Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Biennale Jatim 10: Keberhasilan Hanyalah Kelegahan
13 Desember 2023 10:02 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dimas Tri Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Biennale Jatim, sebagai ruang pertemuan seni kontemporer di Jawa Timur akhirnya diselenggarakan untuk yang kesepuluh kalinya. Biennale Jatim 10 ini, bisa dibilang adalah tanda awal keberhasilan Biennale Jatim yang saat ini di bawah naungan Yayasan Jawa Timur Biennale yang dipimpin oleh Dwiki Nugroho Mukti, selaku Direktur Utama.
ADVERTISEMENT
Dengan menggaet tiga kurator, yaitu Bintang Putra, Lucky C. Pratama, dan Lisis Lusandiana, Biennale Jatim 10 mengangkat tajuk Cultural Synthesis yang kemudian melahirkan tiga judul lain untuk menginterpretasikannya, yaitu Invisible Territories, Sambung Selamet, dan Masuk Pagar Belok Kiri. Dari ketiga judul yang merespon tajuk Cultural Synthesis, akhirnya ditetapkan tiga ruang pamer yang berbeda untuk ketiganya, yaitu di Orasis Gallery Surabaya, Tambak Bayan Surabaya, dan Rumah Budaya Sidoarjo.
Ide perlunya untuk kembali menginterpretasikan tajuk Cultural Synthesis adalah, seperti yang diucapkan penyelenggara Biennale Jatim 10 dalam konferensi pers pada Kamis, 22 Desember 2022, di Wisma Jerman Surabaya, bahwa Cultural Synthesis adalah upaya pembacaan, pemetaan, dan pemaduan kembali kompleksitas karakteristik budaya Jawa Timur yang menurut mereka sangat tergambarkan dari keberagaman kondisi sosiologis dan geografisnya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dipilih tiga wilayah yang akan menjadi proses objektivikasi, yaitu perkotaan, pegunungan, dan pesisiran. Berdasarkan tiga wilayah objektivikasi tersebut, akhirnya muncul ruang untuk menginterpretasikan ulang, dan melahirkan judul seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Pada tanggal 8, 9, 10 Desember 2023, Biennale Jatim 10 resmi dibuka. Tanggal 8 Invisible Territories di Orasis Gallery Surabaya, tanggal 9 Sambung Selamet di Rumah Budaya, dan tanggal 10 Masuk Pagar Belok Kiri di Tambak Bayan Surabaya. Tetapi keberhasilan terselenggaraanya Biennale Jatim 10, hanyalah soal kelegahan. Karena pada kenyataannya, banyak hal-hal yang ternyata tidak dikuasai oleh penyelenggara dan tim kurator Biennale Jatim 10, yang hal itu bisa dirangkum dalam urusan teknis dan konseptual.
Dalam hal teknis, tentu saya tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena hal itu bisa mudah diperhatikan dan dipahami melalui setiap terbitan Biennale Jatim 10 di media massa. Dan yang lebih menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah perihal yang konseptual, yang harusnya bisa lebih dikuasai oleh penyelenggara Biennale Jatim 10, terlebih oleh seorang kurator yang mereka pilih. Seperti tentang bagaimana seorang seniman dan sebuah karya seni berhadapan dengan wacana yang dihadirkan sebagai metode pengorganisasian konsep dan massa oleh seorang kurator. Secara spesifik, adalah tajuk yang mereka pilih untuk merangkum wacana, yaitu Cultural Syntesis, dan tiga judul terkait.
