Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Biarkan Mereka 'Memilihnya'
31 Januari 2022 17:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dwi Handriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seminggu ini, hilir-mudik di gawaiku, video, tautan berita online, maupun keriuhan jagat media sosial (medsos) terkait Babeh Aldo. Aksi unjuk rasa di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Desember 2021 dan Januari 2022 oleh Aliansi Rakyak Menggugat yang dimotori Babeh Aldo dan komunitasnya untuk memprotes dan menolak vaksinasi COVID-19 bagi anak-anak yang terlihat dipaksakan. Mereka juga menuntut agar status pandemi ini segera dicabut.
ADVERTISEMENT
Tokoh ini pun gencar membuat konten di medsos yang terus menyuarakan tuntutannya. Raupan followers pun kian bertambah dari waktu ke waktu. Melalui akun medsosnya, Youtube @Babeh Aldo AJE 135 memiliki subscribers lebih dari 100.000, begitu pula akun Twitter @MprAldo dengan 13.000 lebih followers.
Di sisi yang berseberangan, dunia Twitter juga turut diramaikan dengan tagar #TangkapBabehAldo yang menyuarakan Babeh Aldo sebagai provokator, menghasut ibu-ibu untuk menolak vaksinasi COVID-19 anak.
Belum lagi, kehadiran pegiat medsos lainnya, Dr. Tifauzia Tyassuma atau yang biasa dipanggil Dr. Tifa kepada belasan hingga puluhan ribu pengikutnya yang menyuarakan tuntutan kejelasan informasi dan kebenaran terhadap pengobatan dan vaksinasi COVID-19. Dr. Tifa mengeklaim dirinya bukanlah antivaksin, tetapi hanya bersikap kritis terhadap penanganan pandemi COVID-19 ini.
ADVERTISEMENT
Ada pula, tokoh medsos kontroversi lainnya yang berurusan dengan pihak berwajib, dokter Lois. Yang bersangkutan menjadi sorotan akibat pernyataan kontroversialnya yang tak percaya COVID-19 dan kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.
Hidup itu untuk memilih
Berkaca dari urusan pro-kontra penanganan pandemi hingga persoalan vaksinasi COVID-19, mengutip pernyataan Confusius bahwa “Hidup itu sederhana, kitalah yang membuatnya sulit”. Mungkin seperti sesederhana memilih bubur ayam yang disukai, apakah dengan dicampuraduk atau tidak, hehe.
Hidup memang dihadapkan kepada berbagai pilihan. Selama napas masih berembus, jantung masih berdetak, manusia diberikan kebebasan untuk menjalankan kehidupannya. Secara konstitusional, kebebasan pilihan hidup manusia telah dibela di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Situasi kebebasan berpendapat pada pasal 25 UU HAM tersebut dengan jelas menjamin setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Merasa dilindungi oleh UU HAM, tokoh-tokoh seperti Babeh Aldo, Dokter Tifa, dan lainnya yang senada, mereka tak sungkan membuka diri sebagai tokoh kritis atau bisa jadi antagonis.
Sekadar mengingat, UU HAM di dalam pasal 70 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Namun, jangan lupakan pula bahwa kebebasan mengeluarkan unek-unek di medsos pun harus berhadapan pada pasal 28, angka 1, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengingatkan agar warganet mawas diri untuk tidak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, bayangan hukuman pidana yang akan diterima jika alpa dan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana tertera pada pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Setiap Pilihan Hidup Ada Konsekuensinya
Kebebasan memilih the way out of life pun juga dilakukan secara institusional. Hal itu tergambar dari sikap akun-akun medsos dari organisasi-organisasi lingkup nasional ataupun internasional yang menjadi vocal point COVID-19 (WHO, CDC USA, BNPB, Kemenkes, dll) untuk tidak menanggapi keriuhan warganet mengomentari lamannya.
Tengok saja akun Instagram WHO yang diprotes netizen, ketika menginformasikan varian Omicron telah terdeteksi di seluruh penjuru dunia yang disampaikan oleh Dr.Maria Van Kerkhove. “After omicron? What next? Transformer Variant?,” ujar komentar akun @natashawilson09 dengan jumlah likes terbanyak.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, tak luput mendapatkan komentar kritis warganet pada akun medsos kementerian/lembaga pengampu penanganan COVID-19. “Untuk apa kita mau divaksin. Manfaatkan demi rakyat menjadi lahan bisnis elit tertentu”, ungkap akun Anis Tabuni Nimiangge Sinak pada informasi terkait “300 Juta Dosis Vaksin COVID-19 telah Disuntikkan kepada Masyarakat”, di laman Facebook Kemenkes.
Organisasi-organisasi tersebut secara kontinuitas terus memproduksi konten-konten informasi yang termutakhirkan dengan isu-isu COVID-19. Kolom komentar selalu dibuka, namun cenderung tidak ada interaksi untuk membalas komentar dari para warganet.
Jika diamati terhadap strategi komunikasi yang sedang dijalankan, diibaratkan seperti pepatah lama “Diam itu emas”. Jangan hiraukan saja haters nanti kalau lelah juga akan diam sendiri, fokus terus memproduksi konten positif.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi para organisasi nirlaba itu bermain aman daripada sekadar mengurusi komentar negatif warganet, meskipun tidak sedikit pula yang memberikan komentar-komentar baik dan turut mendukung penanggulangan pandemi ini.
Di sisi lain, membalas komentar atau merespons beberapa pengikut di medsos bagi merek produk barang/jasa menjadi strategi pemasaran dan daya tarik tersendiri untuk meningkatkan engagement.
Menurut Stacey McLachlan dari Hootsuite, sebuah platform pemasaran media sosial menyebutkan bahwa aktivitas dan engagement/keterlibatan sangat penting bagi setiap platform medsos untuk membangun citra positif dari sebuah brand serta mengembangkan hubungan yang asyik dengan pelanggan baru dan calon pelanggan masa depan.
Keterlibatan media sosial diukur dengan berbagai metrik medsos mencakup hal-hal seperti bagikan atau retweet, komentar, likes, pengikut dan pertumbuhan audiens, klik-tayang, mention (baik ditandai atau tidak ditandai), hingga penggunaan tagar.
ADVERTISEMENT
Memperhatikan upaya komunikasi di medsos oleh para organisasi pengampu penanggulangan coronavirus, WHO sendiri secara tegas menyebutkan di dalam panduan “RCCE Action Plan Guidance: COVID-19 preparedness and response”, bahwa pentingnya bersikap proaktif dan berkomunikasi dua arah kepada komunitas, publik dan pemangku kepentingan lainnya.
Orang-orang memiliki hak untuk diberi tahu tentang risiko kesehatan dan memahami terhadap apa yang sedang dihadapinya. Selain itu, masyarakat juga memiliki hak untuk aktif berpartisipasi di dalam proses penanggulangan COVID-19.
Dialog harus dibuat dengan para masyarakat yang terdampak pandemi. Pastikan pula komunikasi dua arah melalui berbagai saluran, di semua tingkatan, dan di seluruh penanggulangan coronavirus.
Indonesia tengah bersiap menghadapi gelombang ketiga COVID-19 . Selain terus meningkatkan cakupan vaksinasi primer 2 dosis, hingga menargetkan program vaksinasi anak, juga turut digencarkan vaksinasi booster untuk menghadapi serangan Omicron.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, apa pun pilihan sikap dan kebijakan yang diambil secara pribadi, komunitas, ataupun institusi di dalam menghadapi pandemi ini, jangan lupakan konsekuensi yang akan diterima, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.