Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berat Hati
13 November 2018 20:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Dwi Herlambang Ade Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pacarku bertanya, sudah tau capek, sakit, lelah, kenapa sih masih suka naik gunung?
ADVERTISEMENT
-----
Bau tanah basah Terminal Mendolo Wonosobo, menyambut kedatangan kami. Bertepatan dengan jatah cuti tahunan yang baru saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaki Gunung Sindoro di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, bersama dua orang teman sepermainan.
Ide mendaki ini sebenarnya sudah disiapkan dua bulan sebelumnya. Saat itu Ryan berkelakar ingin naik gunung di daerah Jawa Tengah. Maka setelah silang pendapat antara saya, Thiyo, Cahyadi, Sean, Haadi, dan tentu saja Ryan maka diputuskan untuk mendaki Gunung Merbabu.
Manusia boleh saja berencana tapi kenyataannya kembali lagi kepada tuhan yang mengizinkan. Perjalanan kami tidak semulus yang dibayangkan, ketika semua persiapan dan peralatan sudah disiapkan, kami mendapati bahwa Gunung Merbabu yang akan kami tuju ditutup karena sedang melakukan konservasi jalur pendakian.
ADVERTISEMENT
Gunung di Jawa Timur masih banyak yang tutup akibat kebakaran hutan yang terus terjadi seiring panjangnya musim kemarau. Sementara di Jawa Tengah--juga sama--beberapa gunung masih ditutup karena kebakaran atau sedang erupsi seperti Gunung Merapi.
Perdebatan kembali memuncak. Ketika hari keberangkatan kian mendesak dan destinasi masih juga belum menemui titik terang, Sean memberitahu kami bahwa Gunung Sindoro sudah dibuka setelah beberapa pekan sebelumnya ditutup karena kebakaran.
Pada akhirnya kami menyetujui usulan Sean malam itu. Kami memutuskan Gunung Sindoro akan menjadi tempat kami kembali menyapa alam. Malam itu juga kami langsung menyiapkan persiapan mulai dari mencari rute pendakian, perincian biaya, hingga memesan tiket bus untuk keberangkatan.
Untuk diketahui, Gunung Sindoro memiliki ketinggian 3.153 Mdpl. Setidaknya ada tiga jalur untuk menuju ke puncak Sindoro yaitu, via Desa Kledung, dan Sibajak di Kabupaten Temanggung, serta via Tambi atau Sigedang di Kabupaten Wonosobo.
ADVERTISEMENT
Kami pun bersepakat untuk mendaki via Desa Kledung, kenapa? Karena selain aksesnya yang mudah dicapai, jalur Kledung dinilai menyajikan pemandangan alam yang cukup mempesona. Setelah penentuan rute, nyatanya perjalanan kami kembali menemui jalan terjal setelah Sean dan Haadi mengurungkan niatnya untuk ikut karena berbagai alasan.
Apa boleh buat toh kami tidak bisa memaksanya untuk ikut dalam perjalanan ini. Maka tinggal tersisa saya, Cahyadi, Thiyo, dan Ryan. Sialnya sehari sebelum keberangkatan, Ryan memberikan kabar buruk bahwa ia juga tidak jadi ikut mendaki.
Alasannya cukup logis, hari Senin (29/9), ia harus masuk kuliah, padahal harusnya hari itu ia libur, tetapi mata kuliah pengganti menjadi hambatan. Mukanya jelas memancarkan tanda bahwa ia ingin sekali ikut akan tetapi hatinya bergejolak memilih antara kuliah atau merelakan pendidikannya untuk ikut mendaki. Sungguh posisi dilematis baginya saat itu.
Malam hari sebelum berangkat, Jumat (26/9), saat packing di rumah saya, Ryan masih juga belum bisa menentukan sikap. Di tangannya, carrier berukuran 60 liter, tenda, dan matras sudah siap ia kemas, akan tetapi urung ia lakukan sampai waktu menunjukan pukul 12 malam.
ADVERTISEMENT
Melihatnya seperti itu, kami tidak bisa berkata apa-apa, toh itu adalah pilihan yang harus ia pilih. Kami bertiga terus mengemasi kebutuhan yang akan kami bawa. Sampai pada akhirnya saya berujar kepadanya, jika ia benar-benar memutuskan untuk ikut, kami akan menunggunya di Terminal Pasar Minggu pukul tiga sore, Sabtu (27/9).
Sabtu sekitar pukul sembilan pagi, Ryan kembali memberi kabar. Kali ini ia benar-benar sudah mantab dengan keputusannya bahwa ia tidak akan ikut dan memilih untuk masuk kuliah. Ia berujar bahwa puncak Gunung Sindoro tidak akan pergi kemana-mana.
Meskipun begitu, kami tetap membawa kebutuhan logistik untuk empat orang, tentunya mengantisipasi jika ia akan berubah pikiran nantinya. Jam demi jam bergulir sampai pada akhirnya waktu membawa kami ke Terminal Pasar Minggu.
ADVERTISEMENT
Harapan kami saat itu masih sama, Ryan akan datang, akan tetapi hingga bus jurusan Wonosobo tiba, ia masih tetap tidak datang. Yasudah, kami bertiga akhirnya naik bus dan menyaksikan satu kursi di sebelah Thiyo kosong yang seharusnya Ryan isi saat itu.
Tetesan hujan menemani perjalanan kami di sepanjang Jalan Pantura. Saya dan Thiyo saling melirik, berpikir sejenak apakah mendaki di musim penghujan adalah suatu hal yang bijak? di tengah kegundahan itu, Cahyadi justru asik tidur. Ya, dia memang tidak bisa menahan kantuk jika dalam perjalanan.
Sekitar pukul tiga dini hari akhirnya kami sampai di Wonosobo. Perjalanan kami selanjutnya akan disambung dengan menaiki bus kota untuk menuju basecamp Desa Kledung. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 30 menit dari Terminal Mendolo dan ongkosnya cukup murah sekitar Rp 15 ribu.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di basecamp kami melakukan aklimatisasi karena hawa pagi itu cukup dingin. Tentu berbeda ketika kami di Jakarta dengan cuaca yang panas. Setelah melakukan aklimatisasi, Cahyadi dan Thiyo pergi ke minimarket untuk membeli perlengkapan yang kurang.
Setelah semua dirasa cukup, kami kembali packing ulang. Cahyadi kali ini mendapat tugas paling berat dengan membawa air, Thiyo bertugas membawa tenda, dan saya kebagian untuk membawa logistik. Tentu kalian bisa kira carrier siapa yang paling ringan saat itu.
Pendakian, Hutan Kematian
Setelah mandi, sarapan, dan melakukan registrasi, tepat pukul delapan pagi kami siap melakukan pendakian. Kabut pagi dan tetesan hujan kembali mengguyur. Kami memutuskan untuk menaiki ojek menuju pos 1 setengah dengan biaya Rp 25 ribu. Hal ini kami lakukan selain untuk mempersingkat waktu, juga untuk membantu perekonomian warga di lereng Gunung Sindoro.
ADVERTISEMENT
Raungan suara mesin motor terus menggema selama perjalanan. Tak jarang motor yang kami tunggangi selip ban karena jalur yang cukup terjal. Setelah 25 menit kami tiba di pos 1 setengah dan dari sini semuanya akan kami mulai dengan berjalan.
Sebelum berjalan kami menundukan kepala sejenak, berharap diberikan keselamatan, diberikan kekuatan disetiap tanjakan, dan diberi arah disetiap persimpangan. Menuju ke pos 2 kami langsung ditemui dengan tanjakan panjang. Cahyadi terus berjalan di depan sementara langkah kaki saya dan Thiyo tidak jarang terhenti karena kami merupakan pendaki pecel lele (Pendaki Cepat Lelah, Lemah, dan Lesu).
Setelah berjalan sekitar 50 menit, kami tiba di pos 2. Kami rehat sejenak. Sedikit menyeduh nutrisari dan menghisap nikotin dirasa paling pas menjadi teman kami bercanda. Setelah 20 menit rehat kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Dan seperti yang orang sering katakan, pendakian Gunung Sindoro baru akan dimulai dari pos 2 menuju ke pos 3 karena jalurnya cukup terjal dan menguras kesabaran. Tak jarang kami harus menggunakan tangan sebagai alat bantu mendaki.
Jalur pendakian berpasir semakin menyulitkan perjalanan kami. Bongkahan batu besar menjadi tantangan tersendiri. Tak jarang kami harus terjatuh dan bangkit kembali. Di sisi kanan, jurang memberikan pesan bahwa kami harus ekstra hati-hati.
Peluh terus bercucuran seiring matahari yang kian meninggi. Jalur pendakian Gunung Sindoro memang sangat terbuka sehingga sengatan matahari langsung menyerang tubuh kami.
Hal itulah yang membuat kami sering berhenti. Pun kata Cahyadi pada saatnya nanti kami akan sampai ke tempat tujuan yang kami cari maka nikmati saja setiap proses perjalanannya. Jangan mengeluh, karena tidak ada pendakian yang tidak melelahkan.
ADVERTISEMENT
Satu setengah jam trekking, kami tiba di pos 3 di ketinggian 2.315 Mdpl. Puluhan tenda pendaki menyambut kedatangan kami. Ya, sehari sebelumnya Sindoro kedatangan banyak tamu karena mayoritas dari mereka ingin merayakan hari sumpah pemuda di puncaknya.
