Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pengusaha Muda dan Tantangan Kearifan Tarif Tes PCR
16 November 2021 16:46 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dwi Handriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu hari menjelang hari Sumpah Pemuda, publik kembali dikejutkan dengan kabar penurunan (lagi) tarif tes COVID-19 melalui Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Kini batasan tertinggi tarif RT-PCR untuk Pulau Jawa-Bali sebesar Rp 275 ribu dan luar Pulau Jawa-Bali sebesar Rp 300 ribu. Selama pandemi ini, tarif RT-PCR telah 3x dievaluasi dan diturunkan batasan tertingginya.
ADVERTISEMENT
Kenapa tarif RT-PCR tidak diturunkan saja semenjak periode awal pandemi sehingga terjangkau masyarakat dan COVID-19 lebih terkendali? Menurut Honesti Basyir, Dirut PT Biofarma, mengutip dari Tribunnews (9/9/2021), bahwa di awal-awal pandemi harga sangat bervariasi, karena memang tidak di tetapkan oleh pemerintah. Ada yang Rp 3,5 juta atau Rp 2,5 juta,
"Karena kebanyakan dari lab bundling bisnis ini. Contohnya, tidak hanya murni test PCR, tapi juga ada foto thorax. Tetapi, kemudian pemerintah mengambil alih ini dan menetapkan harganya," sambungnya.
Di sisi lain, jubir vaksinasi COVID-19, Siti Nadia Tarmizi, juga menegaskan bahwa penetapan harga tertinggi PCR saat ini di RI telah dikonsultasikan dengan berbagai pihak.
Memikirkan tarif tes COVID-19 yang semakin murah ini, bagaimana nasib klinik/RS/laboratorium yang menyediakan RT-PCR. Apakah mereka keberatan, merasa untung atau buntung?
ADVERTISEMENT
Tanggapan pengusaha muda terhadap tarif PCR terbaru
Iseng-iseng saya bertanya dengan dokter Ardiansyah Bahar melalui WA, salah satu pemilik klinik pratama di daerah Jakarta Timur.
"Dok, klinik dokter menyediakan tes COVID-19 dengan PCR. Klinik dokter merasa keberatan tidak, dok?" tanyaku dengan penasaran,.
"Klinik kami tidak keberatan. Karena harga dari labnya juga turun," jawab dokter yang dipanggil dengan Ardi ini.
Menurut dokter Ardi, klinik mereka untuk pemeriksaan PCR bekerja sama dengan rekanan laboratorium yang sudah NAR (New All Record) dan merupakan jejaring laboratorium pemeriksa COVID-19. Sedangkan, untuk tes Antigen, pemeriksaannya dilakukan sendiri oleh klinik.
"Masih ada untungnya tidak dok, dari harga tes covid yang terus diturunkan pemerintah?" tanyaku lagi yang merasa ingin tahu.
ADVERTISEMENT
"Terkait harga, kami selalu menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah. Selama ini standar harga yang ditetapkan oleh pemerintah juga tidak sampai membuat klinik rugi," ujar dokter Ardi.
Lebih lanjut, dokter Ardi menjelaskan bahwa sejak awal pandemi, kliniknya harus ikut serta dalam tes COVID-19 karena hal ini merupakan salah satu strategi penting dalam penanggulangan pandemi.
"Kami paham bahwa pihak swasta harus ikut andil dalam penanggulangan pandemi ini," pungkas dokter yang berusia 34 tahun ini.
Dalam hati saya berseru, "Keren juga ini dokter ya. Masih muda sudah punya klinik sendiri, bahkan mau berpartisipasi untuk program-program pemerintah yang kerap kali dianggap tidak menguntungkan". Klinik dokter Ardi juga merupakan mitra BPJS Kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional/JKN.
ADVERTISEMENT
Ini baru gambaran dari satu orang pemuda yang berprofesi sebagai dokter dan pengusaha muda pemilik klinik yang menanggapi dengan bijaksana harga tes corona yang terus mengalami penurunan. Entah bagaimana tanggapan para pengusaha muda lainnya yang sektor usahanya juga untuk tes covid. Tekor atau tidak ya.
Pandemi ini membuka berbagai peluang usaha untuk penanganan COVID-19. Mulai dari penjualan masker, hand sanitizer, sabun cuci tangan, disinfektan, baju hazmat, hingga tes covid. Bagi orang-orang berjiwa bisnis, selain turut berpartisipasi mencegah dan mengendalikan COVID-19, wabah mendunia ini tidak menyurutkan langkah untuk mendapatkan pundi-pundi uang yang menguntungkan.
