Konten dari Pengguna

Estetika Bergerak Dalam Siklus Alam Semesta

Dimas Tri Pamungkas
Writer, Art Curator and Cultural Critic.
26 September 2024 13:18 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Tri Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Diri Alif Edi Irmawan/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Diri Alif Edi Irmawan/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
ADVERTISEMENT
Kaya yang baik saat ini adalah karya seni yang masih milik kreasi dan bekerja dalam ruang aktualitas terkini. Begitulah sederhananya penjelasan yang diberikan oleh seni kontemporer. Dan pameran tunggal Alif Edi Irmawan yang bertajuk Awal: Impresi dan Ingatan, telah mempresentasikan tentang seni hari ini dengan. baik. Mungkin pameran tunggal alif adalah salah satu pameran tunggal yang baik dan cukup penting di Jawa Timur. Setidaknya di tahun 2024. Penilaian ini tidak sepenuhnya subjektif, dan bukan karena saya yang berkesempatan untuk menjadi kurator dalam pameran tersebut, tetapi karena Alif sendiri, dengan sensibilitasnya sebagai seorang seniman ia mampu menangkap fenomena di sekitarnya, lalu diserap dan digunakan untuk menguak persoalan-persoalan yang sedang terjadi hari ini secara estetis.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan saya kali ini, saya hanya akan membingkai peristiwa pameran tunggal Awal: Impresi dan Ingatan dalam bentuk catatan. Pertama, untuk mengabadikan tangkapan adegan dari serapan indra yang saya anggap begitu penting. Kedua, memberikan uraian secara teoretis kenapa yang begitu penting tersebut menjadi sesuatu yang layak dicatat dan dibaca lebih lanjut.
Foto Poster Pameran/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024
Pada 18 Agustus hingga 18 September 2024, kita telah melihat dan melakukan pemahaman secara khusyuk, atas terjadinya pameran tunggal Awal: Impresi dan Ingatan, oleh seniman Alif Edi Irmawan di Tujujati Art Space, Gresik, Jawa Timur.
Dalam pameran tersebut, Alif membukanya dengan mengatakan bahwa, pameran tunggal ini adalah jawaban atas pertanyaan yang begitu mendalam tentang bagaimana cara melanjutkan kehidupan dari yang mati. Dan sebagai kurator, saya turut membukanya dengan mengatakan bahwa, Alif adalah salah satu seniman yang menopang reruntuhan dunia kita saat ini, yang tidak memiliki kemampuan lagi untuk bertumbuh, dan hanya mampu untuk berkembang. Karena Alif adalah seorang seniman yang tidak hanya melakukan perhitungan, vita activa, tetapi juga melalukan penghayatan, vita contemplativa, terhadap apa yang sedang dipikirkan dan penampakan dunia seperti apa yang sedang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Setelah waktu acara pembuka, pengunjung secara cukup berhati-hati mulai memasuki ruang pamer. Di ruang pertama, beberapa karya terlihat menempel di dinding dengan lampu sorot berwarna kuning. Tanpa keterangan karya. Objek burung, pepohonan, dan manusia menjadi objek yang terasa dominan dalam ruangan ini.
Hal yang menarik dari bagian ini, setiap objek burung diposisikan berada tepat mengitari objek lain, dan menjadi objek sentral dengan perkembangan yang dekoratif menggunakan pendekatan flora. Seperti karya yang menggambarkan separuh tubuh manusia tenggelam, objek burung diposisikan di atas kepala manusia. Selanjutnya objek burung yang menjadi sentral, di gambarkan buluh-buluh sayap dan ekor burung berpadu lembut dengan unsur flora yang melenggok dengan bebas di udara.
Foto Karya Alif Edi Irmawan/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
Foto Karya Alif Edi Irmawan/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
Dalam karya-karya ini, Alif seakan memanggil kembali melalui impresi dan ingatannya tentang adanya keterkaitan hidup antara manusia dan alam, yang saat ini bisa dipastikan hilang dari pemahaman pola pikir manusia. Seperti objek burung yang dalam rentetan sejarahnya telah lama menjadi simbol spiritualitas pembawa pesan kebijaksanaan, kebebasan, dan intuisi. Dalam budaya Eropa kuno, burung secara simbolis merupakan pembawa pesan pera dewa untuk manusia. Kehadiran burung, diposisikan sebagai peramal dari sebuah peristiwa masa depan yang bermanfaat atau merugikan.
