Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Konflik Israel-Palestina dan Enemy Construction
30 Mei 2024 7:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melihat konflik antara Israel dan Palestina hari ini sungguh amat menyedihkan. Mengingat telah banyak warga sipil yang tidak berdosa ikut menjadi korban kerakusan segelintir orang akan kekuasaan. Tulisan ini sejatinya tidak ingin membahas terlalu dalam mengenai konflik tersebut, mengingat begitu kompleksnya konflik ini sehingga harus melibatkan berbagai pandangan atau pihak untuk menyelesaikannya.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini sejatinya hanya ingin membahas terkait dengan teori konflik enemy construction dengan contoh konflik Israel-Palestina secara umum. Sehingga teori ini bisa digunakan juga untuk membaca fenomena konflik terkait situasi yang sama di tempat yang berbeda. Enemy construction sejatinya merupakan teori terkait dengan konstruksi musuh, yakni membangun citra negatif terhadap masyarakat, individu, atau kelompok. Menurut filsuf politik Argentina Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe kontruksi musuh dapat dibangun dan dibentuk melalui strategi wacana (Narwaya, 2021).
Agar sebuah strategi wacana berjalan dengan baik dan menjadi dominan, ia akan selalu menyingkirkan wacana yang berbeda. Sebab tidak ada wacana yang dapat dibentuk tanpa melalui proses ekslusi (penyingkiran) terhadap wacana lain. Ada beberapa bentuk penyingkiran wacana dalam teori konstruksi musuh, yakni yang dikenal dengan istilah:
ADVERTISEMENT
Membaca Konflik Israel Melalui Enemy Consturction
Dalam konflik Israel pembacaan tentang konstruksi musuh bisa diurai melalui Sejarah panjang yang menyertainya. Awal mula Inggris menguasai wilayah yang kini dikenal sebagai Palestina setelah mengalahkan Kesultanan Ottoman, penguasaan wilayah Timur dalam Perang Dunia Pertama (PD I). Wilayah ini dihuni oleh minoritas Yahudi dan mayoritas Arab. Namun ketegangan antara kedua etnis yang tinggal di wilayah itu meningkat, sehingga komunitas internasional memberi tugas kepada Inggris untuk mendirikan “rumah nasional” bagi orang Yahudi di Palestina.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini merujuk pada Deklarasi Balfour yang ditandatangani pada 1917. Deklarasi ini dinamakan demikian karena kesepakatan Arthur Balfour selaku Menteri Luar Negeri Inggris dengan komunitas Yahudi di Inggris. Bagi orang-orang Yahudi, Palestina adalah rumah bagi leluhur mereka, namun komunitas Arab di Palestina juga mengeklaim wilayah tersebut (BBC, 24).
Melalui wacana saling klaim ini, Yahudi atau yang tergabung dalam Zionis Israel mengeklaim atau merasa memiliki bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Sikap merasa terpilih (chosennes) inilah yang membuat Zionis Israel memandang dirinya berhak atas tanah Palestina dan menganggap orang Palestina adalah musuh yang harus dihilangkan.
Sikap merasa keterpilihan ini atau merasa paling superior atas suku, bangsa, atau masyarakat tertentu sebenarnya juga terjadi di dalam ruang lingkup sekitar kita, seperti kaum pribumi dan etnis Cina. Kita membangun persepsi buruk atau negatif terhadap pihak lain yang berpotensi merugikan diri kita atau komunitas kita.
ADVERTISEMENT
Melalui klaim sepihak Zionis Israel, Israel merasa dirinya harus bisa mengembalikan masa lalunya, bahwa tujuan mereka mendirikan negara “Israel Raya” untuk mengembalikan kejayaan Kerajaan Daud yang merupakan masa keemasan Bani Israel di masa lalu.
Sikap merasa jaya atau glory inilah yang membuat Zionis Israel merasa perlu menghancurkan dan menghilangkan rakyat Palestina. Sikap kejayaan ini, sejatinya juga bisa terjadi pada lingkungan kita sendiri, seperti bayang-bayang masa lalu kita yang penuh keindahan, kejayaan, dan kedamaian, tiba-tiba lenyap karena hadirnya orang atau komunitas lain yang menghancurkan mimpi-mimpi indah di masa lalu. Di bawah bayang-bayang masa lalu yang utopis Zionis Israel sejatinya telah menghancurkan harapan, keindahan, dan kedamaian rakyat Palestina.
Selain itu, sikap merasa terpilih dan pernah jaya juga dibayang-bayangi oleh rasa trauma di masa lalu. Selama ini, Yahudi yang tergabung dalam Zionis Israel telah merasakan bagaimana dirinya disingkirkan bahkan dilenyapkan melalui Holocaust oleh Nazi Jerman. Perasaan luka ini secara tidak langsung telah membuat Zionis Israel gelap mata, seakan-akan kehancurannya harus dibalas dengan menghilangkan nyawa rakyat Palestina. Merasa dirinya tidak memiliki tempat atau tanah kemudian secara brutal merebut dan mengambil tanah yang seharusnya milik bersama.
ADVERTISEMENT
Ketiga sikap di atas, yakni keterpilihan, kejayaan, dan trauma sejatinya akan menghasilkan apa yang disebut dengan dualisme, yaitu merasa diri saya, masyarakat saya, bangsa saya, etnis, dan suku saya terpilih dan menyalahkan pihak lain yang dianggapnya tidak terpilih, buruk, dan harus disingkirkan. Sehingga kenyataan ini akan melahirkan dikotomi (monicheisme), yaitu superiority complex suatu sikap merasa dirinya paling benar. Kenyataan ini sejatinya telah dilakukan oleh Zionis Israel dalam mempengaruhi mata internasional, dimana melalui aksi brutal menghancurkan dan membunuh rakyat Palestina, Zionis Israel merasa tindakannya benar dan rakyat Palestina salah.
Fenomena dikotomi antara pihak yang merasa benar dan pihak yang dianggap salah sejatinya juga terjadi pada kasus terorisme, di mana dalam pandangan para teroris segala yang berkaitan dengan Barat dianggap musuh yang harus dilenyapkan. Maka dengan adanya sikap dikotomi ini, perang antara yang merasa baik dan yang dianggap salah (armagedon) akan selalu mewarnai kehidupan kita. Hidup yang seharusnya untuk saling bersama dan mengenal sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Hujarat ayat 13; “Menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”. Berubah menjadi hidup yang penuh ketakutan, kesengsaraan, dan kekerasan. Hidup damai tanpa penindasan seakan-akan hanya mimpi, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka yang merasa paling benar, rakus, dan penuh tipu daya.
ADVERTISEMENT
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 20:26 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini