Konten dari Pengguna

Implementasi Teori Carl Harlow dalam Fase Remaja Awal

Dina Amalia
Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23 Desember 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teori Carl Harlow menekankan bahwa pembentukan konsep diri seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan pengalaman hidup yang dialami. Dalam teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang membentuk identitasnya melalui hubungan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Setiap interaksi, baik itu positif maupun negatif, akan memberikan dampak pada cara individu melihat dirinya sendiri. Misalnya, dukungan dan pengakuan dari orang-orang terdekat dapat membantu membangun rasa percaya diri, sementara kritik yang tidak konstruktif bisa melemahkan persepsi positif seseorang terhadap dirinya.
ADVERTISEMENT
Konsep diri melibatkan berbagai aspek yang saling berhubungan, termasuk aspek fisik, emosional, dan sosial. Pada dimensi fisik, individu memandang dirinya berdasarkan penampilan dan kesehatan tubuhnya. Misalnya, seseorang yang merasa puas dengan penampilannya akan cenderung memiliki konsep diri yang lebih positif. Aspek emosional, di sisi lain, mencakup cara seseorang mengelola perasaan dan memahami emosi dirinya. Individu yang mampu mengontrol emosi biasanya memiliki pandangan diri yang stabil dan lebih optimis.
Aspek sosial dalam konsep diri berkaitan dengan peran individu dalam masyarakat dan hubungan interpersonal yang dimiliki. Bagaimana seseorang diterima oleh lingkungannya, seperti keluarga, teman, atau komunitas, memengaruhi pandangan dirinya terhadap nilai dan kontribusinya. Pengalaman positif dalam hubungan sosial, seperti mendapatkan dukungan atau pengakuan, dapat memperkuat konsep diri yang sehat. Sebaliknya, pengalaman seperti penolakan atau pengucilan sosial bisa memunculkan keraguan terhadap diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Masa SMA merupakan fase krusial dalam kehidupan remaja karena pada periode ini mereka mulai membangun konsep diri. Konsep diri, yang mencakup pemahaman tentang siapa mereka dan bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam hubungan dengan lingkungan sekitar, sangat dipengaruhi oleh berbagai pengalaman dan interaksi. Dalam usia ini, remaja berada di tengah proses pencarian jati diri yang sering kali menjadi pondasi bagi kehidupan mereka di masa depan.
ilustrasi anak SMA. Sumber: Pexels.com
Salah satu tantangan utama yang dihadapi remaja dalam membentuk identitas adalah tekanan dari lingkungan. Lingkungan sosial, baik di rumah, sekolah, maupun komunitas, sering kali memberikan tuntutan yang bervariasi. Misalnya, remaja mungkin merasa perlu untuk memenuhi harapan orang tua, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, atau bahkan mematuhi norma-norma sosial tertentu. Tekanan ini dapat memengaruhi cara remaja melihat diri mereka sendiri, baik secara positif maupun negatif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ekspektasi akademik menjadi salah satu faktor dominan yang turut membentuk konsep diri remaja. Masa SMA biasanya ditandai dengan beban pelajaran yang lebih berat, persiapan menuju perguruan tinggi, serta kompetisi akademik yang semakin intens. Dalam situasi ini, keberhasilan atau kegagalan akademik dapat menjadi indikator penting bagi remaja dalam menilai diri mereka. Hal ini menjadikan masa SMA sebagai periode yang penuh tantangan, tetapi juga peluang untuk mengembangkan ketahanan diri dan rasa percaya diri.
Hubungan sosial juga memainkan peran besar dalam pembentukan konsep diri remaja. Interaksi dengan teman sebaya, guru, dan orang-orang di sekitarnya membantu remaja memahami posisi mereka dalam suatu kelompok atau masyarakat. Hubungan yang positif dapat memperkuat rasa percaya diri dan penerimaan diri, sedangkan konflik atau hubungan yang bermasalah dapat menimbulkan rasa tidak aman atau kebingungan identitas. Oleh karena itu, dukungan dari lingkungan sosial menjadi sangat penting dalam membimbing remaja melalui fase yang kompleks ini.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya memahami dinamika tersebut, penulis melakukan wawancara dengan seorang siswi kelas 12 SMAN 3 Cibinong bernama Rizla Divia, yang lebih akrab disapa Rir. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang cara siswa memandang diri mereka dalam berbagai aspek kehidupan, seperti akademis, sosial, emosional, dan cita-cita masa depan. Pemahaman ini penting untuk mengidentifikasi pola-pola yang membantu atau menghambat perkembangan mereka.
