Konten dari Pengguna

Pandangan Masyarakat terhadap Profesi Advokat di Indonesia (1)

Djamal Thalib
- Dosen FH UNPAR, Bandung. - Advokat - Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual, Indonesia (APHKI)
16 Desember 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sudah lama penulis mencari karya ilmiah tentang Advokat, rupanya sulit ditemui. Penulis sendiri sebenarnya pernah menulis tentang Advokat (2017), tapi sudah tidak ingat lagi dipublikasikan ke mana? Rasa penasaran tersebut hadir kembali di pemikiran karena penulis sendiri mengenal dunia profesi Advokat sejak masih mahasiswa strata 1, dan ingin menulis ulang (rewrite) dengan beberapa editing (tambahan dan pengurangan).
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini melihat sebuah podcast yang bernama HukumID Channel di channel YouTube dengan judul “Advokat Bukan State Organ!! Kalau Ada Yang Mengatakan Advokat Adalah State Organ itu “Malahan” Mendegradasi Profesi Advokat itu Sendiri, Advokat Bersifat Mandiri.” (narasumber: Prof. Basuki Rekso Wibowo).
Sebelum tahun 1983 belum ada ketentuan yang mengatur seseorang yang ingin menjadi profesional di bidang hukum yang pekerjaannya membantu masyarakat pencari keadilan, baik itu di dalam maupun di luar pengadilan. Namun demikian sudah ada beberapa profesional yang bekerja di bidang hukum, yaitu orang-orang yang sudah bergelar sarjana hukum dan telah memenuhi persyaratan tertentu hingga diangkat menjadi Advokat oleh Menteri Kehakiman.
Seperti Yap Thian Hien, Gouw Giok Siong atau yang dikenal Sudargo Gautama, Suardi Tasrif, Adnan Buyung dan kawan-kawan segenerasinya. Sebelumnya juga sudah ada generasi-generasi yang lebih senior. Data yang ditemukan penulis Advokat yang bisa disebut generasi pertama di Indonesia di antaranya Mr. Mas Besar MertoKoesoemo, Raden Mas Sartono, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Muh. Roem, Moh. Yamin, dan masih banyak yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Nama-nama besar di atas benar-benar Advokat yang sukses mengharumkan nama bangsa dan masyarakat diseluruh Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Dalam pandangan penulis tokoh-tokoh di atas adalah pejuang-pejuang kebenaran.
Kesan penulis tersebut itu juga digambarkan dalam quotation yang terkenal dari Yap Thian Hien: “Jika Saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda karena kita pasti akan kalah. Tetapi, jika Saudara merasa cukup dan puas menemukan kebenaran Saudara, maka saya mau menjadi pembela Saudara.”
Sebenarnya, penulis sendiri tidak pernah secara langsung bertemu fisik dengan tokoh-tokoh di atas. Akan tetapi pernah membaca kertas kerjanya di dalam perkara yang ditangani. Nama-nama di atas memang layak diberikan sebutan tokoh-tokoh Advokat yang membawa nama harum profesi Advokat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana realitas pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi Advokat di era masa sekarang ini? Pertanyaan ini layak dikaji dengan tidak memiliki tendensi apa pun guna melihat pandangan masyarakat terhadap profesi Advokat. Sejauh ini sulit menemukan hasil penelitian ilmiah yang menggambarkan fenomena di atas.
14 tahun terakhir ini penulis aktif di dunia akademik, walaupun sesekali masih terjun di dunia profesi Advokat. Dengan sulitnya mendapatkan data-data yang diperlukan, akhirnya menggunakan artificial intelligence (AI), karena hal yang paling mungkin untuk didapati di era sekarang ini, dengan tidak mengeklaim merupakan satu-satunya kebenaran.
Pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi Advokat sangat beragam dan kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman pribadi, tingkat pendidikan, dan paparan media. Berikut adalah beberapa pandangan umum yang sering ditemui:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat:

Dalam kondisi yang digambarkan melalui data resources yang dilakukan oleh artificial intelligent (AI) di atas, Advokat tidak boleh merasa telah berhasil menempatkan diri sebagai suatu yang sudah layak atau cukup dibanggakan oleh masyarakat, khususnya para pencari keadilan. Karena pada kenyataannya masih terdapat sisi gelap yang diperlihatkan oleh profesi Advokat.
ADVERTISEMENT
Untuk melihat fenomena yang ada, rasanya perlu Advokat sebagai profesional melakukan kontemplasi melalui renungan, dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh dan juga reflectere (Latin) atau reflexio, melainkan berpikir untuk melihat apa yang sudah pernah dialami sebelumnya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Dengan menggunakan cara berpikir seperti ini akan didapatkan orang-orang yang semakin bijak dalam hidupnya. Tidak seperti dikatakan banyak orang bahwa Advokat hanya berpikir “kalah” dan “menang” dalam perkara.
Untuk mendapatkan pemikiran reflektif ada baiknya melihat dan memahami kembali apa itu profesi Advokat?

