Konten dari Pengguna

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial: Hak atau Tanggung Jawab?

Dwi Lina
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Surabaya
28 November 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Lina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu pilar utama demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Media sosial telah menjadi alat penting bagi masyarakat di dunia yang semakin terhubung untuk menyampaikan pendapat, berbagi informasi, dan mengekspresikan identitas. Kebebasan, bagaimanapun seringkali bertentangan dengan tanggung jawab sosial, terutama ketika menghasilkan efek yang merugikan seperti disinformasi, ujaran kebencian, atau pelanggaran privasi.
ADVERTISEMENT
Munculnya platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah mengubah cara kita berinteraksi dan berbicara. Dengan memungkinkan orang dari berbagai latar belakang berbicara satu sama lain tanpa batasan geografis, platform ini menciptakan tempat untuk berbicara yang inklusif. Media sosial mendorong demokratisasi komunikasi, memberikan suara kepada kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, menurut penelitian Pew Research Center (Anderson & Auxier, 2020).
Tetapi dengan kebebasan ini muncul masalah baru. Batasan antara opini, fakta, dan manipulasi menjadi tidak jelas saat semua orang dapat berbicara di ruang publik digital. Sebagai contoh, berita palsu atau berita palsu telah menimbulkan bahaya besar bagi stabilitas sosial dan politik. Informasi palsu menyebar lebih cepat dan lebih luas di media sosial daripada informasi yang benar, menurut penelitian yang dilakukan oleh Vosoughi et al. (2018). Ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi dapat berbahaya jika tidak disertai dengan tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mengakui kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia. Namun, hak ini tidak tanpa batas. Menghormati hak dan reputasi orang lain serta menjaga keamanan publik sangat penting bagi DUHAM. Dalam hal media sosial, masalah utama adalah bagaimana membuat peraturan yang dapat diterapkan tanpa melanggar hak individu.
Banyak negara telah membuat undang-undang untuk mengontrol kebebasan berekspresi di media sosial. Misalnya, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penyebaran hoaks telah dilarang oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia. Namun, pelaksanaan undang-undang ini sering menyebabkan kontroversi karena dianggap dapat digunakan untuk menghentikan kritik atau membatasi kebebasan berbicara.
Regulasi seperti UU ITE menunjukkan masalah penting: bagaimana menjaga kebebasan berbicara tetap ada sambil melindungi masyarakat dari efek buruk kebebasan yang tidak terkendali? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Douek (2021), platform media sosial memainkan peran penting dalam menetapkan batasan ini dengan menetapkan aturan moderasi konten. Metode ini, bagaimanapun juga menuai kritik karena kurangnya transparansi dan kemungkinan bias.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan platform online juga bertanggung jawab atas kebebasan berekspresi di media sosial. Semua orang memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar ucapan mereka tidak merugikan orang lain. Ini termasuk menghindari ujaran kebencian, menghormati perbedaan pendapat, dan memverifikasi informasi sebelum dibagikan.
Literasi digital juga sangat penting untuk membangun ekosistem media sosial yang sehat. Literasi digital dapat membantu orang mengenali disinformasi dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menurut penelitian oleh Livingstone et al. (2017). Literasi digital, sayangnya masih menjadi masalah besar di banyak negara termasuk Indonesia. Tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2021, meskipun tingkat penetrasi internet negara mencapai 77%.
Hasil dari kebebasan berekspresi di media sosial bervariasi dari positif hingga negatif. Di satu sisi, kebebasan ini dapat membuat pemerintah lebih transparan, memberdayakan individu, dan mendorong pergerakan sosial. Gerakan seperti #MeToo dan #BlackLivesMatter berhasil membawa perubahan sosial melalui mobilisasi media sosial.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, radikalisasi, konflik sosial, dan polarisasi dapat muncul dari kebebasan berekspresi yang tidak terkendali. Cinelli et al. (2021) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa algoritma media sosial menciptakan echo chambers dan menciptakan polarisasi dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Ini dapat menyebabkan perpecahan sosial menjadi lebih parah dan menghambat diskusi konstruktif.
Untuk mengimbangi hak dan tanggung jawab kebebasan berekspresi di media sosial, diperlukan pendekatan multi-stakeholder yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, platform digital, dan individu. Hal ini dilakukan melalui penerapan regulasi progresif yang adil dan akuntabel, peningkatan literasi digital untuk mengajarkan orang agar berpikir kritis, pengembangan moderasi konten yang adil dan transparan, dan meningkatkan kesadaran publik agar setiap individu memahami tanggung jawabnya dalam menciptakan ekosistem media sosial yang sehat dan inklusif.
ADVERTISEMENT
Kebebasan berekspresi di media sosial adalah hak fundamental yang harus dijaga, tetapi hak ini tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab. Dalam era teknologi yang penuh tantangan saat ini, kita harus mengambil pendekatan yang adil untuk memastikan bahwa kebebasan yang kita miliki digunakan untuk memperkuat keharmonisan sosial, bukan untuk merusaknya. Kita dapat menciptakan ekosistem media sosial yang inklusif, aman, dan bertanggung jawab dengan bekerja sama dengan semua pihak.
Sebagai individu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan etika bermedia sosial. Setiap orang dapat menggunakan media sosial secara bijak dengan mengutamakan verifikasi informasi, menghargai keberagaman, dan menghindari provokasi. Media sosial bukan hanya platform komunikasi, tetapi juga ruang publik yang menggambarkan karakter masyarakat, menurut Kaplan dan Haenlein (2010). Akibatnya, cara kita bertindak di dunia digital mencerminkan komitmen kita terhadap demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Masa depan kebebasan berekspresi di media sosial akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan kita untuk beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi saat ini. Oleh karena itu, upaya kolektif yang berorientasi pada prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas akan menjadi dasar penting untuk perbaikan ekosistem digital. Menurut Mahatma Gandhi, "Kebebasan tidaklah berarti sesuatu jika tidak mencakup kebebasan untuk membuat kesalahan." Namun, dia mengatakan bahwa kesalahan harus digunakan sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri sendiri dan mendorong masyarakat yang lebih harmonis.
Ilustrasi bermain media sosial. (Pexels/Ron Lach)