Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang?
31 Agustus 2022 20:13 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Dipo Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dipo Alam
Hari ini kita membaca berita bahwa presiden terakhir Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, dikabarkan telah meninggal di sebuah rumah sakit di Moskow. Gorby, demikian panggilan akrabnya, meninggal pada usia 91 tahun. Berita kematiannya diumumkan pada hari Selasa, 30 Agustus 2022, oleh kantor berita negara Rusia.
ADVERTISEMENT
Gorby, tak diragukan lagi, adalah salah satu tokoh penting dunia pada abad ke-20 lalu. Ia adalah tokoh yang telah mengakhiri Perang Dingin tanpa pertumpahan darah. Meskipun, di sisi yang lain, ia telah gagal mempertahankan negaranya sendiri.
Membaca berita kematian Gorby, saya jadi teringat kembali pada tulisan Hamid Basyaib, “From Gorbachev with Love”, yang mampir ke gawai saya sekira setahun yang lalu. Saat itu saya sedang asyik memperbaiki lukisan lama, “Balerina St. Petersburg”, ketika pesan panjang yang dikirim lewat Whatsapp itu masuk. Berhadapan dengan lukisan Balerina yang terakhir kali saya sentuh pada 2017, serta membaca lagi tulisan tentang Gorby, ingatan saya kemudian jadi terlempar jauh ke masa tiga puluhan tahun silam.
ADVERTISEMENT
Ketika Uni Soviet bubar pada hari Natal, 25 Desember 1991, saya kurang lebih sudah setahun kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan doktoral di Amerika Serikat. Sebuah imperium komunisme berumur 70 tahun, yang telah menjadi penyeimbang kekuasaan Amerika sesudah Perang Dunia II, telah ambruk. Meskipun cukup mengagetkan, mengingat masih besarnya pengaruh Soviet di periode beberapa tahun sebelumnya, namun jika kita menilik gaya kepemimpinan Mikhail Gorbachev, keruntuhan Soviet memang bukan hal yang tak pernah diperkirakan. Meminjam istilah orang Amerika, it's not a question of ‘If’, but ‘When’?
Ketika dia naik menjadi Presiden Uni Soviet pada 1985, Gorbachev memang mewarisi ekonomi yang bangkrut dan sistem politik yang gagal. Kedua hal itu bukanlah kesalahan Gorbachev. Namun, kebijakan yang diambilnya untuk mengatasi dua persoalan tersebut, yaitu perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan), telah mempercepat kegagalan tadi menjadi berita kematian. Hari Natal itu, hampir tiga dekade silam, Soviet runtuh dan terpecah menjadi 15 republik merdeka.
ADVERTISEMENT
Dalam disertasi yang saya tulis di School of Engineering & Applied Science, George Washington University, di bawah Gorbachev, Soviet memang telah tertinggal jauh dari Amerika, bukan hanya dalam soal ekonomi, tapi terutama dalam soal teknologi. Padahal, seperempat abad sebelumnya, berkat kemajuan ilmu pengetahuannya, Soviet pernah berkali-kali mengungguli Amerika dalam persaingan teknologi ruang angkasa.
Pada 1957, misalnya, melalui Sputnik II, Soviet berhasil mengirimkan pesawat tanpa awak pertama yang berhasil mengorbit bumi. Dua tahun sesudahnya, Soviet juga menjadi negara pertama yang berhasil mengirimkan mahluk hidup ke luar angkasa, dengan mengirimkan seekor anjing bernama Laika. Ketika itu, Amerika bahkan baru berpikir untuk mendirikan NASA (The National Aeronautics and Space Administration). Dan ketika NASA baru berumur dua tahun, pada 1961 Soviet sudah berhasil mengirimkan manusia pertama ke luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Yuri memang tidak mendarat di bulan, namun capaian pada tahun 1961 itu menjadi milestone dalam sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-20.
Dalam hal teknologi nuklir, meskipun untuk beberapa saat setelah Perang Dunia II Amerika memegang kendali superioritas nuklir, namun pada dekade 1950-an Soviet mampu mengejarnya secara agresif. Pada akhir 1950-an, Uni Soviet bahkan telah mampu membuat rudal balistik antar-benua yang dapat mencapai wilayah Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Namun, pada dekade 1980-an, semua itu tinggal cerita masa lalu. Soviet ibarat raksasa ringkih yang penyakitan. Ketika pada 1983 Ronald Reagan mengumumkan proyek Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI, Strategic Defense Initiative), atau yang populer disebut sebagai “Perang Bintang” (Star Wars), Uni Soviet tidak lagi berada dalam liga yang sama. Mereka lebih banyak sibuk dengan urusan dalam negerinya. SDI adalah program rudal anti-balistik yang dirancang untuk menembak jatuh rudal nuklir di luar angkasa. Dengan proyek tersebut, Amerika mulai melangkah untuk meninggalkan strategi Mutually Assured Destruction (MAD), yang sejak 1962 menjadi strateginya dalam menghadapi Perang Dingin dengan Uni Soviet.
