Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Arogansi Patriarki dan Kebutuhan Program Padat Karya
8 Desember 2021 17:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dwi Handriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengulik Patriarki dan Kekerasan terhadap Perempuan
ADVERTISEMENT
Menjelang hari terakhir "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan" pada tanggal 10 Desember 2021, tidak dipungkiri masih banyak kisah yang tidak disadari dan tak terungkap dari para perempuan yang tertekan, bahkan cenderung mengalami kekerasan dari pihak laki-laki.
ADVERTISEMENT
Menurut Mascionis, patriarki adalah suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan. Laki-laki mempunyai nilai lebih dihargai. Budaya patriarki menganggap perempuan sebagai "The Second Man" (Jurnal Academica Fisip Untad Vol.1, 2009).
Tinggal di gang perkampungan di wilayah kota megapolitan ini, membuka perspektif saya bahwa praktik patriarki masih eksis. Egoisme laki-laki yang merasa superior bagi istrinya nampak jelas di depan mata saya sendiri.
Pengalaman 2 ART yang pernah bertugas mencuci-setrika di rumah saya secara tidak langsung merefleksikan budaya patriarki, istri yang membanting tulang mencari sesuap nasi dan suami pengangguran, tetapi setiap saat suami ingin selalu dilayani.
Kadangkala, saya bertanya kepada mbak maupun teteh ART yang mencuci setrika itu, tetapi masih mau bersama dengan laki-laki yang menumpang hidup dan acapkali berbicara kasar.
ADVERTISEMENT
Jawaban si mbak yang buta aksara maupun teteh yang lulusan SMP cukup sederhana, "Kasihan sama keempat anak saya, bu, kalau tidak ada bapaknya. Dan, tidak enak menjadi janda, banyak dibicarakan orang-orang".
Begitulah ibu-ibu kuat, urusan anak-anak menjadi alasan utama untuk masih bersama laki-laki tanpa penghasilan dan kerapkali menerima kekerasan verbal. Dan, kekerasan verbal itu sendiri merupakan bagian dari kekerasan psikis.
UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), pasal 1, dengan jelas mendefinisikan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Selain itu, kekerasan laki-laki terhadap perempuan datang dari kekuasaan laki-laki dan laki-laki juga yang ingin mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Faktor lain penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama dan kepercayaan, yang cenderung menafsirkan secara keliru sehingga menimbulkan anggapan bahwa laki-laki menguasai perempuan (Jurnal Academica Fisip Untad Vol.1, 2009).
Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut kasus kekerasan terhadap perempuan kembali mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19.
Hanya dalam enam bulan pada 2021, kasus sudah melebihi total kasus tahun sebelumnya. Padahal disebut Andy, total kasus pada 2020 tersebut meningkat hingga 68 persen dibanding 2019.
Melunakkan Ego Laki-laki Melalui Program Padat Karya
Para istri yang lebih perkasa ini daripada suami memang perlu didukung dengan pemahaman untuk penanganan KDRT, pengembangan keterampilan, ataupun suntikan modal usaha.
ADVERTISEMENT
Kuatnya si teteh, mantan ART, menghadapi suami, bahkan bisa "menaklukannya" dengan menerima job catering dari salah satu proyek pembangunan RS instansi pemerintah.
Posisi suami yang pengangguran bertugas menjadi ojek syar'i yang mengantarkan teteh ke pasar membeli bahan-bahan pokok untuk pesanan memasaknya.
Demikian pula, bagi suami mbak mantan ART saya yang selalu menunggu proyek pembangunan rumah, saluran air, dll untuk bisa bekerja.
Pekerjaan proyek pembangunan RS, jalan raya, galian kabel, dll, sebagai program padat karya memang membutuhkan banyak SDM.
Para pekerja bangunan/galian biasanya didominasi oleh kalangan bawah dan berpendidikan rendah seperti suami mbak ART.
Berbagai kementerian/lembaga memberikan sokongan berarti bagi program padat karya yang menjadi prioritas nasional 2021.
Sebut saja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang melanjutkan program infrastruktur kerakyatan dengan skema Padat Karya Tunai (PKT).
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono di Jakarta (22/9/2021) berkata, "Refocusing program TA 2021 untuk PKT, yakni dari semula Rp12,18 triliun menjadi Rp23,24 triliun. Dan, terdapat 20 kegiatan yang diharapkan dapat menyerap 1,23 juta tenaga kerja untuk mempercepat pemulihan ekonomi, sehingga akan memberikan kontribusi pada program Pemulihan Ekonomi Nasional pasca Pandemi COVID-19".
ADVERTISEMENT
Terobosan program padat karya di sektor pertanian, sebagaimana dirilis oleh Kementerian Pertanian, dilakukan di kawasan integrated farming berbasis korporasi, salah satunya di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Gerakan ini meliputi pengendalian wereng batang coklat, pemeliharaan saluran air serta penanaman jeruk dan kelapa bersama Kelompok Tani (sumber: www.pertanian.go.id).
Demikian pula, gerakan padat karya di bidang transportasi. "Dalam rangka pemberdayaan dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat pada tahun 2021 melaksanakan program pendukung untuk padat karya. Kegiatan ini dilakukan dengan jumlah target tenaga kerja sebesar 11.080 orang dan besaran upah total sebesar Rp 39,8 miliar," jelas Budi dalam rapat bersama Komisi V DPR RI, Rabu (7/4).
Begitu besarnya APBN yang dialokasikan untuk program prioritas yang satu ini, paling tidak bisa membantu tipe-tipe suami pekerja informal seperti suami mbak atau teteh ART untuk menafkahi keluarga.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, sang suami tidak merasa rendah diri lagi karena bergantung kepada penghasilan istri dan bahkan bisa mengurangi mengintimidasi secara verbal.
Harapan besar kepada program padat karya bisa menanggulangi persoalan meningkatnya pengangguran akibat pandemi, yang tercatat oleh BPS sebanyak 8,75 juta orang di bulan Februari 2021.