ADVERTISEMENT
Biennale Jatim 10 dengan Cultural Synthesis, terkait Invisible Territories, Sambung Selamet, dan Masuk Pagar Belok Kiri, jika dipahami secara lebih terbuka dan mendalam, sebenarnya mengandung wacana yang pada dasarnya disuguhkan untuk melibatkan pikiran pemirsa daripada mata atau emosinya. Pengalaman estetis menjadi pengalaman pikiran seorang seniman dan juga pengalaman karya. Maka ide pembacaan, pemetaan, dan pemaduan kembali kompleksitas karakteristik budaya Jawa Timur dari keberagaman kondisi sosiologis dan geografisnya, menjadi landasan wacana pengorganisasian. Hal ini bisa dibaca dalam pengantar Cultural Synthesis, pada walltext di Invisible Territories, Sambung Selamet, dan Masuk Pagar Belok Kiri.
Cultural Synthesis dipresentasikan dengan pembukaan spekulasi historis, bahwa ada perjumpaan selama berabad-abad silam, di garis batas antara daratan dan lautan, pantai utara. Lalu meloncat pada paragraf yang membahas mengenai dinamika perkotaan dan imajinasi yang terdistraksi oleh modernitas. Lalu meloncat kembali pada paragraf ketiga yang membahas soal pegunungan dalam pandangan mistisisme, dan ditutup secara sempalan dengan pembahasan mengenai kreativitas, imajinasi, ruang, dan geopolitik.
ADVERTISEMENT
Cultural Synthesis seakan menjelma menjadi wacana ilmiah di Biennale Jatim 10. Seperti halnya budaya yang bisa dijelaskan dengan studi budaya. Padahal seniman dan karya seni kontemporer sebenarnya ingin melepaskan diri dari deskripsi yang melekat darinya, untuk sampai pada potensi subjek untuk mewujudkan dirinya di dunia. Dan seni kontemporer pada dasarnya bukan soal dunia, melainkan tentang subjek yang menghasilkan seni.
Seni adalah cara subjek mempraktikkan desain penampilannya sendiri di dunia. Seni tidak mewujud dalam cara subjek memandang dunia, tetapi cara subjek yang ingin dunia melihatnya. Dan hubungan subjek dengan seni bukanlah hubungan estetis eksternal, karena subjek hidup di dalam seni dan dibentuk olehnya.
Cultural Synthesis dalam hal ini, seakan memaksa pemikiran orang lain untuk akhirnya sampai pada batas bahwa seni kontemporer tidak membuka apa pun, dalam hal ini karakteristik Jawa Timur, melainkan justru menghalangi identitas batin dan spiritualnya.
ADVERTISEMENT
Identitas batin adalah suatu model yang tidak dapat ditangkap melalui ciri luarnya. Tetapi akan muncul melalui tataran makna, pengertian, dan penandaan. Memang identitas batin begitu subjektif, tetapi hal itu akan terungkap melalui tindakan seorang kurator dalam kesatuan batin seorang senimannya.
Jadi bisa dibilang Cultural Synthesis hanyalah semacam alat pemotretan, romantisme kuno, yang jelas hasil dari pemotretan karakteristik Jawa Timur hanyalah soal kebutuhan tata rias dan gaun, tujuannya adalah agar terlihat bagus dan bermartabat. Artinya seni menjadi hal yang komoditas, dikonsumsi, dan digunakan, dan penjelasan di baliknya adalah ditiadakan dan dimusnahkan.
Seorang seniman seakan tidak hanya menjadi pasif, dengan latar belakang lanskap sosiologis dan geografisnya, namun juga aktif untuk memantaskan diri di hadapan Cultural Synthesis dan secara lebih umum, pada orang lain.
ADVERTISEMENT
Presentasi diri seniman yang mengungkapkan identitas batinnya, berakhir dalam representasi dirinya dalam karya seni yang menjadi hilangnya apa pun dalam dirinya, tidak ada yang tersisa, selain representasinya yang bisa dilihat melalui wujud fisik karya seni. Seniman, gagal melihat tubuhnya, wajahnya, dan bagaimana cara ia menampilkan dirinya, yang dapat dikenali hanyalah mode pada masanya.
