Konten dari Pengguna

International Commission Occupational Health (ICOH): Member lalu National Sec

Dr Sudjoko Kuswadji SpOk
Dokter Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran UI (1972), TNI AU Wamil (1974-1980), Chief Medical Officer Indomedika, Trainer dan Konsultan
31 Juli 2024 6:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Sudjoko Kuswadji SpOk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di Indonesia Dokter Kesehatan Kerja kurang peminat. Pasarnya juga kurang ramai. Meskipun Kemnaker punya pengawas, banyak perusahaan enggan menggaji dokter. Kesannya terlalu mahal. Hanya perusahaan besar yang bisa menggaji dokter atau ngontrak provider.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja yang diberikan kepada karyawan, ada dichotomi perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Ada perusahaan yang terdaftar resmi di Kementerian Perindustrian atau Kementerian lain. Sebagian besar lainnya tidak terdaftar yang disebut sektor informal.
Kesehatan Kerja sektor ini dilakukan oleh Pemerintah melalui Puskesmas. Tentu saja lebih banyak kuratif. Semboyan Kementerian Kesehatan adalah lebih baik mencegah dari pada mengobati jadi omong kosong saja. Kementerian ini memang lemah dalam kompetensi pencegahan.
Saya bersyukur karena Profesor saya di NUS (National University of Singapore) adalah Prof Jerry Jeyaratnam yang ketika itu dia Sekjen ICOH. Saya diorbitkan menjadi member ICOH. Ketika itu Ketua ICOH J F Caillard mom. Ketika saya mencari rekomendasi kepesertaan, ternyata tidak banyak anggota ICOH di Indonesia. Saya ketemu Dr Suma'mur Prawira Kusumah yang ketika itu Direktur Jamsostek. Dokter ini tadinya di Depkes. Dia menghadap Prof Sulianti Saroso. Maksudnya mau mengembangkan Kesehatan Kerja. Prof ini tidak setuju, karena penyakit menular masih banyak. Penyakit Akibat Kerja pada umumnya adalah penyakit tidak menular. Gagal di Depkes dia menghadap Depnaker. Di sana dia disambut secara hangat dan dipersilakan mengembangkannya di Departemen barunya. Ingin tampil beda dan dia menyebut Kesehatan Kerja sebagai Hiperkes. Kebiasaan tampil beda ini menjalar ke IDI ketika mau memutihkan Dokter Kesehatan Kerja. Mereka menyebut sebagai Dokter Okupasi. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Dr Zulmiar Yanri menjadi Kepala Pusat Hiperkes, nama itu dikembalikan menjadi Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Sejak itu Indonesia tidak terkucilkan oleh dunia internasional gara-gara nama yang tidak dikenal.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi berikutnya saya saya dapat dari Prof Adnyana Manuaba alm dari Bali. Saya ingat beliau yang mengembangkan cangkul ergonomis. Beliau adalah ergonomist tetapi juga aktif di ICOH. Ada juga Internasional Ergonomics Association, yang Ketuanya Marthin Helander pernah temui saya di Jakarta. Nama Manuaba lebih dikenal di dunia ketimbang di Indonesia. Prof Manuaba beberapa kali pesan kepada saya agar kesehatan kerja dan ergonomi dikembangkan secara holistik. Jasmani, rohani dan sosial. Kunjungan saya berikutnya saya didaulat untuk menjadi National Secretary ICOH untuk Indonesia. Itu untuk menggantikan beliau karena sudah lewat 3 tahun. Dokter yang berkiprah di Bali punya banyak keuntungan dalam hal gerakannya di dunia internasional. Misalnya bikin pertemuan kedokteran. Peserta luar negeri banyak yang berminat. Selain untuk ilmunya, mereka juga ingin tahu Bali itu seperti apa.
ADVERTISEMENT
Ketua ICOH berikut adalah Dr Kazutaka Kogi dari Jepang. Dia jadi Ketua dua kali kepengurusan. Kogi juga ergonomist. Perusahaan Jepang banyak sekali di Indonesia. Mereka senang tinggal di Indonesia. Rumah besar, dapat mobil dan sopir. Makanan pakaian murah-murah. Ada persatuan perusahaan Jepang di Indonesia. Kogi perlu mengajar karyawan lokal di perusahaan. Kontaknya adalah Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Nama ini keliru mestinya Asosiasi Pemberi Kerja Indonesia. Ketika itu saya diangkat jadi kontak K3 Apindo. Saya tidak digaji. APINDO berperanan mengumpulkan karyawan untuk ikut pelatihan. Kogi ngajar sendirian. Metodenya adragogi atau pendidikan dewasa. Pekerja diminta mengambil kesimpulan sendiri. Dulu belum ada Power Point. Kogi bawa foto besar-besar. Satu kelompok diskusi sekitar 12 orang diminta untuk mengulas satu gambar masalah K3. Misalnya satu alat kerja di atas conveyor. Obeng digantung dengan per. Jika bahan sudah dihentikan conveyor di bawah obeng. Obeng ditarik ke bawah untuk memasukkan satu sekrup. Jika selesai obeng ketarik ke atas lagi oleh per.
ADVERTISEMENT
Selain ke APINDO, Kogi juga mendatangi Depkes. Sekali waktu dia berkunjung ke Depkes. Saya juga diundang untuk pertemuan itu. Pejabat belum datang sementara undangan lainnya sudah menunggu. Kogi berbisik kepada saya mulai saja. Tak seorangpun yang hadir kenal dengan Kogi. Saya buka pembicaraan. "Saudara-saudara sambil menunggu pejabat, saya perkenalkan Dr Kazutaka Kogi, kawan saya yang sudah lama saya kenal". Saya nengok ke Kogi yang langsung merogoh kantungnya, ngambil lembaran kertas warna warni. Dia membuat burung-burungan cepat sekali dan dibagikan ke undangan. Origami. Satu methode ice breaking orang Jepang.
Saya teringat ketika turun dari pesawat terbang di Narita. Saya dihadapkan ke sebuah meja kecil yang bersisi kartu nama. Di kertas itu tertulis: orang ini Muslim jangan dikasih makanan dari babi. Ada tulisan lainnya dengan huruf Jepang. Kayaknya terjemahannya dalam bahasa Jepang. Saya ambil satu dan saya simpan dalam dompet. Ketika saya masuk restoran, saya lihat etalase berisi makanan yang dijual. Saya pikir mirip restoran Minang di Jawa. Ternyata yang diperagakan itu makanan dari plastik. Jadi dengan bahasa monyet saya tunjuk makanan yang mau saya beli. Telur ceplok, sayur taoge, nasi dan seterusnya. Orang Jepang sangat komunikatif. Majalah Time terbit di Jepang pada hati yang sama dalam bahasa Jepang
ADVERTISEMENT
Tahun ke enam saya sebagai National Secretary ICOH diundang Kogi untuk satu pertemuan di Singapura. Saya melaporkan perkembangan keanggotaan di Indonesia. Saya sudah pakai internet untuk memasarkan. Masih banyak dokter yang gaptek. Banyak perusahaan yang meremehkan Kesehatan Kerja. Belum ada pendidikan formal seperti Dokter Okupasi sekarang. Dulu Spesialisasi menjadi bahan yang lux.***