ADVERTISEMENT
Nama dan akronim MAD berasal dari John von Neumann, fisikawan yang membantu Amerika mengembangkan persenjataan nuklir. Secara umum MAD adalah teori militer yang dikembangkan untuk mencegah penggunaan senjata nuklir. Teori ini didasarkan pada premis bahwa perang nuklir bersifat sangat destruktif, sehingga tidak ada pemerintah yang benar-benar akan menggunakannya. Sebab, siapapun yang memulai perang nuklir, tidak akan memenangkannya, karena kedua belah pihak pasti akan hancur. Jadi, MAD sebenarnya bukanlah strategi untuk perang, melainkan agar semua pihak menahan diri dalam penggunaan senjata nuklir.
Kemunduran Soviet
Ketertinggalan Soviet kian terlihat ketika mereka banyak tergantung pada teknologi tinggi yang berasal dari luar untuk mengembangkan program militernya. Selama Perang Dingin, Soviet diketahui berusaha untuk mengembangkan program kapal selam bertenaga nuklir yang lebih tenang agar tidak mudah dilacak dan dideteksi oleh musuh. Pada awal 1980-an, mereka memanfaatkan milling machine yang diproduksi oleh Toshiba dan sebuah perusahaan militer asal Norwegia, Kongsberg Våpenfabrikk, untuk menambal kebutuhan militer tersebut. Mesin milling itu digunakan oleh Soviet untuk mencetak baling-baling kapal selam dari baja anti karat, atau perunggu, yang sesuai dengan kebutuhan mutakhir program militer mereka.
ADVERTISEMENT
Hal itu telah membuat Amerika marah dan memberi sanksi kepada Toshiba. Washington kemudian mengeluarkan larangan penjualan 2 hingga 5 tahun untuk semua produk Toshiba, dengan dalih penjualan teknologi mereka kepada Uni Soviet telah telah menimbulkan ancaman keamanan nasional bagi negeri Paman Sam tersebut. Toshiba dianggap telah melanggar perjanjian COCOM (Coordinating Committee for Multilateral Export Control), yang melarang seluruh anggotanya untuk mengekspor senjata atau peralatan canggih kepada Uni Soviet. COCOM adalah sebuah perjanjian dagang blok Barat yang dibentuk pasca-Perang Dunia II yang beranggotakan Amerika Serikat dan 16 negara Eropa Barat dan Jepang. Perjanjian ini baru bubar sesudah tahun 1994.
Kebetulan, ketika itu industri semikonduktor Jepang yang dipelopori oleh Toshiba juga telah berkembang sedemikian rupa sehingga berhasil melampaui Amerika sebagai pemasok chip terbesar di dunia. Pada tahun 1987, mengutip data Los Angeles Times pada bulan Agustus 1992, pangsa pasar produk DRAM (Dynamic Random Access Memory) Jepang telah menguasai 80 persen pangsa pasar. Adanya kasus “Toshiba-Kongsberg” itu telah dimanfaatkan dengan baik oleh Amerika untuk “memukul” dua saingannya sekaligus, yaitu Soviet dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Dari sisi kepentingan politik Amerika, kasus pelarangan produk Toshiba pada pertengahan tahun 1980-an itu sebenarnya kurang lebih serupa dengan kasus pelarangan Huawei yang dilakukan oleh Presiden Trump tahun lalu terhadap Cina. Dulu konteksnya adalah persaingan teknologi Perang Dingin dan industri semikonduktor, kini konteksnya adalah perang teknologi 5G.
Kembali ke soal Gorby, tidak adil memang memindahkan semua tanggung jawab keruntuhan Soviet hanya ke pundaknya. Pemimpin Soviet sebelumnya, Leonid Brezhnev, yang berkuasa antara 1964 hingga 1982, oleh banyak orang dianggap sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Soviet mengangkat taraf perekonomian mereka. Brezhnev telah menyia-nyiakan keuntungan dari ledakan harga minyak (oil boom) yang terjadi sepanjang dekade 1970-an hingga awal 1980-an untuk membiayai perlombaan senjata dengan musuh besarnya, Amerika Serikat. Ketika Gorby naik ke pucuk kekuasaan, booming harga emas hitam sudah berakhir. Dunia bahkan sedang mengalami resesi. Lelaki kelahiran Stavropol, 2 Maret 1931 itu, harus mewarisi ampas kegagalan komunisme selama enam dekade.
