Konten dari Pengguna

Memori Koletif Menegakkan Hukum Adat Minangkabau Berdasarkan Undang Nan-20

Doval Vilantrop
Advokat, Konsultan Hukum dan Pemerhati Hukum Adat Minangkabau
24 Oktober 2024 14:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Doval Vilantrop tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sidang Adat Pengukuhan Batagak Gala di Nagari Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sidang Adat Pengukuhan Batagak Gala di Nagari Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Sungai Tarab yang merupakan Pemuncak Alam Koto Piliang yang pada hari ini sama tidak jauh berbeda dengan keadaan nagari-nagari di Sumatera Barat yang penuh dengan centang prenang yang mengalami krisis adat yang penuh dengan sangketa adat dan sangketa tanah ulayat terutama permasalahan harta Pusako Tinggi kaum dalam suku masing-masing. Tak terkecuali masalah sosial hargai menghargai, menghargai orang yang lebih tua atau menghargai seseorang yang memangku gelar adat yang dikategorikan sudah masuk dalam ranah Pidana Adat.
ADVERTISEMENT
Pidana adat Minangkabau didasarkan pada Undang nan 20 dasar hukumnya yaitu Roglemen Ordonantie pasal 30 menyebutkan "Bahwa semua putusan harus memenuhi dasar-dasar dijadikan alasan atau pertimbangan dalam keputusan; perkara pidana menyebutkan tindak pidananya. (menurut adat adalah Undang-undang nan 20). –apabila putusan didasarkan pada suatu pasal tertentu. Pasal itu harus disebutkan dengan dasar-dasar yang dijadikan alasanya. Dalam hal ini dimaksudkan adalah pertimbangan-pertimbangan yang mendukung keputusan itu".
pertimbangan keputusan ini biasanya diambil dari sidang adat yang diselengarakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). suka tidak suka harus dilaksanakan akan tetapi dapat dilanjutkan kepada instansi yang berwenang ketika ada pihak yang tidak puas dalam sidang adat karena sifat Lembaga Kerapatan adat Nagari hanya sebagai Mediator melakukan upaya perdamaian dalam perselisihan ditengah masyarakat, KAN berhak memanggil pemangku adat masing-masing atau niniak mamak disetiap suku dan para pelaku atau pihak yang melanggar aturan adat.
ADVERTISEMENT
Penulis yang merupakan sebagai pelaku adat didalam Nagari Sungai Tarab dan sebagai pemerhati hukum adat Minangkabau mempunyai pengalaman pribadi yang musti dibagi kepada handai tolan pada 12 Juli 2024 seorang yang bergelar khatib (Malin) di persukuan Bendang di Nagari Sungai Tarab mengadu kepada penulis bahwa beliau mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan, bahwa khatib mempunyai masalah rumah tangga yang sudah berlarut yang puncaknya terjadi cekcok sama urang rumah (istri) yang pada akhirnya anak sambung dari khatib ikut serta dan melakukan perbuatan kasar dan kata-kata kasar sekaligus menghina gelar yang disandang oleh khatib, sedangkan khatib tidak mempunyai daya lagi mengingat umur sudah tua dan memilih pulang kerumah induknya di kampung Bendang, sungai tarab.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari peristiwa itu, penulis menyadari bahwa ini sudah bisa dibawa ke persoalan Pidana Adat yang mustinya limbago adat sudah dapat ditegakkan mencari kebenaran karena kebetulan khatib sudah mengadu kepada rumah Pucuak Suku atau Pangulunya. Disisi Pangulu, Khatib ini merupakan Korih atau Keris Adatnya dalam artian senjata untuk Panggulunya. dari kesaksian khatib ini masalah sudah berlarut panjang dan tidak ada satupun yang dapat menyelesaikan termasuk niniak mamak dan anak kamanakan lain yang menyandang gelar juga di kaum dalam suku.
Setelah mendengarkan Kronologis dari Khatib ini, penulis mengajukan menggelar sidang adat di tingkat suku yang akan di mediasi oleh KAN. esoknya harinya terjadilah sidang adat di tingkat Suku yang melibatan hampir lima puluh orang serta dihadiri 3 (tiga) suku di Nagari Sungai Tarab yaitu Bendang, Bodi, dan Mandahiliang beserta Niniak Mamak masing-masing Suku, yang sebagai Mediatornya adalah KAN Sungai Tarab.
ADVERTISEMENT
Pada pagi itu dibukalah sidang adat tentang pelanggaran sosial yang sudah termasuk kedalam Hukum Pidana Adat Minangkabau yang mungkin sudah jarang terjadi atau hampir tidak pernah didengar lagi di seantro Minangkabau ini.
