Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ladang Binatang: Menggugat Jiwa Manusia Setengah Hewan
25 Maret 2023 11:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dimas Tri Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai manusia , kita selalu beranggapan lebih unggul dari semua makhluk yang lain. Bahkan di era saat ini, di zaman yang kerap dianggap sebagai puncak pencerahan (tercerahkan secara ilmiah), keyakinan akan manusia sebagai makhluk yang unggul (makhluk sadar, puncak evolusi tertinggi, spesies rasional dan bermoral) tak tergoyahkan.
ADVERTISEMENT
Tetapi tentu tidak semua orang akan setuju terhadap pandangan tersebut, bahkan tidak sedikit yang akan memandang manusia dari sudut yang terbalik. Salah satunya seperti pada peristiwa ketika saya mendapatkan undangan untuk hadir dalam pertunjukan teater pada 11 Maret 2023, di Surabaya.
Pertunjukan yang digagas oleh Teater Institut itu bertempat di panggung terbuka Universitas Negeri Surabaya, dengan kisah yang berjudul Ladang Binatang, yang ditulis oleh Dwi Endah Lestari, adaptasi dari novel klasik Animal Farm (1945) karya penulis Inggris, George Orwell.
Dalam pertunjukan tersebut, Dwi Endah Lestari atau yang kerap dipanggil Tari, menurut saya cukup cerdik dalam menulis naskah Ladang Binatang, walaupun hanya mengubah sedikit saja segi dari novel Animal Farm, namun yang sedikit ini memiliki potensi untuk mencari celah tentang konteks yang tepat dengan kondisi di Indonesia, terutama pada persoalan manusia.
ADVERTISEMENT
Potensi yang sedikit ini bisa kita pahami dari awal cerita yang dibuka oleh tokoh Paman Roman, seekor Kerbau tua yang dianggap paling bijaksana oleh binatang ternak yang lain. Di antara para binatang ternak, penggalan kalimat pembuka oleh Paman Roman yang menjadi penting seperti demikian:
Penggalan kalimat yang keluar dari mulut Paman Roman—manusia dengan “jiwa setengah binatangnya” ini—menjadi penting, karena saya pikir kalimat tersebut cukup untuk kita mendapatkan pemahaman tentang latar persoalan atas keseluruhan cerita.
Sekaligus mampu menghantarkan kita yang seolah-olah jika kita masuk ke dalam jiwa manusia yang paling mendasar, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya di balik keangkuhan dan topeng yang diperlihatkan manusia, ada pengulangan tentang transformasi dramatis yang terjadi pada saat awal manusia seakan-akan berpindah dari alam liar menuju peradaban.
ADVERTISEMENT
Tanda dari transformasi ini adalah ketika manusia telah mengenal dirinya harus mengikuti aturan, terlebih aturan yang didukung oleh ancaman hukuman. Oleh karena itu, manusia tidak lagi hanya di atur oleh nalurinya dan mulai tenggelam pada kecemasan utopis.
Janji-janji utopis tentang kebebasan dan kesejahteraan, memang pada dasarnya merupakan standar sosial yang mampu mengondisikan manusia ke dalam peradaban yang lebih beradab. Tetapi janji-janji tersebut juga mampu melemahkan kita dan meningkatkan pengulangan penderitaan manusia. Karena dengan ditekan dan dipaksa di tanah, naluri kebinatangan manusia tidak akan hilang, melainkan malah memenuhi diri, dan melawan jiwa manusia itu sendiri.
Naluri ini menghasilkan penyakit dalam jiwa, hati nurani yang buruk semacamkeinginan untuk menyiksa diri sendiri. Dengan demikian, menandai awal dari kecenderungan manusia yang mengerikan untuk menimbulkan rasa sakit pada diri sendiri.
Di dalam cerita Ladang Binatang, penderitaan tersebut dipertegas dengan peraturan yang disebut Tujuh Peraturan Binatang:
ADVERTISEMENT
Di dalam peternakan Ladang Binatang, sebuah peradaban yang tertutup. Hati nurani yang buruk bukanlah satu-satunya yang membuat jiwa manusia sakit, melainkan dengan bantuan polah moralitas dan pengekangan sosial manusia sebenarnya dibuat dapat diperhitungkan.
Ketakutan akan hukuman adalah alat domestikasi yang melemahkan hubungan kita dengan naluri manusia, dan membuat perilaku kita lebih dapat diprediksi seperti kawanan: makna dari semua budaya, adalah pengurungan dari binatang liar “manusia” menjadi binatang yang jinak dan beradab. Binatang Peliharaan.
ADVERTISEMENT
Sementara proses domestikasi ini diperlukan untuk penciptaan peradaban—dalam kisah Ladang Binatang diistilahkan sebagai modernisasi: pembangunan pabrik gula—yang harus dibayar dengan mengubah manusia dari hewan yang kuat, polos, dan bebas menjadi makhluk yang ditunggangi rasa bersalah, dapat dimanipulasi, dan jinak, bergantung pada seorang penggembala untuk memimpin mereka.
Seperti Alegori, seeokor Babi yang akhirnya menjadi pemimpin di antara hewan peternakan lain di Ladang Binatang, walaupun melalui tipu-daya kampanye sipil, penghiyanatan, bahkan pembunuhan kepada Benyamin, seekor babi yang di gambarkan sebagai pembawa keselamatan.
Sebagai hasil dari proses penjinakan dan pelemahan naluri kita, manusia selama ribuan tahun ini menjadi terlalu bergantung pada kesadaran, organ kita yang paling lemah dan yang paling bisa salah.
ADVERTISEMENT
Kita telah berkembang menjadi hewan yang membedah setiap detail hingga tingkat yang dapat menumbuhkan keraguan dan sinisme hidup yang terus-menerus.
Namun yang lebih buruk lagi tren ini telah menceraikan kita dari “'pemimpin lama kita, dorongan bawah sadar yang berkuasa” yang membimbing nenek moyang kita dengan aman selama ratusan ribu tahun di tengah teror dan bahaya alam.