Konten dari Pengguna

Pandangan Masyarakat terhadap Profesi Advokat di Indonesia (2)

Djamal Thalib
- Dosen FH UNPAR, Bandung. - Advokat - Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual, Indonesia (APHKI)
17 Desember 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, untuk menambah referensi pemahaman tentang profesi Advokat, kita coba bandingkan dengan Advokat di Amerika yang tergabung di dalam AMERICAN BAR ASSOCIATION (organisasi Advokat yang berintegritas) dan di Singapore. Hal ini dapat dilihat bagaimana cara untuk mendapatkan atau mendaftar menjadi anggotanya.
ADVERTISEMENT
Pada Article 3. Membership §3.1 Members
AMERICAN BAR ASSOCIATION CONSTITUTION AND BYLAWS RULES OF PROCEDURE HOUSE OF DELEGATES
Prosedur dan syarat untuk menentukan syarat untuk menjadi anggota:
Begitu juga untuk menjadi Advokat di Singapore tidak serta merta hanya melalui pendidikan formal dan lulus sarjana hukum (bachelor of law), kemudian Menteri Kehakimannya setelah berkonsultasi dengan Dewan Pendidikan Hukum (Board of Legal Education) menentukan kualifikasi, pendidikan dan pelatihan untuk orang-orang yang dikualifikasi sebagai Advokat, melainkan harus melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang, di antaranya Singapore Bar Examinations.
Dengan demikian untuk menjadi seorang profesional (Advokat) di Singapore membuktikan tidak hanya dibutuhkan mengikuti pendidikan formal belaka, melainkan juga Postgraduate Practical Course in Law ("PLC").
ADVERTISEMENT
Bagaimana di Indonesia? Sebagai profesi, para Advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal, diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa.
Dari sekilas sejarah (peran) para Advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan pemikiran para Advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923, adalah sangat besar, tidak hanya di Indonesia.

