Konten dari Pengguna

Fast Fashion dan Eksploitasi: Mengapa Kita Harus Peduli?

Wahdini
Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas
10 Oktober 2024 14:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahdini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Pernahkah kalian mengunjungi pusat perbelanjaan besar, lalu membeli atau memiliki pakaian dari merek Zara, H&M, UNIQLO, GAP, atau Forever 21?Jika demikian, selamat! Kalian telah menyentuh langsung industri fast fashion.

Di Indonesia, banyak orang yang belum memahami dengan benar apa itu fast fashion, ironis memang. Nyatanya, Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami dampak paling parah dari fast fashion.
Foto oleh Ron Lach : https://www.pexels.com/id-id/foto/seorang-wanita-berlindung-dengan-pakaian-yang-dibuang-8453661/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Ron Lach : https://www.pexels.com/id-id/foto/seorang-wanita-berlindung-dengan-pakaian-yang-dibuang-8453661/

"Fast fashion"

Fast Fashion adalah tren produksi pakaian cepat dan murah yang sangat populer saat ini. Industri garmen besar seperti Inditex menggunakan model bisnis ini untuk menghasilkan banyak pakaian dalam waktu singkat dengan harga yang terjangkau. Mereka seringkali bekerja sama dengan pabrik-pabrik di negara berkembang untuk menekan biaya produksi. Industri fast fashion ini adalah hasil dari kapitalisme. Konsep fast fashion, yang didorong oleh kapitalisme tersebut menciptakan siklus produksi pakaian yang cepat dan terus-menerus, membuat konsumen merasa perlu terus membeli pakaian baru untuk mengikuti tren terkini. Setiap tahun, industri fashion cepat memproduksi sekitar 80 miliar pakaian. Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa rata-rata pakaian fast fashion hanya dipakai sekitar tujuh kali sebelum dibuang. Bahkan, hanya sebagian kecil pakaian yang dibeli, terutama oleh wanita, yang benar-benar digunakan secara teratur.
ADVERTISEMENT

Lebih lanjut, tahukah kalian bahwa ada sebuah penelitian Figuera tahun 1996, yang menyebutkan bahwa industri fast fashion melakukan banyak tindak ketidakadilan dan kekerasan pada pekerja?

Foto oleh Kim Jake: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-duduk-13549873/
Dari mulai hal yang berkaitan dengan jam kerja yang panjang, kekerasan fisik maupun psikis, hingga ancaman para pekerja dipecat jika tidak mengikuti perintah atasannya. Apabila digunakan perspektif Marxism, tentu situasi ini adalah hal yang buruk karena kapitalisme merupakan sistem perekonomian yang eksploitatif, yang mana kaum Borjuis (perusahaan) akan memanfaatkan kepemilikan dan kontrol mereka terhadap alat produksi untuk mengeksploitasi kaum Proletar (buruh) yang tidak memiliki pilihan lain.

Marxisme?

Produksi massal pakaian yang bisa mencapai delapan puluh juta milyar per tahun dengan berbagai model tentu sangat menjanjikan soal besarnya keuntungan yang bisa didapat. Namun, sesuai dengan proposisi Marxisme, keuntungan tersebut pada nyatanya hanya bisa dinikmati oleh segelintir pihak. Sedangkan, para pekerja dari negara-negara dunia ketiga sebagai kaum Proletar yang terlibat langsung dalam proses produksi senantiasa termarginalisasi karena mereka tidak bisa merayakan hasil produksinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang Marxism, secara gamblang mererefleksikan konflik kelas sosial borjuis-proletar pada roda perekonomian kapitalis, hingga kaitannya pada negara dan tatanan global secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, International Labour Organization (ILO) mengeluarkan deklarasi mengenai Prinsip dan Hak Mendasar di Tempat Kerja, yang mewakili Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ILO tahun 1998 menyoroti empat hak penting di tempat kerja sebagai berikut:
- Kebebasan berserikat dan hak untuk berunding bersama.
- Penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib.
- Penghapusan pekerja anak secara efektif.
- Penghapusan diskriminasi di tempat kerja.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para buruh di industri fast fashion menghadapi masalah eksploitasi terhadap hak-haknya. Praktik busuk ini memang ditujukan untuk memangkas biaya produksi karena buruh dari negara berkembang upahnya relatif lebih murah.
ADVERTISEMENT
Poinnya adalah pemilik alat produksi ini tidak lagi mempedulikan dampak negatif yang disebabkan industrinya baik terhadap alam dan lingkungan maupun terhadap pekerjanya karena yang mereka pedulikan hanya keuntungan yang bisa didapatkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Marxisme yang mengatakan bahwa modus produksi kapitalisme adalah berkilah menggunakan tenaga kerja sebanyak-banyaknya sehingga hasil produksi bisa dijual murah.