ADVERTISEMENT
Tetapi, benarkah demikian, bahwa komunisme hanya mewariskan kegagalan ke pundak Gorby?
Sayangnya, tesis “kegagalan komunisme” menghadapi bantahan serius. Sebab, ketika Gorbachev menawarkan gagasan reformasi di Soviet, melalui perestroika dan glasnost, pemimpin komunis lainnya, Deng Xiaoping, juga kurang lebih telah menawarkan gagasan serupa di Cina. Bahkan, Deng telah memulainya lebih dulu, yaitu sepeninggal Mao pada 1976. Kita sama-sama bisa melihat, alih-alih bubar, Cina justru kemudian bisa menjelma menjadi negara adidaya baru. Sementara, Soviet justru bubar lebih kurang sesudah enam tahun Gorbachev memimpin.
Gorby versus Deng
Hingga tahun 1987, Uni Soviet sebenarnya masih memiliki banyak tanda akan bertahan, bahkan untuk beberapa dekade setelahnya. Meskipun perekonomian terus memburuk, namun mereka masih merupakan negara adidaya yang setara dengan Amerika. Lagi pula, seluruh dunia juga sedang menghadapi persoalan ekonomi serupa. Sehingga, ketika mereka kemudian bubar tanpa satu rudalpun ditembakan ke wilayahnya, maka seluruh mata kemudian tertuju kepada Gorbachev.
ADVERTISEMENT
Sejak 1986, Gorby berusaha mendemokratisasi Uni Soviet dan mengakhiri Perang Dingin. Dia menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan otoritas Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) adalah dengan membuka sistem untuk partisipasi warga negara. Ia berusaha untuk menghadirkan kebebasan berbicara dan meletakkan dasar-dasar bagi proses demokratisasi. Selain itu, ia juga mencoba untuk mengubah Soviet yang sangat terpusat menjadi negara federasi yang sesungguhnya.
Pada mulanya gagasan-gagasan itu mendapatkan sambutan hangat dan memberi suami Raisa Titarenko itu popularitas yang menjanjikan di dalam negeri. Di negara-negara Barat, ia segera menjadi media darling. Tak heran jika ia kemudian bisa segera bersahabat dengan orang yang seharusnya menjadi musuh besarnya, Presiden AS Ronald Reagan. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher bahkan segera memujinya sebagai “orang yang bisa kita ajak bisnis”.
ADVERTISEMENT
Tetapi, berkebalikan dengan pujian dunia internasional yang menjulang, di dalam negerinya segera menjadi terang bahwa sebagai pemimpin Gorby sebenarnya tidak memiliki perhitungan apapun atas risiko dari keputusan-keputusan politiknya. Dia sama sekali tak menyadari implikasi dari upaya reformasi ekonomi dan politik secara drastis yang dilakukan secara bersamaan terhadap masa depan negaranya. Kita bahkan bisa melihat jika dia tak mengambil pelajaran apapun dari reformasi yang tengah dilakukan oleh Partai Komunis Cina (PKC), yang mungkin bisa mengubah masa depan negaranya. Padahal, sebagaimana ditulis oleh New York Times pada 6 September 1987, serombongan pejabat PKUS sebenarnya telah melakukan kunjungan ke Cina guna membandingkan jalan reformasi yang tengah ditempuh oleh tetangga komunisnya tersebut. Fakta-fakta semacam itu segera membuat kualifikasi kepemimpinan Gorby jadi dipertanyakan. Sebagai pemimpin, ia dinilai sangat lemah.
ADVERTISEMENT
Belakangan, kepada William Taubman, yang menulis buku Gorbachev: His Life and Times (2017), Gorby mengakui kelemahannya. “A czar must conduct himself like a czar. And that I don’t know how to do,” akunya. Pengakuan ini sepertinya lebih memberi penjelasan kenapa Uni Soviet, sebuah eksperimen terbesar sistem komunisme pertama di dunia, bisa ambruk begitu mudah tak lama sesudah merayakan hari ulang tahunnya yang ketujuh puluh.
