Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kedudukan BUMN dalam Perspektif Hukum Kepailitan di Indonesia (4)
22 Juli 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami bersama pihak yang berutang itu tidak semuanya berniat tidak baik, sekalipun juga ada yang memiliki niat kurang baik walaupun mereka juga menyadari bahwa bilamana mereka berbuat curang, sesungguhnya mereka menutup dirinya sendiri dapat melakukan kegiatan bisnis lagi.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang terjadi apabila dibitor gagal bayar; di antaranya karena persoalan salah tata kelola, solvabiltas, keadaan-keadaan di luar dirinya, pandemi, ekonomi (baik global, regional maupun domistik). Hal tersebut dapat terjadi ke pihak siapa pun dan pihak mana pun.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa setiap kreditor tidak dapat dikatakan tidak mungkin menjadi debitor, artinya, di satu pihak bisa berada pada posisi kreditor, di lain pihak sebagai debitor, begitu seterusnya. Di dalam hal ini demikian sesungguhnya pelaku bisnis itu tidak selalu dapat dipastikan akan mendapatkan keuntungan. Artinya filosofi pelaku bisnis itu menyadari bahwa setiap kegiatan usaha menggunakan prediktabilitas atau probabilitas.
Seperti kegiatan pertanian contohnya, tidak selalu menanam benih, akan menghasilkan buah. Hal ini digunakan menjadi pepatah oleh petani. “Bahwa setiap menanam benih di musim tanam tidak mungkin akan menghasilkan jumlah panen selalu sama di setiap musim panen.”
ADVERTISEMENT
Dengan memahami bentuk dan skema bisnis yang digambarkan di atas, seyogyanya, tidak mungkin BUMN itu dapat dimohonkan PKPU apalagi pailit, mengingat menurut Undang Undang Perbendaharaan Negara mengatur tidak membolehkan aset negara untuk disita karena seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara (Pasal 50), dan kalau seandainya dimungkinkan ada pemegang saham lainnya selain negara maka perlu dibuatkan skema bisnis yang lain yang tidak mengganggu penyertaan modal oleh negara.
Terlebih-lebih telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-VII/2009) yang tidak membolehkan aset negara disita karena aset negara itu diambil dari uang rakyat yang semata-mata tujuannya untuk kemakmuran rakyat.
Hambatan lain yang menyatakan BUMN tidak mungkin dapat dimohonkan PKPU atau pailit itu dikarenakan telah diaturnya di dalam UU K & PKPU bahwa yang berhak mengajukan permohonan pailit atau PKPU hanyalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sehingga memperkuat pandangan penulis bahwa tidak seharusnya BUMN diajukan permohonan pailit maupun PKPU.
ADVERTISEMENT
Aspek hukum dalam kegiatan usaha
Berbeda halnya aspek utang di dalam kegiatan usaha dikaitkan dengan pemahaman undang-undang. Perlu dipahami juga, inti pengaturan di dalam UU K & PKPU tersebut itu mengatur tentang utang-piutang. Di dalam UU K & PKPU juga terdapat beberapa hal yang dirasa membingungkan dan masih menjadi diskusi di beberapa kegiatan karena belum terjadinya kesepahaman, khususnya dilihat dari perbedaan penafsiran, di antara stakeholder Kepailitan dan PKPU (Pemohon/Termohon Kepailitan, Kurator/Pengurus Kepailitan dan PKPU), juga Majelis Hakim yang mengadili dan Hakim Pengawas. Perbedaan penafsiran tersebut terjadi akibat beberapa hal, di antaranya:
Pemahaman mengenai solven atau insolven. Di dalam UU K & PKPU tidak ada penjelasan yang konkret, saat mana debitor dapat dikatakan insolven dan apa ukurannya? Indonesia belum memiliki lembaga yang terakreditasi yang dapat menentukan pihak-pihak yang sudah dapat dikatakan insolvensi atau masih bisa disebut solven. Senyatanya semua penilaian tersebut diserahkan kepada Hakim yang mengadili perkaranya.
ADVERTISEMENT
Di pemahaman penulis, istilah solven dan insolven itu sebelumnya berada pada ranah ilmu ekonomi (accounting), diserap oleh ilmu hukum, khususnya di dalam UU K & PKPU. Sementara pemahaman solven dan insolvensi dalam perspektif hukum dengan pemahaman pada ilmu ekonomi (accounting) berbeda.
Insolvensi (insolvency) adalah keadaan ketidakmampuan debitor membayar utang-utangnya, sedangkan solven artinya keadaan sebaliknya. Pertanyaannya, siapa yang berwenang menyatakan keadaan insolvensi? Di Indonesia belum ada lembaga yang memiliki kewenangan menentukan keadaan tersebut, begitu juga alat ukurnya.
