi di Kecamatan Sayung, terutama di Desa Purwosari dan Desa Bedono, penurunan tanah antara 12,701 cm – 15, 052 cm.
Kementerian PUPR mengklaim tanggul laut bisa melindungi kawasan pesisir dari banjir rob, dan jalan tol yang berada di atasnya mampu mengatasi kemacetan dari jalan Kaligawe sampai Sayung Demak. Benarkah klaim tersebut? Untuk mengurangi kemacetan, pembangunan jalan tol memang bisa jadi alternatif. Tapi tidak untuk tanggul laut, fungsi sebagai penahan banjir rob masih sangat diragukan.
ADVERTISEMENT
Tanggul laut yang akan dibangun sepanjang bibir pantai mulai dari kelurahan Terboyo Wetan sampai dengan Kecamatan Sayung justru akan mengancam ekologi, sosial dan ekonomi kawasan pesisir. Belum lagi sungai – sungai yang berada di dalam tanggul laut akan terganggu alirannya dan akan mengalami pendangkalan, banjir masih akan menjadi ancaman untuk kawasan yang berada di dalam tanggul. Sistem polder dan kolam retensi yang akan dibuat belum bisa menjawab persoalan tersebut.
Solusi untuk mengatasi banjir rob bukan dengan membangun tanggul laut, tetapi dengan menyelesaikan terlebih dahulu akar persoalan, yakni penggunaan air tanah oleh industri. Inilah biang kerok penyebab land subsidence semakin meningkat sehingga banjir rob semakin parah. Pemerintah harus berani mengkaji ulang rencana pembangunan tanggul laut kalau memang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Siapa yang diuntungkan?
Peraturan Presiden No 78 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang dan Purwodadi, menyebutkan bahwa Demak akan dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi berskala internasional, berbasis perdagangan, jasa dan industri. Untuk mendukung Perpres tersebut, Pemerintah Kabupaten Demak telah merevisi Perda Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011 – 2030.
Dalam revisi RTRW, Pemerintah Kabupaten Demak telah menambah luasan kawasan industri dari 1200 H menjadi 6000 H, perluasan kawasan terkonsentrasi di kawasan pesisir. Pertanyaannya, mengapa perluasan kawasan industri baru berada di kawasan pesisir yang sudah tenggelam? Lalu siapakah pemilik lahan-lahan tersebut? Kedua pertanyaan ini akan menjawab siapa sebenarnya yang diuntungkan adanya tanggul laut yang akan dibangun oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sebelum terdampak banjir rob, desa – desa pesisir di Kecamatan Sayung tahun 1990 an merupakan daerah pertanian yang subur dan juga daerah perikanan yang potensial. Pada saat itu hasil pertanian seperti padi, kelapa, dan hasil pertanian lainnya bisa diandalkan, juga hasil perikanan tambaknya, bandeng dan udang windu. Secara ekonomi, masyarakatnya makmur dan sejahtera.
Tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya, sepuluh tahun kemudian sawah, tambak dan rumah, mulai tenggelam oleh air rob. Saat itulah para investor masuk, membeli lahan-lahan mereka yang sudah tenggelam dengan sangat murah. Banjir rob telah mematikan harapan mereka akan kesejahteraan. Mereka akhirnya menjadi buruh murah di pabrik- pabrik, nelayan tanpa akses modal, dan tenggelam dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Pembangunan tanggul laut hanya akan memulihkan kembali ribuan hektar lahan yang sudah tenggelam, ribuan hektar yang sudah dikuasai para investor. Di lokasi itulah, kelak kawasan industri baru akan berdiri. Masyarakat kembali akan menjadi buruh murah dan papa di tanah yang dulu pernah menjadi sumber kehidupannya.
Masih ada harapan
Melihat dampak yang akan terjadi dari pembangunan tanggul laut terutama bagi masyarakat pesisir di Demak, maka sudah seharusnya pemerintah daerah Kabupaten Demak meninjau kembali kebijakannya. Keberpihakan kepada rakyat harus menjadi prioritas daripada kepentingan segelintir kelompok. Masih ada ruang untuk melakukan perubahan apabila pemerintah daerah mempunyai kemauan, yakni dengan merevisi kembali RTRW.
Sesuai dengan surat rekomendasi dari Kementrian ATR/BPN No 435/200/XII/2017 tentang Rekomendasi Kesesuaian Tata Ruang Integrasi pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dan Jalan Tol Semarang Demak. Dalam rekomendasinya Kementrian ATR/BPN meminta Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Demak mempercepat revisi Rencana Tata Ruang dan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil. Inilah celah yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, Mahasiswa, Buruh, Ormas Kepemudaan dan LSM untuk mengusulkan revisi RTRW yang berpihak kepada rakyat dan peduli lingkungan.
ADVERTISEMENT
Ada dua persoalan yang harus direvisi dalam RTRW Kabupaten Demak, pertama alokasi luas kawasan industri, yang ke dua tentang zonasi pada kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi. Dua masalah ini menjadi kunci masa depan pembangunan kawasan pesisir Demak. Apakah bisa diselamatkan atau justru akan semakin tenggelam.
Pertama, membuka kawasan industri baru di kawasan pesisir sama saja akan menenggelamkan kembali masyarakat dalam kubangan air rob. Bisa dibayangkan di lokasi yang penurunan muka tanahnya semakin parah akan dibangun kawasan industri, tentunya beban berat karena adanya struktur bangunan diatasnya akan memperparah penurunan muka tanah. Belum lagi setelah kawasan industri terbangun, bisa dipastikan penggunaan air tanah semakin tidak terkendali.
Kedua, melihat dampak yang akan terjadi apabila tanggul laut dibangun, pasal mengenai zonasi pada kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi harus direvisi dengan menghilangkan pasal yang mengizinkan melakukan rekayasa konstruksi pada lokasi tertentu, melalui pembuatan berbagai bangunan pemecah ombak, tanggul dan kanal limpasan.
ADVERTISEMENT
Opsi merevisi pasal yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat harus dipilih sebagai keperpihakan pemerintah daerah dan DPRD terhadap rakyat. Pemerintah tidak boleh abai, seperti disebutkan dalam RTRW peran masyarakat adalah partisipasi aktif dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Melakukan moratorium penggunaan air tanah oleh industri sebagai penyebab land subsidence adalah langkah tepat yang harus diambil pemerintah secepatnya. Tanggul laut hanya akan menguntungkan para investor yang sudah menguasai lahan-lahan di kawasan pesisir. Sudah saatnya pembangunan yang dilakukan pemerintah berpijak pada akal sehat, karena pembangunan yang menanggalkan akal sehat hanya akan meninggalkan kesengsaraan, bukan kesejahteraan. Tanggul laut bukan harga mati!