Konten dari Pengguna

Dampak Kebijakan Satu Anak: Transformasi Demografis Tiongkok

Dini Cornelia
Mahasiswa Program Studi Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
13 Desember 2024 11:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Cornelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Keluarga Satu Anak (https://pixabay.com/photos/family-walking-countryside-sunset-2485714/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Keluarga Satu Anak (https://pixabay.com/photos/family-walking-countryside-sunset-2485714/)
ADVERTISEMENT
Kebijakan Satu Anak di Tiongkok yang berlaku sejak tahun 1979 merupakan salah satu kebijakan demografis paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah modern. Kebijakan ini dibuat untuk mengendalikan pertumbuhan populasi yang cepat dan mencegah masalah sosial serta ekonomi yang dapat muncul sebagai akibat ledakan populasi. Namun, setelah lebih dari tiga dekade pelaksanaan, kebijakan ini telah menimbulkan dampak yang kompleks dan beragam, baik positif maupun negatif.
ADVERTISEMENT
Perubahan Struktur Usia
Salah satu dampak signifikan dari Kebijakan Satu Anak adalah perubahan struktur usia penduduk Tiongkok. Kebijakan ini telah menyebabkan penurunan angka kelahiran yang ekstrem, yang mengakibatkan penuaan populasi. Dengan semakin banyaknya individu yang memasuki usia lanjut, Tiongkok kini menghadapi tantangan besar dalam menyediakan layanan kesehatan dan dukungan sosial yang memadai bagi populasi yang menua. Penuaan populasi ini membawa berbagai konsekuensi, termasuk meningkatnya beban pada sistem kesehatan dan pensiun.
Dengan semakin banyaknya orang tua yang membutuhkan perawatan, Tiongkok dihadapkan pada tantangan untuk menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Sistem kesehatan yang sudah ada harus beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan populasi yang menua, termasuk peningkatan jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang terlatih. Selain itu, dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja muda, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dapat terhambat. Hal ini menciptakan kekhawatiran tentang keberlanjutan ekonomi jangka panjang, terutama dalam konteks persaingan global.
ADVERTISEMENT
Perubahan struktur usia ini juga mempengaruhi dinamika keluarga. Banyak keluarga kini terdiri dari lebih sedikit anggota, yang berpotensi mengubah pola interaksi sosial dan dukungan antar generasi. Dengan semakin sedikitnya anak dalam keluarga, tanggung jawab perawatan orang tua kini jatuh pada satu atau dua anak, yang dapat menambah tekanan psikologis dan finansial pada generasi muda. Dalam fenomena yang dikenal sebagai "sandwich generation," individu harus merawat orang tua mereka sekaligus membesarkan anak-anak mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya stres dan mengurangi kualitas hidup bagi banyak keluarga.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kebijakan Satu Anak juga telah menciptakan dampak sosial yang mendalam. Salah satu isu utama adalah ketidakseimbangan gender yang dihasilkan dari preferensi budaya terhadap anak laki-laki. Banyak keluarga yang memilih untuk melakukan aborsi selektif atau mengabaikan kelahiran anak perempuan, yang menyebabkan ketidakseimbangan rasio gender. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan masalah sosial, seperti meningkatnya kejahatan dan kesulitan bagi pria dalam membangun hubungan romantis.
ADVERTISEMENT
Dari segi ekonomi, kebijakan ini juga berdampak pada pasar tenaga kerja. Dengan berkurangnya jumlah generasi muda, Tiongkok menghadapi tantangan dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor-sektor tertentu, seperti teknologi dan layanan, akan mengalami kekurangan tenaga kerja terampil. Selain itu, dengan semakin banyaknya orang tua yang tidak memiliki anak untuk merawat mereka di usia tua, pemerintah harus memikirkan cara untuk mendukung populasi yang menua ini, melalui kebijakan sosial maupun investasi dalam infrastruktur kesehatan.
Kebijakan Satu Anak juga berdampak pada pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Dengan lebih sedikit anak, keluarga cenderung menghabiskan lebih banyak untuk pendidikan dan kesehatan anak tunggal mereka, yang dapat meningkatkan kualitas hidup tetapi juga menciptakan tekanan finansial. Hal ini berpotensi mengubah cara masyarakat Tiongkok berinteraksi dengan ekonomi global, terutama dalam hal konsumsi barang dan jasa. Selain itu, dengan meningkatnya biaya hidup, pasangan muda merasa tertekan untuk memiliki lebih banyak anak, yang dapat memperburuk masalah demografis.
ADVERTISEMENT
Tantangan di Masa Depan
Meskipun kebijakan Satu Anak resmi dicabut pada tahun 2015 dan digantikan oleh kebijakan Dua Anak, dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut masih dapat dirasakan. Pada saat ini, Tiongkok sulit untuk meningkatkan angka kelahiran dan mendorong keluarga untuk memiliki lebih dari satu anak. Namun, banyak pasangan muda yang menolak untuk memiliki lebih dari satu anak karena biaya hidup yang tinggi, tekanan pekerjaan, dan kurangnya dukungan dari pemerintah dalam hal fasilitas perawatan anak. Meskipun pemerintah telah memperkenalkan insentif untuk mendorong kelahiran, seperti cuti melahirkan yang lebih panjang dan subsidi untuk pendidikan, banyak pasangan yang merasa ragu untuk menambah jumlah anak.
Selain itu, terdapat stigma sosial yang tertanam dalam keluarga besar. Dalam budaya Tiongkok, ada anggapan bahwa memiliki lebih dari satu anak dapat mengganggu karier dan stabilitas finansial. Hal ini menciptakan dilema bagi banyak pasangan muda yang ingin memiliki anak tetapi merasa tidak mampu secara ekonomi. Akibatnya, angka kelahiran di Tiongkok tetap rendah, dan pemerintah harus mencari cara inovatif untuk mengatasi masalah ini.
ADVERTISEMENT
Tiongkok juga menghadapi tantangan dalam ketidaksetaraan regional. Di daerah perkotaan, biaya hidup yang tinggi dan persaingan yang ketat membuat pasangan menolak untuk memiliki anak. Sebaliknya, di daerah pedesaan, meskipun terdapat keinginan untuk memiliki lebih banyak anak, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas sangat terbatas. Ketidaksetaraan ini dapat memperburuk masalah demografis dan menciptakan kesenjangan sosial yang lebih besar di antara berbagai kelompok masyarakat.
Dini Cornelia, mahasiswa Program Studi Ekonomi, Universitas Sanata Dharma