Jadi, di balik dongeng tentang Gorbachev dan Uni Soviet, bukan hanya ada isu klise mengenai “demokrasi versus totalitarianisme”, sebagaimana yang ditekankan oleh tulisan Hamid Basyaib, melainkan ada isu besar yang mungkin lebih relevan untuk kita perhatikan, yaitu tentang betapa vitalnya faktor kepemimpinan (leadership) bagi masa depan sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
Runtuhnya Soviet memang memberi “berkah terselubung” (a blessing in disguise) kepada dunia. Setidaknya, untuk beberapa saat dunia jadi terbebas dari horor ancaman perang nuklir yang pernah begitu ditakuti. Namun, di sisi lain, runtuhnya Soviet juga telah membuat Amerika jadi kehilangan kekuatan penyeimbangnya, sehingga selama lebih dari satu dekade setelahnya mereka menjadi satu-satunya “polisi dunia”.
Seandainya Gorbachev mau belajar kepada Deng, misalnya, mungkin sejarah Soviet bisa ditulis dengan narasi lain. Seperti halnya Gorby, Deng juga berusaha menyelamatkan Cina dengan “jalan pemurtadan”. Tertarik dengan keberhasilan Lee Kuan Yew membangun Singapura, sejak 1979, ribuan pejabat RRC dikirim untuk mempelajari keberhasilan pembangunan negara kecil di Selat Malaka tersebut.
Secara umum, Deng dan PKC melakukan langkah reformasi pasar dalam dua tahap. Pada tahap pertama, yang berlangsung sejak akhir 1970-an hingga awal 1980-an, mereka melakukan dekolektivisasi pertanian, membuka negara untuk investasi asing, dan membuka pintu bagi kewirausahaan serta kemudahan izin berbisnis. Meskipun demikian, sebagian besar industri strategis tetap dipertahankan menjadi milik negara. Pada tahap kedua, yang dimulai sesudah paruh kedua tahun 1980-an hingga awal 1990-an, mereka mencoba memperluas privatisasi, melonggarkan monopoli, dan memberi tempat yang lebih luas kepada sektor swasta.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda dengan Gorby yang mengusung reformasi ekonomi dan politik sekaligus, Deng melakukan reformasi ekonomi dengan tetap mengunci rapat-rapat laci politiknya. Hasilnya, sesudah satu dasawarsa melakukan reformasi, perekonomian Cina menanjak dengan pesat.
Apa yang dilakukan Deng di Cina pada akhir tahun 1970-an itu sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Soeharto di Indonesia pada akhir dekade 1960-an. Mewarisi kebangkrutan ekonomi sepanjang periode Demokrasi Terpimpin Soekarno, Soeharto memilih untuk membuka keran ekonomi lebar-lebar sembari mengontrol politik secara ketat. Ketika terjadi oil boom, sebagai negara pengekspor minyak Indonesia juga turut menikmati rejeki nomplok kenaikan harga tersebut.
Berbeda dengan Soviet yang membelanjakan duit minyaknya untuk perlombaan senjata, Indonesia menggunakan uang itu untuk membangun infrastruktur pendidikan, pertanian dan kesehatan. Menurut Esther Duflo, dalam salah satu risetnya, “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment”, antara periode 1973 hingga 1978, Indonesia membangun lebih dari 61 ribu sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Duflo, yang memenangkan hadiah Nobel Ekonomi pada 2019, menulis bahwa program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar di dunia. Program itu muncul untuk memperluas kesempatan belajar di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan. Pembangunan SD Inpres telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar lebih lama. Peningkatan akses terhadap pendidikan itu telah menyebabkan peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Dengan kata lain, Duflo menyimpulkan program ini sukses meningkatkan perkonomian.
SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Hingga akhir PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) I, yaitu tahun 1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini tahun 1994 mencapai hampir Rp 6,5 triliun. Atas keberhasilan program ini, pada 1993 Presiden Soeharto telah diganjar penghargaan Medali Emas Unesco Avicenna (Pendidikan) oleh Unesco.
ADVERTISEMENT
‘Poor Leadership’
Usaha untuk mereformasi perekonomian sembari tetap mengontrol ketat politik, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto, dan juga Deng, memang tidak populer di mata warga dunia, khususnya di negara-negara Barat. Namun, di luar soal suka atau tidak suka, strategi semacam itu telah berhasil mengantarkan Cina kepada perkembangan luar biasa sebagaimana yang kita saksikan hari ini, dan pernah mengantarkan Indonesia menjadi salah satu dari “Macan Asia” (Asian Tigers) pada awal dekade 1990-an.