Menjadi Advokat di Indonesia

Menurut Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya akan disebut UU Advokat), untuk bisa diangkat menjadi Advokat di Indonesia tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 2 (1) yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Dengan demikian untuk menjadi Advokat di Indonesia (hampir sama di beberapa negara), calon Advokat harus memiliki pendidikan tinggi hukum terlebih dahulu (di Indonesia, Sarjana Hukum) untuk selanjutnya memiliki pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh organisasi Advokat.
Sedangkan untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 3 (ayat 1) UU Advokat:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
ADVERTISEMENT
e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Namun demikian disadari Penulis bahwa pada kenyataannya, (melalui pengamatan) pendidikan profesi Advokat tersebut oleh beberapa oknum dimanfaatkan untuk mencari keuntungan materi belaka, dan diakui secara jujur hasil dari pendidikan profesi Advokat tersebut belum dapat memperbaiki kondisi Advokat di Indonesia, lebih jauh memperbaiki kondisi peradilannya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pendidikan khusus profesi belum menciptakan iklim Advokat yang bersih, berwibawa dan memiliki integritas sesuai dengan jargonnya “officium nobile,” tanpa dilengkapi pendidikan “etika profesi.” Sekalipun, senyatanya Kode Etik Advokat sudah ada dan sudah diberlakukan oleh UU Advokat itu sendiri yang mengikat bagi seluruh Advokat dengan tidak lagi melihat organisasinya di mana Advokat tersebut bergabung.
Secara khusus, melalui pengamatan empirik juga, Penulis melihat pentingnya etika profesi Advokat di dalam menjalankan kegiatan profesinya. Untuk mengetahui etika profesi tidak dapat terlepas dari makna profesi itu sendiri yang dikemukakan di antaranya oleh B. Arief Sidharta.
Profesi yaitu pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan berupa karya pelayanan dan pelaksanaannya dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity).
ADVERTISEMENT
Untuk penghormatan terhadap martabat manusia Penulis tidak yakin semua kampus mengajarkan tentang kode etik profesi, apalagi masuk ke dalam kurikulum. Kalaulah ada, dari pengamatan Penulis pengajarannya juga masih ditataran teoritis yang menurut Penulis tidak mudah bisa diterima/ dirasakan oleh masyarakat, karena di masyarakat, etika itu lebih mudah dipelajari melalui keteladanan seperti pada umumnya masyarakat di Indonesia yang paternalistik.
Selanjutnya dikatakan (masih oleh B. Arief Sidharta), hubungan antara pengemban profesi dan klien adalah hubungan personal, yakni hubungan antar subjek pendukung nilai, yang bersifat horizontal antara dua pihak yang secara formal-yuridis kedudukannya sama. Namun, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien secara sosio-psikologikal terdapat ketidakseimbangan.
Pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap klien-nya yang bertumpu pada kompetensi teknikalnya yang lebih superior. Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak berada dalam posisi untuk dapat menilai secara objektif pelaksanaan kompetensi teknikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu klien berada dalam posisi tidak mempunyai pilihan lain kecuali untuk mempercayai pengemban profesi terkait.
ADVERTISEMENT
Klien harus mempercayai bahwa pengemban profesi akan memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat, dan tidak akan menyalahgunakan situasinya, melainkan secara bermartabat akan mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan pelayanan jasa profesionalnya.
Selain B. Arief Sidharta, dikatakan juga oleh Shidarta (Guru Besar Universitas Bina Nusantara, Jakarta) bahwa Profesi (Hukum) adalah profesi yang memiliki kekuasaan yang dibenarkan untuk bersikap dan berperilaku tertentu menurut hukum. Kekuasaan menurut hukum (kewenangan) inilah yang membuat profesi hukum mutlak membutuhkan moralitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi-profesi lain pada umumnya.
Dengan demikian terlihat betapa pentingnya posisi etika profesi di dalam kehidupan Advokat dalam menjalankan profesinya menangani klien, karena menurut Penulis begitu Advokat yang menjalankan profesi tetapi terlepas dari etika profesi Advokat yang seyogyanya diembannya,
ADVERTISEMENT
Maka dapat dibayangkan penanganan perkara oleh Advokat tersebut terhadap kliennya, dipastikan sudah tidak mengikuti standar prosedur yang harus diikuti sebagai Advokat yang sedang menangani perkara, sehingga dapat dipastikan pula betapa buruk penilaian klien (masyarakat) terhadapnya, yang lebih jauh akan berpengaruh terhadap profesi Advokat secara keseluruhan.

Advokat Indonesia dan Dinamikanya setelah Lahirnya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003

