Konten dari Pengguna

Kehilangan dan Ketenangan: Mindfulness as a Path to Emotional Resilience

Ditya Aura
Mahasiswa aktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Psikologi Universitas Brawijaya.
5 Desember 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ditya Aura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustration of loss and grief. From: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Illustration of loss and grief. From: Canva
ADVERTISEMENT
Kehilangan adalah pengalaman universal yang tak terelakkan dari hidup, dan dapat meninggalkan luka emosional mendalam yang sulit dikendalikan. Entah itu kehilangan pekerjaan, harapan, maupun kehilangan orang tercinta—karena putus hubungan atau kematian—sering kali meninggalkan rasa sakit, luka dan perasaan kehilangan yang sulit dihadapi. Dalam situasi seperti ini, membangun ketahanan emosional merupakan hal yang penting agar kita dapat menghadapi tantangan yang ada dan akan datang. Mindfulness merupakan salah satu jalan yang dapat membantu kita melewati situasi ini dengan penuh kesadaran. Mindfulness bukan tentang melupakan atau menutupi rasa sakit, tetapi tentang belajar untuk untuk melangkah dengan kesadaran penuh, menciptakan ruang untuk menerima, mengolah, dan menemukan ketenangan di tengah badai kehidupan, serta menemukan kekuatan untuk bangkit kembali.
ADVERTISEMENT

MINDFULNESS?

Mindfulness atau sadar penuh, hadir utuh (Silarus, 2015), merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan perhatian penuh terhadap situasi atau pengalaman yang dialami saat ini, kemudian menerima apa adanya tanpa penyangkalan dan penilaian yang berlebihan. Penerapan mindfulness ini memungkinkan individu untuk mengolah emosi, pikiran, dan perasaan yang tidak menyenangkan melalui cara yang lebih konstruktif, sehingga dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental serta ketahanan emosional (Islamiyah et al., 2020).

EMOTIONAL RESILIENCE

Emotional resilience atau ketahanan emosional adalah kemampuan seseorang untuk dari beradaptasi dan bangkit dalam menghadapi stress, trauma, tantangan, kehilangan, dan pengalaman tidak menyenangkan lainnya. Luthar, (dalam Wiwin Hendriani, 2017) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk menghadapi tantangan, ketahanan terhadap stres, dan kemampuan untuk bangkit ketika mengalami pengalaman traumatis. Resilien bukan berarti terbebas dari segala tekanan dan kesulitan hidup. Individu yang resilien tetap merasakan emosi negatif akibat peristiwa traumatis seperti orang pada umumnya. Namun, individu resilien memiliki cara untuk segera pulih secara psikologis dan bangkit dari keterpurukan tersebut.
ADVERTISEMENT

Mindfulness sebagai Pilar Emotional Resilience, Mengelola Kehilangan dengan Kesadaran Penuh

Mindfulness memiliki peran penting dalam membangun ketahanan emosional, terutama saat individu menghadapi kehilangan atau putus hubungan. Mindfulness membantu individu dalam menghadapi pengalaman emosional dan mengurangi reaktivitas terhadap stres, penelitian oleh Yusainy et al. (2018) menyatakan bahwa, mindfulness sebagai strategi regulasi emosi membantu individu mendekatkan afek mereka menuju netral. Dengan mengurangi kecenderungan untuk menghindari atau menekan emosi negatif, mindfulness membantu individu memahami perasaan dan meningkatkan ketahanan emosional mereka, yang memfasilitasi proses penyembuhan setelah mengalami kehilangan. Praktik mindfulness tidak hanya membantu individu mengelola emosi yang menyakitkan, tetapi juga memperkuat kemampuan untuk pulih dari situasi penuh tekanan, seperti kehilangan orang terkasih atau putus cinta.
ADVERTISEMENT
Penerapan mindfulness dalam menghadapi kehilangan bertujuan untuk meningkatkan ketahanan emosional individu. Dengan menerapkan teknik mindfulness secara konsisten, individu diharapkan dapat mengelola reaksi mereka terhadap kehilangan untuk mengurangi stres emosional, meningkatkan kesadaran diri untuk memahami pola pikir dan perasaan yang muncul, serta dapat menerima kenyataan tanpa terjebak dalam penyesalan atau kemarahan. Selain itu, mindfulness diharapkan dapat membantu individu dalam menciptakan rasa tenang dan meningkatkan kesejahteraan, sehingga kualitas hidup tetap terjaga meskipun berada dalam situasi yang tidak menyenangkan.