ADVERTISEMENT
Marlene Albert-Liorca dalam L’ordre des choses (1991) secara romantis mengingat adanya tanda akan terjadinya bencana Chernobyl (bencana meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir di dekat kota Pripyat di Ukraina Utara, dekat perbatasan Belarus, Uni Soviet sekitar tahun 1986) dengan mengatakan bahwa, “burung layang-layang jika dicermati selalu membangun sarang di bawah atap dan di hanggar. Tetapi pada tahun Chernobyl mereka terlihat tidak datang. Jika burung layang-layang tidak datang atau kembali, bisa dipastikan itu disebabkan oleh manusia yang terlalu banyak bermain api. Ketiadaan burung, gangguan cuaca, bukankah artinya akhir hidup sudah dekat?”.
Selanjutnya adalah apa yang Alif sebut sebagai ruang inti. Dalam ruangan kedua ini, pengunjung tidak bisa lagi berhati-hati, karena begitu mereka masuk, mereka telah di kepung oleh tanda dan narasi dari gambaran di dinding yang dibuat secara menyeluruh. Dan juga beberapa karya sebagai elemen penunjang, seperti karya stop motion di televisi.
Foto Karya Alif Edi Irmawan/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
Dalam ruangan ini, karya tidak lagi berbicara mengenai keterkaitan hidup, tetapi juga siklus dan keberlanjutan. Objek yang mendominasi dalam karya-karya di sini begitu tegas, dari pada di ruangan pertama, yaitu alam dan manusia. Dan juga tidak lagi digambarkan sebagai objek tunggal yang bersanding dengan objek lain, namun keseluruhan objek digambarkan sebagai rentetan proses bersama dalam ruang dan waktu penciptaan dan ketiadaan.
ADVERTISEMENT
Alif dalam karya di ruangan kedua ini, terlebih karya gambar di dinding, memanggil kembali melalui impresi dan ingatannya, tentang adanya siklus dan keberlanjutan hidup bagi manusia dan alam. Waktu digambarkan seperti sungai, sebagai peristiwa yang berlalu, sebuah aliran deras. Cara alam seakan adalah mengalir, tumbuh dan terus maju ke depan. Alam seperti menginginkan manusia untuk mengikuti siklus, seperti organisme lain. Manusia yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari kemajuan alami alam.
Pada hari yang sama dengan pembukaan pameran Awal: Impresi dan Ingatan, acara selanjutnya adalah artist talk oleh seniman Alif Edi Irmawan dan saya sebagai kurator turut mendampingi. Kondisi artist talk di hari itu cukup menegangkan, di dominasi percakapan tentang ide dan gagasan, proses pembuatan karya, makna yang kemungkinan ada dan kemudian di elaborasi dengan isu terkini tentang hubungan manusia dan alam.
Foto acara Artist Talk/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
Apa yang dimaksud menegangkan adalah karena Alif dalam pameran tunggalnya kali ini, menawarkan bentuk kerja kesenian yang mungkin baru di Jawa Timur, bahkan di Gresik. Alif dalam karyanya, secara spesifik gambar di dinding, memberikan proses yang berkelanjutan, dalam artian ketika pameran itu dibuka untuk publik, karya itu belum selesai, entah sampai kapan. Karena menurut Alif di sinilah siklus kerja Alam.
ADVERTISEMENT
Gambaran dinding Alif seakan menjadi semacam keniscayaan yang menusuk pengunjung, ada memar dan luka, tetapi sangat menyentuh.
Objek dalam gambar-gambar tersebut mungkin sudah tidak akan lagi ditangkap oleh Alif, atau dalam realitasnya memang sudah musnah. Maka gambar Alif, berfungsi sebagai miniatur agung, sebuah pengalaman yang tidak terlalu berkaitan dengan objek yang dicitrakan, dan lebih berkaitan dengan pengenalan secara cepat akan ketidakhadirannya.
Jika pengunjung mencoba membaca siklus dalam gambar alam tersebut, pastinya mereka akan merangkai seperti apa kehidupan yang ditawarkan. Di sinilah mereka akan menemukan kefanaan diri mereka sendiri.
Setelah hari pembukaan dan artist talk, selama sebulan penuh pameran Awal: Impresi dan Ingatan digelar. Ada rangkaian workshop yang secara langsung dimentori oleh Alif, seperti workshop membuat kertas daur ulang dan sketsa bersama di alam terbuka. Alif juga tidak meremehkan untuk apa yang sudah ia ucapkan, bahwa karya gambar di dinding harus terus di proses seperti siklus alam. Saya melihat memang ada perubahan dalam karya tersebut, bahkan ketika saya hadir di hari penutupan pameran dengan mengadakan diskusi yang bertajuk Dialog Seni, Manusia dan Alam Raya.
ADVERTISEMENT
Penutupan pameran digelar pada 18 September 2024. Rangkaian penutupan adalah diskusi dan perfomanceart. Pengisi dalam diskusi adalah Alif dan saya sebagai narasumber dan sebagai penanggap adalah Wahyu Eka Setiawan dari WALHI Jawa Timur.