Di sisi lain, segala puja-puji yang pernah diterima Gorbachev, karena melakukan reformasi politik dan ekonomi secara bersamaan, justru telah mengubur negara adidaya itu ke dalam museum sejarah. Ini adalah sesuatu yang ironis sebenarnya, sekaligus juga tragis. Negara besar itu bubar justru ketika pemimpinnya sedang disanjung-sanjung warga dunia.
ADVERTISEMENT
Meski dianggap sebagai pemimpin otoriter, namun baik Soeharto maupun Deng memang perlu dicatat dengan tone positif sebagai para pemimpin yang telah memberi contoh bagaimana membangun sebuah pemerintahan teknokratik, di mana kaum intelektual telah diberi kekuasaan yang besar di dalam pemerintahan. Sejak berkuasa pada 1968, Soeharto telah membangun tradisi teknokratik tersebut. Kabinet teknokratik yang dibangun Soeharto ini sebenarnya sama dengan konsep zaken kabinet yang dipraktikkan pada zaman Perdana Menteri Mohammad Natsir.
Sepeninggal Mao, sejak 1980-an Deng juga menjalankan strategi serupa dengan melakukan transformasi elite secara besar-besaran. Sehingga, pasca-Mao, Cina segera diatur oleh kepemimpinan teknokratis. Di tangan Deng, kaum teknokrat telah muncul menjadi para pemimpin inti PKC, di mana pada masa Mao semua jabatan penting kepartaian hanya bisa diduduki oleh tentara, petani, dan kelas pekerja saja. Sejak saat itu, selain kedudukan-kedudukan penting di partai, sebagian besar kursi pemerintahan di Cina juga telah digantikan oleh para ilmuwan, insinyur, serta golongan terlatih lainnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sebagai pemimpin Gorby telah keliru membuat kalkulasi dengan mengira bahwa demokrasi bisa disulap atau diimpor begitu saja. Dia mengira transformasi politik dan ekonomi bisa dilakukan sekadar dengan mengubah prosedurnya. Padahal, sebuah negara totaliter bisa saja beralih menyelenggarakan pemilihan umum, namun hal itu tidak otomatis menghadirkan demokrasi.
Itu sebabnya, meskipun secara umum media-media Barat menempatkan Gorby seolah “nabi”, namun Gorbachev tidak pernah mendapatkan penghormatan di negaranya sendiri, utamanya Rusia. Dia selalu berada dalam urutan terbawah dalam berbagai jajak pendapat mengenai orang-orang Rusia yang dianggap hebat.
Bahkan, pada Agustus 1991, ketika warga Soviet melakukan demonstrasi besar-besaran membela dirinya dari sebuah aksi kudeta yang kemudian gagal, mereka melakukan hal itu bukan untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan Gorby, melainkan sekadar untuk membela benih-benih demokrasi yang telah tumbuh di Moskow. Sikap itu mewakili bagaimana penilaian rakyat Soviet, dan juga Rusia, terhadap kepemimpinan Presiden Uni Soviet kedelapan tersebut. Meski tiap tahun rutin memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Gorby, Presiden Putin sendiri menyebutnya sebagai penggerak “bencana geopolitik terbesar” abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, membicarakan Gorby hanya dengan kacamata “demokrasi versus totalitarianisme” sepertinya harus segera dianggap klise. Ada isu kepemimpinan yang jauh lebih relevan untuk didiskusikan.
Apalagi, jika kita tinjau kembali, janji “Demokratizatsiya” Gorby sebenarnya bukanlah sebuah strategi dan agenda reformasi yang terukur, melainkan lebih mirip dengan jargon “Revolisi Mental” seperti yang pernah kita dengar delapan tahun silam. Sebagai jargon, memang nyaring sekali gaungnya, tapi pelembagaan dan implementasinya tidak ada jejaknya sama sekali. Dalam kasus Gorby, demokratizatsiya bahkan bisa dianggap sekadar taktik politiknya untuk menjauhkan kekuasaan kepresidenan yang tengah dipegangnya dari pengaruh PKUS, yang bukan merupakan rahasia lagi, sebenarnya tak terlalu menyukainya.
Sebagai pemimpin, Gorby cukup jelas telah gagal mengambil pelajaran dari pengalaman pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Ia mungkin telah berjasa meletakkan dasar-dasar demokrasi di tengah masyarakatnya, namun bubarnya Uni Soviet tidaklah termasuk di antaranya. Kecerobohan itu akan terus-menerus membayangi namanya, bahkan sesudah kematiannya.
ADVERTISEMENT