Setelah lahirnya UU Advokat, dirasakan banyak tumbuh subur kantor-kantor hukum (ada yang menggunakan bahasa Indonesia, ada juga yang menggunakan bahasa asing), baik yang berbentuk “Kantor Hukum,” “Law Office,” “Law Firm” dan sebagainya, yang sebelumnya jumlah Advokat hanya sedikit dan hanya ada di kota-kota besar, termasuk di beberapa Perguruan Tinggi yang memiliki fakultas hukum.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit Advokat besar berkantor di gedung-gedung perkantoran, di jalan utama kota-kota besar, bahkan sampai ke pelosok-pelosok, tetapi ada juga bermunculan di gang-gang sempit yang ada di kota ataupun kabupaten. Di satu sisi membawa dampak positif karena terjadi pemerataan kesempatan memperoleh keadilan bagi masyarakat pencari keadilan, tetapi di lain pihak menjadi sulit terkontrol kinerjanya yang dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan profesi, bahkan tidak sedikit yang tertangkap oleh penegak hukum dan terbukti telah melakukan pelanggaran hukum dan kode etik profesi.
Hal tersebut berdasarkan pengamatan penulis disebabkan Advokat-Advokat tersebut tidak bernaung di suatu organisasi tertentu yang jelas. Di lain pihak organisasi Advokat yang ada tidak lagi dapat mengontrol para Advokat-Advokat muda hasil pendidikannya. Sepertinya sejarah Advokat terpecah belah dan tidak dapat bersatu menjadi beberapa bagian telah berulang kembali, bahkan bermunculan organisasi-organisasi Advokat baru (selain dari yang sudah ada) akibat mudahnya membentuk wadah organisasi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Penulis mencermati hal tersebut salah satunya disebabkan karena terjadi pergeseran nilai di dalam profesi Advokat, akibat tidak ada lembaga (institusi) yang dapat mengontrol kinerja profesi Advokat tersebut. Kontrol di sini yang dimaksud Penulis bukannya kontrol dari pemerintah karena profesi Advokat harus independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh unsur-unsur di luar profesinya sehingga Advokat tersebut bekerjanya menjadi tidak independen lagi.
Akan tetapi pergeseran nilai ini disebabkan karena adanya anggapan dari oknum-oknum Advokat tertentu yang beranggapan bahwa hukum/keadilan tersebut sudah menjadi komoditi yang layak untuk diperjualbelikan. Advokat di dalam menjalankan profesinya sudah tidak lagi menegakkan hukum dan undang-undang serta prinsip-prinsip kebenaran, tetapi sudah berada pada bagaimana memenangkan suatu perkara yang ditanganinya, tidak lagi peduli apakah memenangkan perkara tersebut benar-benar didasarkan dengan sikap dan profesionalitas yang dijalani, yakni benar-benar berdasarkan hukum dan juga didasarkan pada fakta-fakta hukum yang dimiliki?
ADVERTISEMENT
Mungkin anggapan ini dirasa terlalu ekstrem, tapi mari kita renungkan dengan melihat bentuk-bentuk kantor hukum tadi (salah satu) yang paling menonjol di antaranya adalah bentuk “Law Firm.” Bahkan penulis pernah menemukan kantor dengan diberi nama “Advokat Siaga.” Sebagaimana diketahui, terminologi “firm” itu tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia selain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Akan tetapi istilah tersebut dikenal atau disebut “firma” yang merupakan bentuk badan usaha. Dengan demikian maka sesungguhnya “firma” atau “firm” tersebut merupakan suatu badan usaha. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kantor Advokat (firma/firm) tersebut telah melakukan kegiatan usaha, lalu timbul pertanyaan, apa yang diperdagangkan?
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa Advokat memang menerima upah atau honor, akan tetapi upah atau honor, bukan untuk membeli produk (kemenangan perkara), melainkan diterima sebagai jasa profesional yang diembannya. Akan tetapi senyatanya ada juga Advokat yang dalam praktiknya hanya bertujuan memenangkan perkara dengan tidak menggunakan kejujuran, padahal dalam Kode Etik profesi Advokat hal tersebut dilarang.
Sehingga tidak sedikit masyarakat membuat cibiran sinis dengan istilah “maju tak gentar membela yang bayar,” “Karena Uang Habis Perkara” (kependekan dari KUHP), dan lain-lain. Adanya praktik seperti itu memang sulit dibuktikan, tetapi baunya tercium ke mana-mana.
Kembali dengan memperhatikan tugas, fungsi Advokat dan sejarah Advokat sebagai profesional, maka titik berat yang dikerjakan adalah tuntutan profesi dengan standar etik yang tinggi sesuai dengan bidang yang ditekuni yakni hukum dan keadilan. Sebagaimana yang menjadi tujuan lahirnya UU Advokat di dalam konsideran butir b yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
b. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
Sudahkah demikian di dalam praktiknya? Mari kita berkontemplasi dengan hati yang sejuk dan mendalam untuk menemukan jawabannya.
Secara sederhana dapat dilihat dengan membandingkan atau membedakan tujuan para pedagang atau pengusaha, di mana mereka memiliki tujuan mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi (profit oriented).
Hal tersebut berbeda dengan tujuan hukum/keadilan dan seyogyanya menjadi tujuan Advokat selaku penegak hukum yang bekerja demi menjaga “equilibrium” (keseimbangan) antara hukum dan keadilan, sekalipun hal ini juga masih bisa menimbulkan perdebatan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi apabila hal tersebut dijalankan dengan menggunakan standar etik yang sama, maka diharapkan penyimpangan-penyimpangan dari profesi Advokat tersebut bisa dijaga bahkan dapat dihindari.