Dalam diskusi Dialog Seni, Manusia dan Alam Raya ditekankan pada perspektif aktivis ekologis Wahyu Eka Setiawan, dalam pembahasan seputar isu terkini tentang hubungan manusia dan alam.
Kondisi dalam diskusi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika artist talk, cukup menegangkan. Dalam percakapan, kita semua seakan menahan pesimistis yang sudah pasti ada, demi membayangkan masa depan yang lebih baik, demi membicarakan kehancuran di luar tembok ruangan acara, dengan pemikiran dan hati yang tetap terjaga.
Tentu saja melalui Awal: Impresi dan Ingatan elaborasi dengan isu terkini mengenai manusia dan alam menjadi kecemasan bagi kami semua. Tentang masalah konflik agraria, perubahan cuaca yang tidak bisa lagi diprediksi dan kecenderungan fasis yang meningkat di Indonesia dan dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat kita saat ini, indikasi individualis sepertinya menjadi salah satu akar penyebab masalah. Karena banyak dari kita sepertinya mulai kehilangan pandangan terhadap diri kita sendiri sebagai bagian kecil dari sistem kompleks yang dinamis, kita gagal untuk melihat diri kita sebagai organisme yang terhubung dengan alam.
Alam mungkin tidak peduli dengan individualitas kita; ia hanya melihat manusia - siapa pun mereka - sebagai materi biologis. Dan ini mungkin bukanlah citra diri yang menyenangkan untuk direnungkan.
Namun, dalam citra yang mengancam diri ini ada juga kemungkinan untuk transendensi diri, memahami diri kita sebagai bagian dari bentangan ruang dan waktu yang lebih luas, sebagai konfigurasi materi hidup yang akan mati tetapi terus beredar dalam bentuk lain, mungkin selamanya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat menyimpan pengakuan ini dalam pikiran kita untuk waktu yang lama, dan pengalaman estetika hanya dapat – harus – memberi kita pandangan sekilas tentang kebenaran itu. Jika tidak demikian, kemungkinan besar kita akan menjadi gila.
ADVERTISEMENT
Dan mungkin ada sedikit kegilaan dalam bentuk kerja kesenian Alif. Terlebih ketika pameran ini akan ditutup dengan perfomanceart oleh teman-teman di Gresik dan Alif. Mulanya perfoamanceart berlangsung dengan sikap lembut melepas beberapa karya alif yang menempel di dinding untuk di singkirkan, tetapi secara tiba-tiba dengan menggunakan arang buatan, perfomanceart memberikan aksi menghapus gambaran di dinding dengan kasar dan penuh penekanan. Aksi ini tidak mungkin tidak bermakna. Penghapusan gambar ini digunakan dengan cara menggambar ulang melalui negasi ide. Objek-objek kapal-kapal tanker digambar dengan coretan liar menimpa pemandangan laut yang semulah tenang, beton-beton yang keras berdiri digambarkan di hutan-hutan, bangunan perumahan di gambarkan mulai meratakan tanah ladang, dst.
Foto Karya Perfomanceart/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024.
Performanceart ini melahirkan fakta bahwa spesies manusia tidak akan bertahan selamanya. Di dalamnya kita menemukan melankolis eksistensial, pengakuan akan kehilangan yang akan datang, kehilangan yang kita takutkan ketika kita memikirkan masa depan. Namun, kita juga menemukan perluasan perhatian terhadap masa depan. Bahwa kita sekarang menghadapi versi mini dari tragedi cakrawala waktu. Kita telah memutuskan untuk berkorban selama ini, sehingga di masa depan orang-orang tidak akan menderita sebanyak yang seharusnya.
Foto Perfomanceart/Dokumentasi: Dimas Tri Pamungkas/2024
Namun, cakrawala waktunya sangat pendek sehingga kita juga menjadi bagian dari orang-orang di masa depan. Lebih sulit untuk memahami fakta bahwa kita hidup dalam krisis jangka panjang yang tidak akan berakhir dalam hidup kita. Namun, penting untuk menyadari bahwa, bersama-sama, kita mampu belajar untuk memperluas kepeduliaan kita lebih jauh di sepanjang cakrawala waktu.
ADVERTISEMENT
Dengan mencoba menghadirkan skala temporal yang hampir tidak dapat kita proses secara intelektual kepada diri kita sebagai pengalaman yang diwujudkan, pameran tunggal Alif Edi Irmawan, Awal: Impresia dan Ingatan menggunakan gerakan estetika untuk mengingatkan kita tentang keterikatan kita sendiri satu sama lain dan dari sirkulasi materi yang tak berujung di alam semesta.