Di sini bisa dibilang, kurator Biennale Jatim 10, memakai Cultural Synthesis gagal mengenali subjek, dengan mengabaikan fakta bahwa subjektivitas tidak lain adalah kemampuan untuk mengikuti mode yang mendefinisikan seniman, terkait juga dengan kondisi sosiologis dan geografisnya.
Seperti karya instalasi seniman Krismon Ariwijaya yang berjudul Terperangkap di Nyala Api di Orasis Gallery Surabaya. Karya seniman Dwi Januartanto yang berjudul Crop Circle di Rumah Budaya Sidoarjo. Krismon dalam karyanya menjelaskan mengenai pengalaman, penaklukan, dan keberlangsungan dari ruang hidup ke ruang hidup lain. Dwi Januartanto dalam karyanya menjelaskan mengenai hubungan bisnis dan budaya pertanian, serta kecemasan bagaimana petani akan terus bertahan di tengah kondisi ketergantungan.
Dalam karya Krismon ataupun Dwi Januartanto, Jika melalui Cultural Synthesis pada dasarnya tidak ada yang bisa dilihat kecuali representasi diri mereka melalui wujud fisik karya seninya, yang hanya bisa mengungkapkan mode ataupun massanya.
ADVERTISEMENT
Walaupun ada semacam endapan dalam primordial sebelum diobjektifikasi dalam dialektika identifikasi dengan orang lain ketika disuguhkan melalui Cultural Synthesis di ruang pamer. Namun tidak ada bahasa yang kembali pada seniman secara universal, yang berfungsi sebagai diri seniman subjek.
Mengenai universalitas, tentuh akan muncul ketika kita tidak lagi memperdulikan Cultural Synthesis dan tiga judul terkait, serta mungkin wacana disekitarnya. Misalnya penjelajahan kembali tradisi komersil ikan yang disuguhkan dengan menggunakan desain resep makanan oleh Syamsul Arifin dalam karyanya, Kisah-Kisah Sebelum di Meja Makan yang dipamerkan di Orasis Gallery Surabaya.
Karya Syamsul akan menjadi transhistoris dan merepresentasikan dirinya dari universalitas sosiologis dan geografisnya. Universalitas yang menjadi manifestasi transtemporal esensial dari keberadaan manusia. Dan desain resep makanan menjadi konstruksi batin, penyingkapan subjek. Oleh karena itu desain menciptakan dimensi etis, lalu menjadi estetika, dan menjadi bentuk.
Tetapi jika Cultural Synthesis dan tiga judul terkait bisa juga dianggap sebagai desain, daripada sekedar wacana. Maka itu lebih tidak dibutuhkan, karena hanya akan menghiasi suatu karya seni untuk menutupi sifat aslinya yang tersebunyi dan tidak menampilkan karya-karya tersebut muncul secara apa adanya, sebagai objek yang jujur.
ADVERTISEMENT
Mengenai desain, seorang arsitek, Adolf Loos dalam esainya The Poor Little Rich Man (1900) menceritakan, bagaimana khayalan nasib seorang pria kaya yang memutuskan seluruh rumahnya dirancang oleh seorang desainer.
Orang ini benar-benar menundukkan kehidupan sehari-harinya pada perintah sang desainer. Segera setelah desain rumah telah selesai, laki-laki tidak dapat lagi mengubah apa pun yang ada di dalamnya tanpa izin desainer. Segala sesuatu yang nantinya akan dibeli dan dilakukan pria ini harus sesuai dengan keseluruhan desain rumah.
Dalam dunia rancangan total, manusia itu sendiri telah menjadi benda rancangan, semacam objek museum, mumi, mayat yang dipamerkan di depan umum. Loos menyimpulkan sebagai berikut: “Dia tidak diikutsertakan dalam kehidupan masa depan beserta perjuangannya, perkembangannya, dan keinginannya. Dia merasa: Sekaranglah waktunya belajar berjalan dengan mayatnya sendiri. Memang! Dia sudah selesai!
ADVERTISEMENT