Selain hal di atas yang juga dirasa membingungkan dengan diaturnya syarat ”pembuktian secara sederhana” untuk memutuskan kasus permohonan pailit atau PKPU yang tidak memiliki parameter agar dapat digunakan untuk menentukan sederhana atau tidaknya perkara kepailitan atau PKPU dan siapa yang berhak menentukan, selain sepenuhnya diserahkan kepada Hakim.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikemukakan di atas, paradigma ilmu ekonomi dengan ilmu hukum jelas berbeda. Ilmu ekonomi yang digunakan oleh pelaku usaha adalah melihat kegiatan bisnis itu dengan cara prospektif atau tidak, artinya kegiatan usahanya dapat diprediksi, tidak menjamin adanya suatu kepastian untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan ilmu hukum yang digunakan oleh Hakim di pengadilan dan masyarakat pada umumnya menuntut adanya kepastian hukum.
Aspek lainnya terkait hukum dalam kegiatan usaha
Di dalam kegiatan usaha “waktu” sangat memiliki peranan cukup penting. Misalnya, dalam kegiatan transaksi jual beli itu dilakukan dengan berbagai macam cara pembayarannya. Ada yang menyebut pembayaran dengan cara:
a. Tunai (bahkan ada istilah di pelaku usaha yaitu “cash keras”);
b. kredit (hal ini juga menentukan harga jual tentang berapa lama kreditnya akan dilakukan;
ADVERTISEMENT
c. pembayaran dengan menggunakan cheque. Ini juga ada bermacam-macam: ada cheque tunai dan ada cheque sebagai jaminan;
d. bilyet giro (pemindah bukuan); dan masih ada bentuk-bentuk lainnya.
Macam-macam cara pembayaran ini akan berpengaruh ke waktu pelunasan, bahkan memengaruhi nilai harga transaksi perdagangannya. Hal ini penting untuk menentukan tolok ukur kapan debitor itu dikatakan insolvensi dan perkara permohonan pailit atau PKPU itu dapat dikatakan memenuhi syarat pembuktian secara sederhana.
Di dalam praktiknya pun untuk menentukan pembuktian secara sederhana itu bukanlah hal yang mudah. Padahal diketahui, efek dengan dikabulkannya permohonan pailit ataupun PKPU implikasinya cukup serius. Selain memengaruhi iklim usaha (investasi) juga berpengaruh ke persoalan tenaga kerja, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Hal ini rupanya disadari juga oleh Mahkamah Agung sehingga menganggap perlu menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023, Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA) yang pada pokoknya mengatur untuk kasus gagal bayar dari Pengembang Rumah Susun (apartemen) tidak dapat dianggap sebagai “terbukti secara sederhana.”
Bagaimana mengukur sederhana atau tidak sederhananya itu dan siapa yang berwenang menentukan sederhana atau tidaknya? Dengan demikian, artinya walaupun UU K & PKPU mengatur harus terbukti secara sederhana, tetapi bisa direduksi oleh sebuah SEMA, alih-alih hasil rapat internal yang dijadikan pedoman untuk hakim-hakim Pengadilan Niaga.
Secara prinsip penulis sepakat dengan ketentuan tersebut agar tidak semua perkara kepailitan maupun PKPU disederhanakan. Di dalam praktiknya memang benar menyederhanakan permasalahan itu terjadi. Sehingga dengan mudah pihak satu mengajukan permohonan pailit atau mengajukan permohonan PKPU kepada pihak lainnya. Akan tetapi masalahnya SEMA tersebut bertetangan dengan undang-undang yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Setelah memahami dari apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan dalam pemahaman penulis sebagai berikut:
1. Badan Usaha Milik Negara atau disebut BUMN harus dipahami dengan menggunakan kacamata Pasal 33 UUD ’45 dalam arti bahwa BUMN yang ada di Indonesia itu tidak sama dan tidak boleh dipersamakan dengan badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang bertujuan murni mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sedangkan BUMN yang didirikan dengan mendasarkan kepada falsafah atau ideologi negara yaitu Pancasila dengan menggunakan hukum dasar UUD 1945 yang merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa bertujuan guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
2. Sejalan dengan poin di atas serta memahami sejarah lahirnya UU K & PKPU dihubungkan dengan sejarah lahirnya UU BUMN, maka seharusnya juga UU K & PKPU dibaca dengan menggunakan perspektif Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa yang bertujuan guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak sebatas berpikir ala Adam Smith (kapitalisme) yang menganggap negara tidak boleh melakukan campur tangan terhadap kebijakan ataupun mekanisme pasar yang ada.