Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kasus Pemecatan Pengurus BEM IPB Adalah Manifestasi Kegagalan Negara
30 Juli 2022 20:52 WIB
Tulisan dari Dihasfian Dio Aryanta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan bulan Juli ini, publik diramaikan oleh berita tentang pemecatan salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) atas dasar anggapan bahwasanya pengurus yang bersangkutan mendukung lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, intersex, asexual (LGBTQIA+). Pengurus sekaligus mahasiswa yang dipecat itu bernama Arlen Elvide Ariyanto Sudi.
ADVERTISEMENT
Awal dari kasus pemecatan ini dimulai ketika Arlen memasang foto pelangi simbol LGBTQIA+ sebagai foto profil di laman media milik Arlen sendiri. Selain itu, Arlen juga terbukti mengunggah ucapan tentang Happy Pride Month untuk kelompok LGBTQIA+. Dari bukti itulah, BEM KM IPB menilai bahwa tindakan Arlen ini telah melanggar Peraturan Senat Akademik IPB 33/SA-IPB/P/2019 pasal 8 (delapan) ayat 1 (satu) huruf (c). Lebih spesifik lagi, karier kepengurusan Arlen di BEM KM IPB dijegal atas dasar sikap empatinya terhadap kelompok marginal LGBTQIA+.
Setelah dipecat, Arlen pun masih membela diri. Mantan pengurus BEM KM IPB itu berterus terang bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam segala organisasi yang berkaitan langsung dengan kelompok LGBTQIA+. Dirinya mengaku hanya bersimpati pada kelompok tersebut karena kerap didiskriminasi dan dipersekusi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, perdebatan mengenai eksistensi kelompok LGBTQIA+ ini sudah sedari dahulu ada. Bukan menjadi barang baru. Namun, walaupun bukan barang baru, perdebatan tentang topik ini hampir selalu mendapat posisi duduk yang panas. Gerakan LGBTQIA+ yang diyakini sebagai yang pertama di Indonesia dimulai ketika terbentuknya organisasi transgender Himpunan Wadam (Wanita Adam) Djakarta (HIWAD). Pembentukan organisasi ini difasilitasi oleh Gubernur Jakarta pada kala itu, Ali Sadikin, pada tahun 1969. Tidak lama setelah berdirinya HIWAD, banyak protes yang bermunculan, termasuk oleh pejabat negeri. Salah satu protesnya adalah karena istilah Wadam yang digunakan dianggap telah melecehkan Nabi Adam.
Lalu, pada zaman Orde Baru, gerakan LGBTQIA+ juga masih dapat ditelusuri. Namun, seperti halnya organisasi kerakyatan lainnya, frekuensi serta ruang gerak organisasi LGBTQIA+ pada waktu itu masih sangat dibatasi. Pada Maret 1982, terbentuk organisasi gay pertama di Indonesia, dikenal dengan nama Lambda Indonesia. Organisasi tersebut cukup aktif dalam mengadvokasikan hak-hak kelompok LGBTQIA+, walau kemudian bubar pada tahun 1986.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga banyak bermunculan organisasi serupa seperti Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pada 14 April 1982, serta Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) pada 1985, yang nantinya berganti nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS) pada 1988. Pergerakan sosial ini terlihat makin masif bermunculan seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang adanya penindasan hak hidup kelompok LGBTQIA+. Namun, pola penentangan yang diterima pun juga masih sama: diskriminasi, persekusi, bahkan alienasi sosial dan ekonomi.
Aktor yang menentang gerakan itu pun tidak hanya sebatas dari kalangan rakyat biasa saja, tetapi juga dari kalangan pejabat tinggi negara. Contohnya, pada tahun 2016, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, mendeklarasikan bahwa dia bermaksud untuk melarang semua kelompok mahasiswa LGBTQIA+ dari kampus-kampus di Indonesia. Tidak hanya sampai situ saja, deklarasi tersebut kemudian juga berakibat pada lahirnya gelombang aksi ekstrem anti-LGBTQIA+ di berbagai kota besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, sikap eksklusif yang demikian itu telah melanggar konstitusi negara. Tertulis dalam UUD 1945 pasal 28I ayat (2) bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Dari sini, kita tentu paham bahwa mendiskriminasi orang tertentu, termasuk kelompok LGBTQIA+, adalah sebuah pelanggaran atas hak asasi. Lantas, mengapa diskriminasi itu tetap langgeng, bahkan di kalangan pejabat negara?
Pertama, karena pandangan pemerintah yang tidak netral. Pemerintah sebagai eksekutif negara diduduki oleh aktor-aktor yang mencampurkan antara pandangan pribadinya (atau kelompoknya) dengan ‘adonan’ kebijakan publik. Pembuatan kebijakan publik yang seharusnya bersifat demokratis menjadi makin elitis. Kebijakan publik yang dikeluarkan bukan berdasar pada pandangan publik, melainkan berdasar pada pandangan elite itu sendiri, yang mana pandangan tersebut sangat mungkin tidak netral, bahkan cenderung eksklusioner.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah ketika Mahfud MD, selaku Menkopolhukam RI, mendukung rencana pemidanaan LGBT melalui RKUHP. Dalam sebuah tulisan di Kumparan.com (18/5/2022) berjudul "Mahfud MD Sebut Soal LGBT Sudah Ada di Draf RKUHP Tapi Tertunda Pembahasannya," Mahfud MD secara eksplisit mengatakan bahwa LGBT perlu dipidana. Walaupun sempat ditolak atau diprotes oleh kalangan aktivis LSM, sikap diskriminatif semacam itu masih saja dianut oleh pejabat yang bersangkutan. Ini membuktikan adanya pencampuradukan antara opini pribadi dengan opini publik di ranah pengambilan keputusan.
Kedua, karena pemerintah gagal mendudukan perdebatan tentang eksistensi LGBTQIA+ secara tegas, jelas, dan tepat. Sampai saat ini, pemerintah masih dianggap gagal untuk memosisikan orientasi seksual di antara ranah privat dan ranah publik, sehingga posisinya masih abu-abu. Belum ada UU yang mengatur secara jelas tentang isu ini.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, implikasinya adalah masih eksisnya kebijakan publik yang mencampurkan ranah privat dan juga ranah publik, terutama dalam kasus ini adalah tentang orientasi seksual. Orientasi seksual yang sejatinya adalah ranah privat kadang dibuat seolah itu ranah publik. Ini menimbulkan potensi adanya kriminalisasi ruang privat warga negara, yang mana itu adalah bagian dari hak asasi manusia.