Bagaimana nasib mereka (para buruh)?

Para buruh pekerja tidak memiliki pilihan lain akhirnya memutuskan untuk bekerja sebagai buruh bagi perusahaan-perusahaan tersebut agar mereka dapat bertahan hidup. Perusahaan-perusahaan fast fashion akan mengatakan bahwa mereka telah memberikan buruh-buruh ini sebuah lapangan pekerjaan, padahal pada kenyataannya, mereka mengeksploitasi pekerja-pekerja ini dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi. Permasalahan tidak berhenti pada persoalan jam kerja dan gaji, kondisi kesehatan dan keamanan pekerja juga menjadi permasalahan. Salah satu contoh kasus dari hal ini adalah jatuhnya Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013 yang membunuh sebanyak 1134 pekerja tekstil. Dari tragedi tersebut, terungkap bahwa pekerja tekstil biasanya bekerja pada tempat yang tidak memiliki ventilasi dengan udara yang terkontaminasi zat beracun dan debu serat. Selain itu, kecelakaan- kecelakaan juga sering terjadi, dan sudah sangat banyak pekerja yang menjadi korban dari kondisi kerja ini. Lagi-lagi, hal ini menunjukkan ketidak pedulian perusahaan-perusahaan fast fashion sebagai kaum Borjuis terhadap pekerjanya.
ADVERTISEMENT
Keuntungan menjadi satu-satunya perhatian dan prioritas mereka, sehingga mereka mengabaikan gaji dan sarana bekerja yang layak bagi para pekerjanya. Para pekerja pun, terpaksa terus melakukan pekerjaan ini karena mereka tidak punya pilihan lain. Bagaimana pun, memiliki pekerjaan lebih baik daripada menjadi seorang gelandangan di jalan. Kompetisi antara perusahaan fast fashion untuk menemukan sumber pekerja termurah agar mereka bisa memaksimalisasi keuntungan telah membuat mereka mengabaikan HAM.
Selama kapitalisme masih terus dilakukan, kondisi ini juga akan terus terjadi, kondisi ini diperparah dengan pemerintah dari negara-negara terdampak yang tidak banyak membantu karena mereka juga telah didominasi oleh kapitalisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Marxisme yang mengatakan bahwa kaum Borjuis akan mendominasi politik karena mereka telah mendominasi ekonomi kapitalis lewat kepemilikan dan kontrol terhadap alat produksi, sedangkan basis dari politik adalah ekonomi.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dalam misi mencapai program SDGs yang telah disusun negara-negara anggota PBB, perusahan-perusahaan yang bergerak di bidang fashion hendaknya lebih memerhatikan lagi persoalan-persoalan mengenai tenaga kerja untuk berhenti merenggut hak-hak yang sudah seharusnya diterima oleh para tenaga kerja. Selain itu, kita sebagai konsumen, hendaknya untuk lebih bijak lagi dalam hal konsumsi fashion dan mengurangi sifat konsumtif.