Sejarah Advokat

Ilustrasi kamus. Foto: SN040288/Shutterstock
Sejak abad ke XIII sebenarnya telah dijumpai profesi Advokat. Mereka dijuluki “Taelman” yang di dalam bahasa Prancis disebut “avant parlier” atau “amparlier.” Kata Advokat dapat kita jumpai dalam kamus Latin – Indonesia, yaitu advŏcāta, ae, (femininum) yang berarti pembantu; pengantaran, atau advŏcātio, ōnis (femininum) -1 kerahan; panggilan (ahli-ahli, terutama ahli-ahli hukum) -2a) bantuan dalam perkara pengadilan (oleh handai-tolan) -b) rombongan ,,advocati’’; lih. advocatus 1–3 (dalam bahasa post-klassik) bantuan ahli-hukum; inadvocationibus sebagai pengacara –4a) penangguhan (agar meminta nasihat ahli-ahli) –b) (dalam bahasa post-klassik) penundaan –5 (pengarang geredja dan sesudahnja) bantuan; hiburan. Sedangkan advŏcātus, ĩ, (masculinum) -1 yang membantu seseorang dalam perkara; saksi yang meringankan -2 (dalam bahasa post-klassik) pembela -3a) pembantu –b) (pengarang geredja dan sesudahnja) perantaraan.
ADVERTISEMENT
Istilah advocatus pada waktu itu diberi arti pelindung atau wali. Baru pada abad ke XV juris yang memberi nasihat dan mewakili para pihak di pengadilan disebut Advokat, dan kemudian pada abad ke XVI untuk jabatan Advokat disyaratkan mempunyai latar belakang pendidikan universitas.
Black’s Law Dictionary memberikan arti advocate adalah A person who assist, defends, pleads, or prosecutes for another. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Advokat adalah ahli hukum yang berwenang sebagai penasihat atau pembela perkara di pengadilan; pengacara.
Pengertian Advokat kemudian diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang terminologinya digunakan istilah “Advokat”; adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 1 ke 1).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Untuk hal ini akan dijelaskan pada bab berikut.
Pandangan lain dari John H. Munkman dalam bukunya The Technique of Advocacy mengatakan:
Dikatakan selanjutnya:
ADVERTISEMENT
Setelah mengetahui beberapa terminologi “Advokat” maka pengertian tentang Advokat dapat dipersempit dengan mengajukan pertanyaan sementara apakah Advokat itu pekerjaan atau profesi? Untuk memahaminya hal tersebut ada baiknya kita juga melihat arti kata atau definisi profesi dan pekerjaan dalam Black’s law dictionary.
ADVERTISEMENT
Profesi (bahasa Indonesia), adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Belanda: professie, yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen."
Profesi juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walau demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
ADVERTISEMENT
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi, yaitu:
ADVERTISEMENT

Catatan Penulis

Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
altruisme/al·tru·is·me/ n 1 paham (sifat) lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme); 2 Antr sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) profesi/pro·fe·si/profési/n bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
Sedangkan pe.ker.ja.an Nomina (kata benda), memiliki arti:
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa Advokat tersebut adalah pekerjaan seorang profesional yang seringnya bekerja lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, artinya pekerjaan profesional yang dilakukan secara individual atau orang perseorangan.
ADVERTISEMENT
Advokat bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh setiap individu yang bukan profesional, melainkan membutuhkan pendidikan tinggi di universitas (dalam terminologi psikologi disebut kognitif), ditambah pendidikan khusus keahlian yang di dalam terminologi psikologi disebut pendidikan yang berkaitan dengan psikomotor, juga disertai dengan standar etika profesi yang harus dijunjung tinggi (dalam terminologi psikologi disebut afektif).
Berbeda halnya dengan “pekerjaan” yang hampir semuanya bisa dilakukan oleh setiap orang, tidak harus memiliki (memerlukan) pendidikan di tingkat universitas juga tidak menuntut adanya standar etika profesi.