Beberapa pertanyaan utama yang diajukan dalam wawancara dirancang untuk mengeksplorasi proses refleksi diri para siswa. Pertanyaan-pertanyaan ini meliputi bagaimana mereka mendefinisikan diri, apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan mereka, serta bagaimana mereka merespons tantangan yang dihadapi. Dengan menggali jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini, diharapkan dapat ditemukan pola atau wawasan yang dapat membantu memahami proses pembentukan identitas pada masa SMA.
ADVERTISEMENT
Riri menunjukkan kesadaran yang mendalam terhadap dirinya sendiri, baik dari segi kelebihan maupun kekurangan. Ia menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang kreatif, empati, dan mampu memahami orang lain tanpa perlu banyak bicara. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman tentang real self yang realistis, yaitu kemampuan untuk menerima kekurangan seperti kecenderungan overthinking, terlalu sensitif, dan kurangnya manajemen waktu. Meski demikian, Riri tetap nyaman dengan dirinya, yang menunjukkan penerimaan diri yang sehat dan upaya untuk terus berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya.
Penerimaan dari lingkungan sekitar juga menjadi aspek penting dalam membangun konsep diri Riri. Ia merasa dihargai dan diterima oleh orang-orang di sekitarnya, yang memberikan rasa aman emosional. Meskipun jarang menerima apresiasi atau penghargaan secara eksplisit, Riri tetap berusaha menemukan nilai intrinsik dalam setiap pencapaiannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan akan pengakuan eksternal dan motivasi internal.
ADVERTISEMENT
Optimisme yang dimiliki Riri dalam menghadapi tantangan besar menjadi salah satu ciri utama konsep dirinya. Keyakinan bahwa setiap masalah memiliki solusi, didukung oleh kehadiran keluarga yang selalu memberikan semangat, mencerminkan hubungan positif dengan conditions of worth yang diberikan oleh lingkungan terdekatnya. Fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan dan pelajaran dari kesulitan menunjukkan pola pikir yang adaptif dan berkembang.
Dalam menghadapi konflik, Riri menunjukkan kemampuan interpersonal yang baik. Ia berusaha memahami sudut pandang orang lain, mendengarkan tanpa menghakimi, dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Ketika situasi memanas, ia memilih untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan diskusi. Pendekatan ini mencerminkan pengelolaan emosi yang matang dan kemampuan menjaga hubungan sosial secara positif.
ADVERTISEMENT
Riri juga menunjukkan pemahaman bahwa kekurangan adalah bagian dari dirinya yang mendorong pembelajaran dan pertumbuhan. Namun, rasa takut akan kegagalan dan khawatir tidak memenuhi ekspektasi orang lain kadang menjadi tantangan emosional yang ia hadapi. Ini menunjukkan adanya tekanan dari ideal self yang ia rasakan, tetapi ia mampu mengatasi perasaan ini dengan melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar.
Reaksi Riri terhadap kritik mencerminkan pola pikir terbuka dan reflektif. Meskipun merasa sedih ketika menerima kritik, ia memilih untuk menjadikannya sebagai bahan pembelajaran. Hal ini menunjukkan kemampuan mengelola umpan balik secara konstruktif demi pengembangan dirinya.
Sebagai seseorang yang masih berada dalam tanggung jawab orang tua, Riri menunjukkan kemampuan menyeimbangkan keinginan pribadi dan harapan keluarga. Komunikasi terbuka menjadi alat penting untuk mencapai kompromi yang memuaskan kedua belah pihak. Pendekatan ini menunjukkan bahwa ia mampu mengelola hubungan interpersonal yang kompleks dengan baik.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, Riri menunjukkan konsep diri yang sehat, ditandai dengan penerimaan diri, kemampuan mengelola emosi, dan keinginan untuk terus berkembang. Kelebihannya dalam memahami dirinya sendiri serta dukungan dari lingkungan terdekatnya menjadi landasan penting dalam membangun pribadi yang optimis dan resilient.
Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa siswa yang memiliki dukungan emosional dari keluarga dan teman cenderung memiliki konsep diri yang lebih positif. Sebaliknya, siswa yang merasa tekanan tinggi dari media sosial atau lingkungan akademik cenderung memiliki pandangan diri yang lebih kritis. Temuan ini sejalan dengan teori Harlow, yang menekankan pentingnya interaksi sosial yang sehat dalam pembentukan konsep diri.
Hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis dialog dan pemberian ruang aman untuk berekspresi sangat penting bagi remaja. Implementasi teori ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk merancang program pendampingan di sekolah guna mendukung pembentukan konsep diri yang sehat pada siswa.
ADVERTISEMENT