Alih-alih mendirikan tenda di pos 3, kami memilih untuk mendirikan tenda di sunrise hunter di ketinggian 2.370 Mdpl. Untuk menuju pos ini kami harus melewati tanjakan curam yang sedikit banyak menarik otot kaki kami. Azan Zuhur siang itu akhirnya membawa kami tiba ditempat di mana kami akan bermalam.
Saya dan Thiyo bergegas memasang tenda, memasang flysheet untuk menghalangi angin, dan membuat jalur air untuk mengantisipasi hujan. Sementara kami sibuk, Cahyadi justru asik memasang hammock untuk dirinya bersantai. Itu sungguh momen menyebalkan.
ADVERTISEMENT
Agar tidak masuk angin, kami langsung mengganti pakaian dinas kami dengan pakaian kering. Thiyo bergegas memasak untuk menyiapkan makan. Dengan waktu singkat Thiyo langsung mengolah segala jenis logistik yang kami bawa.
Gunung Sumbing di seberang dan hamparan samudra awan menemani kami makan sore itu. Di kejauhan matahari lamat-lamat mulai terbenam dan melukis warna jingga di langit. Indah sekali. Sampai pada akhirnya malam pun datang.
Sementara Thiyo memilih untuk tidur, saya dan Cahyadi membikin api unggun untuk menepis dinginnya malam. Tak lupa, kami membereskan sekitar tenda dan menggantung logistik di pohon. Hal itu kami lakukan Karena Gunung Sindoro masih dikenal dengan babi liarnya.
Mengingat pendakian menuju puncak akan kami lakukan pada dini hari kami memutuskan untuk tidur pada pukul 23.00 WIB. Ketika saya mulai tidak sadarkan diri, pukul satu dinihari di sisi kanan tenda terdengar suara aneh. Saya pikir itu suara angin, tapi kok disertai dengan kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Benar saja itu adalah ulah babi hutan yang sedang mencari makanan. Saya pun membangunkan Cahyadi, ia berujar untuk tetap tenang dan jangan panik. Tidur saya pun jadi tidak nyenyak, rasa was-was terus menyelimuti tenda malam itu.
Sampai akhirnya suara gaduh itu hilang dan saya akhirnya bisa tidur. Baru dua jam mata terlelap alarm saya sudah bunyi cukup berisik. Tapi tidak ada pilihan lain saya harus melawan rasa kantuk karena kami harus segera melakukan pendakian menuju puncak.
Setelah kami bertiga bangun, kami langsung mempersiapkan keperluan yang akan kami bawa selama menuju puncak. Air mineral, susu, sedikit makanan ringan kami kemas dalam satu tas kecil.
Selain itu benda yang tidak bisa kami tinggalkan adalah ponsel. Karena secuek-cueknya laki-laki jika sudah menemukan tempat yang bagus akan bilang: “bang tolong fotoin dong.” Ok skip.
ADVERTISEMENT
Tepat pukul 5.30 WIB kami mulai summit attack. Untuk menuju puncak, jalurnya sangat terjal dan berpasir, hal itu cukup menyulitkan karena kami harus naik satu langkah turun dua langkah. Kabut tebal dan bau belerang yang sangat menyengat sedikit banyak menganggu pendakian. Maka tidak ada kata lain selain bersabar.
Akan tetapi matahari pukul enam pagi benar-benar menjadi pembeda. Segala rasa lelah, kesal, dan capek terbayar lunas . Di hadapan kami samudra awan dan langit yang sedikit kemerahan kembali bisa kami nikmati bersama. Hal itu yang membuat saya kembali bersemangat untuk berjalan.
Cahyadi terus melangkah, diikuti saya, dan Thiyo di posisi paling belakang. Singkatnya setelah tiga jam jalan dan terus berjalan dengan segala tanjakan yang sangat menyebalkan kami bertiga berhasil mencapai puncak Sindoro diketinggian 3.153 Mdpl.
ADVERTISEMENT
Meskipun Sindoro hari itu sedang kurang ramah dengan kabut tebalnya, saya tetep bersyukur karena berhasil menjumpainya. Dan setelah sedikit berfoto dan menyesap sebatang rokok, kami bertiga memutuskan untuk turun.
Jadi apasih yang membuat saya kembali ke gunung dan hutan, padahal harus selalu mengahadapi mara bahaya. Jika boleh mengutip kata-kata penyair sekaligus pegiat alam terbuka Fiersa Besari, gunung dan hutan akan selalu menjadi tempat yang istimewa.
Kenapa? Saat kita di gunung, uang dan kekayaan tidak lagi seberarti di kota, canda dan tawa tiba-tiba tidak lagi se pura-pura di kota, dan persahabatan tidak lagi semunafik di kota. Dan dalam perjalanan menuju puncak kita menemukan siapa diri kita sebenarnya dan belajar menjadi manusia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dan kemana saya akan pergi setelah ini? Entahlah, tunggu saja.