Kastanisasi Tes PCR
Semenjak gelombang kedua COVID-19 di bulan Juni-Agustus 2021 lalu, bak cendawan di musim hujan, bisnis tes covid merebak di mana-mana. Perang tarif dan promo diskon harga hingga kecepatan hasil tes menyemarakkan spanduk klinik pinggir jalan hingga drive thru tempat tes COVID-19. Masa-masa di mana tes antigen dan RT-PCR belum wajib dan terhubung dengan NAR dengan sistem pedulilindungi.id.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masyarakat merasakan adanya "kastanisasi" di dalam besaran tarif dan kecepatan hasil tes. Semasa batasan tarif PCR sebesar Rp 495 ribu, jika masyarakat ingin mendapatkan hasil lebih cepat, maka pelayanan ekspres dipilih dengan harga di kisaran Rp 800 ribu-an. Padahal sama-sama hidung dan tenggorokan dicolok, tetapi kenapa harganya lebih mahal dan hasilnya lebih cepat ya.
Jubir Satgas COVID-19 RS UNS, dokter Tonang Dwi Ardyanto, di laman Facebook-nya menjelaskan faktor mesin dan reagen untuk pemeriksaan sampel menjadi penyebab kemahalan dan kecepatan hasil tes dengan layanan ekspres. Layanan ekspres menggunakan metode TCM (Tes Cepat Molekuler) dengan mesin dan reagen khusus (closed system), namun hanya ada 4-8 sampel yang diperiksa (ada yang sampai 16 sampel, tetapi jarang ada mesinnya).
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan PCR konvensional, yang sebagian besar prosesnya dilakukan manual, sebelum kemudian masuk ke mesin PCRnya. Kapasitas besar, bisa 90 sampel, namun memerlukan proses pengolahan yang lebih panjang dan lama. Seperti itulah kondisi di lapangan yang membutuhkan kejelian konsumen sebelum memutuskan layanan tes yang dibutuhkan.
Selama pandemi ini terus berlangsung, sepertinya masyarakat masih terus menantikan gebrakan kebijakan pencegahan dan pengendalian COVID-19, termasuk tarif tesnya. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pun turut mengomentari tarif PCR melalui akun Twitternya, "Harganya tolong disamakan dengan India, pak. Ini loh..." (sambil menunjuk berita online, harga tes PCR di India sebesar Rp 96 ribu).
Kita tidak bisa menutup mata bahwa harga tes PCR yang cukup murah di India karena negara tersebut sudah mampu memproduksi semua bahan baku, reagennya, dan pembuatan alat PCR dari dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Di negara kita ini, berdasarkan data Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai Kemenkeu mencatat, Indonesia mengimpor alat tes virus COVID-19 berbasis PCR senilai Rp 2,27 triliun sejak Januari - 23 Oktober 2021.
Selain itu, periode Januari-Agustus 2021, BPS mencatat impor instrumen tes PCR mencapai 203.236 kg atau setara 203,2 ton, dengan nilai 31,99 juta dolar AS atau setara Rp 452,98 miliar (kurs Rp14.156). Data tersebut belum termasuk impor reagen untuk analisis PCR. Reagen adalah pereaksi kimia berbentuk cairan yang digunakan untuk tes PCR.
Menurut data BPS, impor reagen untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun. Dan, impor instrumen tertinggi berasal dari Cina.
ADVERTISEMENT
Begitu tingginya dan ketergantungan terhadap impor instrumen dan reagen tes PCR. Dan, sebagai rakyat jelata, kita hanya bisa menunggu dan menonton proses di mana negara tercinta ini bisa memiliki kemandirian untuk memproduksi sendiri berbagai bahan baku produk kefarmasian dan alat kesehatan.
Boleh jadi pandemi COVID-19 di Indonesia, sudah menciptakan para pengusaha masker, hand sanitizer, sabun cuci tangan, disinfektan, baju hazmat, dan tes covid. Tetapi, tantangan untuk mengurangi impor bahan baku produk kefarmasian dan mesin/alat-alat kesehatan harus terus digodok, hingga terealisasikan dengan baik.
Tak bisa dipungkiri, Indonesia bersiap menghadapi endemis COVID-19 pasca-pandemi ini. Bersahabat dengan covid bukan berarti bersantai. Suatu saat pengusaha muda di Indonesia tidak hanya sekadar memasarkan produk jadi dari kefarmasian dan alat kesehatan, namun bisa menciptakan sendiri bahan baku produk kefarmasian/alat-alat kesehatan tersebut.
ADVERTISEMENT