Pengaplikasian Mindfulness dalam Menghadapi Kehilangan

Berikut adalah langkah-langkah konkret pengaplikasian mindfulness untuk mencapai emotional resilience dalam menghadapi kehilangan, menurut Margot H. Hasha (2015):

1. Menerima dan mengakui emosi

Langkah pertama adalah dengan menerima dan mengakui perasaan yang muncul akibat kehilangan. Hasha (2015) menyatakan, bahwa mindfulness dapat membantu individu menghadapi perasaan mereka dan penerimaan merupakan langkah awal yang penting dalam proses penyembuhan. Hal ini membantu individu untuk memahami bahwa emosi yang mereka rasakan hanya bersifat sementara dan akan berubah seiring waktu.
ADVERTISEMENT

2. Meditasi & mindful breathing

Individu dapat melakukan meditasi seperti mindful breathing untuk tetap terhubung dan berfokus dengan dirinya pada saat ini. Mindful breathing dan meditasi terstruktur dapat membantu individu dalam pengendalian pikiran dan perasaan. Caranya adalah dengan duduk nyaman, menutup mata, dan memperhatikan setiap napas yang masuk dan keluar. Pérez-Aranda et al. (2021) menunjukkan bahwa meditasi secara rutin dapat membantu mengurangi gejala depresi dengan memperkuat resiliensi emosional.

3. Healing through words (journaling)

Menuliskan perasaan dan pengalaman saat kehilangan dapat membantu individu memproses emosi mereka. Dengan mencurahkan pikiran ke dalam tulisan, seseorang dapat lebih memahami perasaan dan menemukan makna di balik suatu pengalaman.

4. Mindfulness dalam kehidupan sehari-hari

Individu dapat menerapkan praktik mindfulness dalam kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kesadaran dan ketahanan emosional mereka. Mindfulness dapat diterapkan di berbagai aktivitas seperti saat makan, berjalan, atau dalam melakukan aktivitas lainnya.
ADVERTISEMENT

5. Dukungan sosial

Mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional juga sangat penting dalam proses penyembuhan. Menurut Hasha (2015), berbagi cerita atau pengalaman dengan orang lain dapat memberikan rasa nyaman dan perspektif baru yang diperlukan dalam menghadapi kehilangan.

Daftar Pustaka

Hasha, M. H. (2015). Mindfulness practices for loss and grief. Bereavement Care, 34(1), 24-28.
Hendriani, W. (2022). Resiliensi psikologi sebuah pengantar. Prenada Media.
Islamiyah, A., Sismawati, M., & Kaaloeti, D. V. S. (2020). Pengaruh psikoedukasi mindfulness singkat pada kemampuan regulasi emosi mahasiswa. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 8(1), 66-74.
Pérez-Aranda, A., García-Campayo, J., Gude, F., Luciano, J. V., Feliu-Soler, A., González-Quintela, A., ... & Montero-Marin, J. (2021). Impact of mindfulness and self-compassion on anxiety and depression: The mediating role of resilience. International Journal of Clinical and Health Psychology, 21(2), 100229.
ADVERTISEMENT
Silarus, A. (2015). Sadar penuh hadir utuh. TransMedia.
Yusainy, C., Nurwanti, R., Dharmawan, I. R. J., Andari, R., Mahmudah, M. U., Tiyas, R. R., ... & Anggono, C. O. (2018). Mindfulness sebagai strategi regulasi emosi. Jurnal Psikologi, 17(2), 174-188.