Hal yang pertama penulis luruskan ketika itu mendudukan masalah formil acara persidangan adat yang ada di Minangkabau dan pedoman-pedoman guna untuk memutuskan perkara, serta dapat membedakan masalah adat dan masalah rumah tangga khatib ini menurut konteksnya. Pendoman memutus perkara di Minangkabau yaitu:
dengan tidak melupakan Alua jo Patuik, Anggo jo Tanggo, dan Raso jo Pareso untuk mempertimbangkan suatu perkara, barulah penulis sebagai penuntut menyampaikan tuntutan secara lisan yang harus diputuskan oleh KAN sebagai mediator.
Tuntutan yang penulis ajukan secara lisan sebagai Penuntut adalah pertama menjatuhkan Dago-dagi (Undang-undang nan 20) kepada tertuntut yang kedua memerintahkan Tertuntut untuk meminta maaf kepada Penuntut dengan manatiang siriah kepada Penuntut dengan alasan sudah terjadi Sumbang Kato (Undang-undang nan 20), dan ketiga meminta keputusan yang seadil-adilnya.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu KAN memenuhi tuntutan kami dari suku Bendang walaupun tidak dilaksanakan secara adat hanya didepan persidangan dilakukan sangsi adat yang diterima oleh Tertuntut yang dimana Tertuntut melaksanakan meminta maaf dan menatiang siriah kepada khatib dan meminta maaf atas nama pribadi dan suku kepada Niniak Mamak persukuan Bendang, dan kami sebagai Penuntut juga meringgankan dan berlapang dada menerima keputusan KAN sebagai Mediator pada saat itu.
Secara adat sesuai dengan Pasal 30 R.O. diatas pada hakikatnya alasan dan pertimbangan hukumnya lebih berat di Minangkabau, karena sesuai sumpah menyandang gelar di Minangkabau dapat diliat dari Petatah Petitih yang berbunyi
pertimbangan Hukum yang diberlakukan bagi Tertuntut ialah terdiri dari Ditimbang Jo Bicaro, Ditimbang jo Budi, Ditimbang jo Ameh, Ditimbang jo Badan nyawo. Karena pada zaman sekarang jika terjadi tindakan-tindakan yang tidak mengenakan atau ancaman yang merugikan seseorang sudah ada instansi pemerintah yang bertugas menyelidiki dan mengadili, lebih lanjut maka adat minangkabau menyesuaikan pada kondisi zaman saat ini, hanya mendamaikan Para Pihak adat dengan prinsip “maurai yang kusuik, mampajaniah yang karuah, dan yang gantiang jan sampai putui” jika masih diulangi perbuatan yang sama akan diserahkan kepada instansi yang berwenang.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah Hukum atau pituah di Minangkabau yaitu “Adat di isi Limbago di tuang” Pandangan terhadap Limbago itu sendiri sebagai berikut “ Cupak nan duo; Undang nan ampek; Kato nan Ampek” dengan petatah petitih
pandangan limbago yang 10 (sepuluh) itu dapat diuraikan sebagai berikut: Cupak nan duo yaitu Cupak Usali dan cupak buatan. Undang nan ampek yaitu Undang-undang Luhak, Undang-Undang Nagari, Undang-undang dalam Nagari, dan Undang-undang nan 20. Kato nan ampek yaitu Kato Pusako, Kato Dahulu, Kato Buatan, dan Kato Kemudian.
Kemudian Undang nan 20 ini terdiri dari dua pasal, pasal pertama adalah undang nan salapan, dan pasal kedua adalah undang nan duo baleh. Dimana dago-dagi dan sumbang kato ini terdapat di pasal nan salapan. Makna dari dago-dagi ini yaitu perbuatan yang tidak patut di perbuat. Makna dari sumbang kato sendiri yaitu ucapan seseorang yang sumbang atau tidak dapat diterima lagi oleh sesorang.
ADVERTISEMENT
Kewenangan KAN sebagai Juri dalam Sidang Adat Yaitu Hukum dijatuhkan berdasarkan kedua belah pihak, hukum tetap dijatuhkan walau kedua belah pihak tidak puas, hukum dijatuhkan setelah sidang setelah cukup bukti, saksi, warih bajawek dan sumpah, maka keputusan dapat dijalankan tanpa dibicarakan. Yang terakhir memberlakukan hukum tanpa mengadili karena kesalahan cukup jelas seperti mencuri, merampas, maling dan jenis tangkap tangan.
Itulah sedikit pengalaman penulis yang mensiarkan kepada pelaku-pelaku adat di Nagari-nagari di Minangkabau yang akan dijadikan pedoman hidup anak Nagari dan Khalayak banyak terutama di Minangkabau bahwa di Sungai Tarab masih Eksis adat istiadatnya dan menegakkan Limbago Adatnya sebagai Pemuncak Alam Koto Piliang di Minangkabau (Sumatera Barat). karena syarat berlaku hukum adat adalah melaksanakan kebiasaan aturan-aturan sosial warih bajawek dari Mamak kepada Kamanakan, adil menurut adat adalah meletakan sesuatu pada tempatnya, sasuai mungkin jo patuik, patuik dimakan mungkin.
ADVERTISEMENT